Sifat amanah memiliki
pengaruh penting dalam pergaulan dengan sesama manusia. Begitu pula
dalam membangun kemitraan antara pekerja (pegawai) dengan pemilik
pekerjaan (pimpinan/majikan) dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat
amanah. Tidak lagi diperdebatkan bahwa menjaga amanah adalah merupakan
budi pekerti yang luhur.
Amanah itu sendiri termasuk
sifat yang universal. Artinya sifat ini adalah merupakan sifat mulia
yang dapat diterima oleh semua pihak. Allah memasukkan hal ini sebagai
bagian karakter yang menonjol pada diri seorang mukmin yang hakiki.
Allah berfirman: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (QS. Al Mukminuun [23]: 8)
Abu Bakar Ibnul Arabi
berkata: Telah kami jelaskan tentang wajibnya menjaga amanah dan
perjanjian, kami juga telah jelaskan tentang dalil pentingnya hal
tersebut. Hendaklah kamu menunaikan amanah kepada orang yang memberimu
amanah, jangan kamu mengkhianatinya. Begitu juga orang yang melanggar
kesepakatan denganmu, jangan membuatmu harus merusak kesepakatan
dengannya. Barangsiapa kufur kepada Allah karenamu maka kamu jangan
kufur dengan-Nya karenanya. Barangsiapa yang menodai perjanjian denganmu
maka jangan membuatmu untuk menginkari perjanjian dengannya.[1]
Ketika seorang muslim menerima
amanah maka ia harus memelihara dengan sempurna dan apabila berjanji
tidak melanggarnya, karena demikian itu merupakan akhlak dan sifat orang
beriman, yang bertolak belakang dengan watak dan tabiat orang munafik.
Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih: Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari; dan apabila diberi amanah ia khianat. (HR. Muslim, no. 107)
Oleh karena itu, untuk
membangun karakter mulia dan moral terpuji ini, Allah dan Rasulnya
memerintahkan seorang muslim untuk menunaikan setiap amanah yang
diembannya dan memperingatkan agar tidak berkhianat, karena Allah
melarang berkhianat dalam berbagai bentuk usaha sekecil apapun.
Allah I berfirman: Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa’ [4]: 58)
Ibnu Abbas berkata:
Ayat ini umum untuk setiap macam amanah, wajib menunaikan amanah baik
kepada orang shalih atau orang jahat, seperti silaturrahim wajib
ditunaikan baik kepada yang shalih atau yang jahat. Sedangkan Ibnu Umar
dan Ibnu Mas’ud berkata: Kemaluan amanah dan penglihatan amanah,
sehingga amanah masuk dalam segala sesuatu; dalam masalah wudhu, shalat,
zakat, junub, puasa, dalam masalah timbangan dan takaran serta lebih
besar dari itu adalah menjaga barang titipan. Dan tidak ada iman bagi
orang yang tidak amanah.[2]
Allah berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfaal [8]: 27)
Adapun perintah Rasulullah
yang menunjukkan mulianya sifat amanah, nampak dari perintah Rasulullah n
agar menunaikan amanah dan larangan beliau agar tidak berkhianat,
meskipun mereka harus berjuang dengan susah payah menghalau segala
bentuk pengkhianatan.
Rasulullah n bersabda: Tunaikan
amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan
janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu. [3]
Menurut Imam Ibnu Katsir,
pengertian secara umum pelaksanaan amanah dalam ayat di atas, mencakup
seluruh amanah ialah mencakup seluruh amanah yang wajib dipenuhi oleh
seorang muslim.[4]
Yakni berupa hak-hak Allah yang menjadi kewajiban atas dirinya, seperti
shalat, zakat, puasa kaffarah, nadzar dan lainnya atau terkait dengan
dirinya; seperti menjaga barang titipan, meskipun orang lain tidak
mengetahuinya. Allah memerintahkan supaya semua itu ditunaikan secara
sempurna. Siapapun yang tidak menunaikan amanah secara baik di dunia,
maka Allah akan menuntut darinya pada hari kiamat kelak.
Membentuk Karakter Amanah
Sudah menjadi
kewajiban setiap pekerja baik karyawan swasta maupun negeri, agar
bekerja secara profesional dan menjaga amanah dengan mengalokasikan jam
kerja hanya untuk keperluan tugas dan pekerjaan. Karena ketika seseorang
melakukan akad atau kontrak atau kesepakatan kerja, baik dengan pihak
perorangan, kantor, perusahaan, maupun lembaga tertentu, maka ia telah
terikat secara syar’i dengan pekerjaan yang dibebankan oleh pihak kantor
kepadanya, sehingga seorang pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan
untuk kepentingan lain. Begitu pula ia tidak boleh memanfaatkan waktu
saat bekerja untuk urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan
yang menjadi tugasnya.
Mengapa? Karena dengan akad
dan kesepakatan tersebut, berarti waktu bekerja bukan milik sang
pegawai, tetapi menjadi milik pekerjaan dan tugas yang telah dibebankan
kepadanya sebagai konsekwensi upah atau gaji yang telah diterimanya. Dan
seorang muslim sangat terikat dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Adapun orang-orang yang
memegang kendali kekuasaan pada suatu lembaga, instansi, kantor, atau
departemen manapun, maka ia tidak boleh dengan seenaknya melakukan
tindakan di luar tugas kantor atau perusahaan. Sebab, barangsiapa yang
menjabat sebagai pemimpin rakyat atau perusahaan, maka ia telah terikat
kontrak dan telah menyewakan dirinya untuk kepentingan rakyat atau
perusahaan, serta telah menjual waktunya untuk negara atau lembaga
dengan konsekwensi gaji dan berbagai macam tunjangan yang diterimanya.
Maka seorang muslim tidak boleh menggunakan waktu kerjanya untuk
melakukan perkara-perkara nafilah seperti shalat sunnah, i’tikaf,
tahajjud dan ibadah-ibadah sunnah lain. Karena menunaikan tugas kerja
hukumnya wajib, sementara yang sunnah hanyalah bersifat keutamaan dan
nafilah belaka. Sedangkan pekerjaan dan tugasnya bersifat wajib yang
harus ditunaikan. Dan kaidah fikih menetapkan bahwa tidak boleh ibadah sunnah mengalahkan ibadah wajib.
Sebagaimana halnya
seseorang, ia ingin selalu menerima upah atau gajinya secara penuh dan
tidak suka bila upah atau gajinya berkurang, meski hanya seribu rupiah,
sementara terkadang dengan seenaknya mengurangi jam kerja untuk urusan
pribadi. Maka hendaklah tidak mengurangi waktu kerjanya untuk
mengerjakan kepentingan dan keperluan pribadi, bahkan harus bekerja
secara disiplin dan profesional. Dan sungguh Allah mencela orang-orang
yang curang dalam takaran dan timbangan. Mereka meminta agar haknya
dipenuhi, bahkan kalau bisa dilebihkan. Akan tetapi, pada waktu yang
sama menyunat hak-hak orang lain dan tidak mau memenuhinya, sebagaimana
firman Allah I:
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu
menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari
yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam. (QS. Al Muthafifin [83]: 1-6)
Ayat di atas bukan hanya
berlaku pada pengurangan takaran dan timbangan belaka, bahkan dalam
semua bentuk hak, sebagaimana yang telah ditegaskan Syaikh Ibnu Utsaimin
dalam Tafsir Juz Ammanya[5],
sehingga ayat di atas menjadi teguran keras bagi para pegawai atau
pekerja yang tidak amanah dalam mengalokasikan waktu dan teledor dalam
menunaikan tugas namun meminta penuh bayaran gaji dan upah.
Agar seorang pekerja muslim selalu
bekerja secara profesional dan menjaga amanah dalam menuaikan kewajiban
pekerjaan, maka hendaklah menjaga dan menggunakan waktu sepenuhnya untuk
menunaikan tugasnya dan tidak memanfaatkan waktu saat bekerja untuk
kepentingan yang bukan menjadi bagian pekerjaannya. Misalnya
memanfaatkan waktu kerjanya atau bahkan menghabiskan untuk keluyuran di
pasar atau tempat lainnya atau bahkan pulang ke rumah.
Tanpa disadari, dengan
memanfaatkan waktu yang tidak terkait dengan pekerjaan, hakekatnya ia
telah melakukan tindak korupsi dan mengkhianati amanah. Korupsi di sini
tidak hanya mengemplang uang negara, perusahaan atau kantor. Akan
tetapi, mengurangi jam kantor untuk keperluan pribadi termasuk dalam
kategori korupsi. Begitu pula dengan pemandangan yang nampak di
perkantoran-perkantoran, seperti bersantai ria tanpa melakukan aktivitas
yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, maka cukuplah
permulaan surat al Muthaffifin menjadi teguran keras bagi para pegawai.
Perbuatan ini sangat ironis,
berlawanan dengan tuntutan sang pegawai yang menginginkan agar upah
tetap diterima secara penuh, tetapi giliran bekerja ia menyunat waktu
kerjanya untuk dimanfaatkan bagi urusan pribadinya yang tidak ada
kaitannya dengan tugas dan pekerjaan. Ia melakukan seenaknya tanpa
beban. Kemudian ketika terdapat pengurangan upah, maka ia protes dan
mengajukan keberatan.
[1] . Tafsir Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 3/ 226.
