• MENJADI KARYAWAN YANG AMANAH

     Amanah Pangkal Kesuksesan





     
    Oleh : Al Ustadz Zanal Abidin Syamsuddin .Lc
     










                Sifat amanah memiliki
    pengaruh penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Begitu pula
    dalam membangun kemitraan antara pekerja (pegawai) dengan pemilik
    pekerjaan (pimpinan/majikan) dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat
    amanah. Tidak lagi diperdebatkan  bahwa menjaga amanah adalah merupakan
    budi pekerti yang luhur.


             Amanah itu sendiri termasuk
    sifat yang universal. Artinya sifat ini adalah merupakan sifat mulia
    yang dapat diterima oleh semua pihak. Allah memasukkan hal ini sebagai
    bagian karakter yang menonjol pada diri seorang mukmin yang hakiki.


    Allah berfirman: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al Mukminuun [23]: 8)



















                Abu Bakar Ibnul Arabi
    berkata: Telah kami jelaskan tentang wajibnya menjaga amanah dan
    perjanjian, kami juga telah jelaskan tentang dalil pentingnya hal
    tersebut. Hendaklah kamu menunaikan amanah kepada orang yang memberimu
    amanah, jangan kamu mengkhianatinya. Begitu juga orang yang melanggar
    kesepakatan denganmu, jangan membuatmu harus merusak kesepakatan
    dengannya. Barangsiapa kufur kepada Allah karenamu maka kamu jangan
    kufur dengan-Nya karenanya. Barangsiapa yang menodai perjanjian denganmu
    maka jangan membuatmu untuk menginkari perjanjian dengannya.[1]


           Ketika seorang muslim menerima
    amanah maka ia harus memelihara dengan sempurna dan apabila berjanji
    tidak melanggarnya, karena demikian itu merupakan akhlak dan sifat orang
    beriman, yang bertolak belakang dengan watak dan tabiat orang munafik.
    Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih: Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari; dan apabila diberi amanah ia khianat. (HR. Muslim, no. 107)


                Oleh karena itu, untuk
    membangun karakter mulia dan moral terpuji ini, Allah dan Rasulnya
    memerintahkan seorang muslim untuk menunaikan setiap amanah yang
    diembannya dan memperingatkan agar tidak berkhianat, karena Allah
    melarang berkhianat dalam berbagai bentuk usaha sekecil apapun.


                Allah I berfirman: Sesungguhnya
    Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
    dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
    kamu menetapkan dengan adil.
    Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa’ [4]: 58)


                Ibnu Abbas berkata:
    Ayat ini umum untuk setiap macam amanah, wajib menunaikan amanah baik
    kepada orang shalih atau orang jahat, seperti silaturrahim wajib
    ditunaikan  baik kepada yang shalih atau yang jahat. Sedangkan Ibnu Umar
    dan Ibnu Mas’ud berkata: Kemaluan amanah dan penglihatan amanah,
    sehingga amanah masuk dalam segala sesuatu; dalam masalah wudhu, shalat,
    zakat, junub, puasa, dalam masalah timbangan dan takaran serta lebih
    besar dari itu adalah menjaga barang titipan. Dan tidak ada iman bagi
    orang yang tidak amanah.[2]


    Allah berfirman: Hai orang-orang yang
    beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
    (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
    kepadamu, sedang kamu mengetahui
    . (QS. Al-Anfaal [8]: 27)


                Adapun perintah Rasulullah
    yang menunjukkan mulianya sifat amanah, nampak dari perintah Rasulullah n
    agar menunaikan amanah dan larangan beliau agar tidak berkhianat,
    meskipun mereka harus berjuang dengan susah payah menghalau segala
    bentuk pengkhianatan.


                 Rasulullah n bersabda: Tunaikan
    amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan
    janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu
    . [3]


                Menurut Imam Ibnu Katsir,
    pengertian secara umum pelaksanaan amanah dalam ayat di atas, mencakup
    seluruh amanah ialah mencakup seluruh amanah yang wajib dipenuhi oleh
    seorang muslim.[4]
    Yakni berupa hak-hak Allah yang menjadi kewajiban atas dirinya, seperti
    shalat, zakat, puasa kaffarah, nadzar dan lainnya atau terkait dengan
    dirinya; seperti menjaga barang titipan, meskipun orang lain tidak
    mengetahuinya. Allah memerintahkan supaya semua itu ditunaikan secara
    sempurna. Siapapun yang tidak menunaikan amanah secara baik di dunia,
    maka Allah akan menuntut darinya pada hari kiamat kelak.


                Membentuk Karakter Amanah


                Sudah menjadi
    kewajiban setiap pekerja baik karyawan swasta maupun negeri, agar
    bekerja secara profesional dan menjaga amanah dengan mengalokasikan jam
    kerja hanya untuk keperluan tugas dan pekerjaan. Karena ketika seseorang
    melakukan akad atau kontrak atau kesepakatan kerja, baik dengan pihak
    perorangan, kantor, perusahaan, maupun lembaga tertentu, maka ia telah
    terikat secara syar’i dengan pekerjaan yang dibebankan oleh pihak kantor
    kepadanya, sehingga seorang pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan
    untuk kepentingan lain. Begitu pula ia tidak boleh memanfaatkan waktu
    saat bekerja untuk urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan
    yang menjadi tugasnya.


                Mengapa? Karena dengan akad
    dan kesepakatan tersebut, berarti waktu bekerja bukan milik sang
    pegawai, tetapi menjadi milik pekerjaan dan tugas yang telah dibebankan
    kepadanya sebagai konsekwensi upah atau gaji yang telah diterimanya. Dan
    seorang muslim sangat terikat dengan kesepakatan yang telah dibuat.


                Adapun orang-orang yang
    memegang kendali kekuasaan pada suatu lembaga, instansi, kantor, atau
    departemen manapun, maka ia tidak boleh dengan seenaknya melakukan
    tindakan di luar tugas kantor atau perusahaan. Sebab, barangsiapa yang
    menjabat sebagai pemimpin rakyat atau perusahaan, maka ia telah terikat
    kontrak dan telah menyewakan dirinya untuk kepentingan rakyat atau
    perusahaan, serta telah menjual waktunya untuk negara atau lembaga
    dengan konsekwensi gaji dan berbagai macam tunjangan yang diterimanya.
    Maka seorang muslim tidak boleh menggunakan waktu kerjanya untuk
    melakukan perkara-perkara nafilah seperti shalat sunnah, i’tikaf,
    tahajjud dan ibadah-ibadah sunnah lain. Karena menunaikan tugas kerja
    hukumnya wajib, sementara yang sunnah hanyalah bersifat keutamaan dan
    nafilah belaka. Sedangkan  pekerjaan dan tugasnya bersifat wajib yang
    harus ditunaikan. Dan kaidah fikih menetapkan bahwa tidak boleh ibadah sunnah mengalahkan ibadah wajib.


                 Sebagaimana halnya
    seseorang, ia ingin selalu menerima upah atau gajinya secara penuh dan
    tidak suka bila upah atau gajinya berkurang, meski hanya seribu rupiah,
    sementara terkadang dengan seenaknya mengurangi jam kerja untuk urusan
    pribadi. Maka hendaklah tidak mengurangi waktu kerjanya untuk
    mengerjakan kepentingan dan keperluan pribadi, bahkan harus bekerja
    secara disiplin dan profesional. Dan sungguh  Allah mencela orang-orang
    yang curang dalam takaran dan timbangan. Mereka meminta agar haknya
    dipenuhi, bahkan kalau bisa dilebihkan. Akan tetapi, pada waktu yang
    sama menyunat hak-hak orang lain dan tidak mau memenuhinya, sebagaimana
    firman Allah I:


    Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
    yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
    orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
    menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu
    menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari
    yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
    semesta alam.
    (QS. Al Muthafifin [83]: 1-6)


                Ayat di atas bukan hanya
    berlaku pada pengurangan takaran dan timbangan belaka, bahkan dalam
    semua bentuk hak, sebagaimana yang telah ditegaskan Syaikh Ibnu Utsaimin
    dalam Tafsir Juz Ammanya[5],
    sehingga ayat di atas menjadi teguran keras bagi para pegawai atau
    pekerja yang tidak amanah dalam mengalokasikan waktu dan teledor dalam
    menunaikan tugas namun meminta penuh bayaran gaji dan upah.


    Agar seorang pekerja muslim selalu
    bekerja secara profesional dan menjaga amanah dalam menuaikan kewajiban
    pekerjaan, maka hendaklah menjaga dan menggunakan waktu sepenuhnya untuk
    menunaikan tugasnya dan tidak memanfaatkan waktu saat bekerja untuk
    kepentingan yang bukan menjadi bagian pekerjaannya. Misalnya
    memanfaatkan waktu kerjanya atau bahkan menghabiskan untuk keluyuran di
    pasar  atau tempat lainnya atau bahkan pulang ke rumah.


                Tanpa disadari, dengan
    memanfaatkan waktu yang tidak terkait dengan pekerjaan, hakekatnya ia
    telah melakukan tindak korupsi dan mengkhianati amanah. Korupsi di sini
    tidak hanya mengemplang uang negara, perusahaan atau kantor. Akan
    tetapi, mengurangi jam kantor untuk keperluan pribadi termasuk dalam
    kategori korupsi. Begitu pula dengan pemandangan yang nampak di
    perkantoran-perkantoran, seperti bersantai ria tanpa melakukan aktivitas
    yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, maka cukuplah
    permulaan surat al Muthaffifin menjadi teguran keras bagi para pegawai.


                Perbuatan ini sangat ironis,
    berlawanan dengan tuntutan sang pegawai yang menginginkan agar upah
    tetap diterima secara penuh, tetapi giliran bekerja ia menyunat waktu
    kerjanya untuk dimanfaatkan bagi urusan pribadinya yang tidak ada
    kaitannya dengan tugas dan pekerjaan. Ia melakukan seenaknya tanpa
    beban. Kemudian ketika terdapat pengurangan upah, maka ia protes dan
    mengajukan keberatan.




    [1] . Tafsir Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 3/ 226.


    [2] . Lihat Tafsir al-Wasith, al-Wahidi an-Naisaburi, 2/ 70.


    [3] . HR.Abu Dawud 3535; at Tirmidzi 1264 dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash shahihah  424.


    [4] . Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/ 30.


    [5] . Lihat Tafsir Juz Amma, Ibnu Utsaimin, Hal. 93-94.



    Sumber :  http://zainalabidinsyamsuddin.com/


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent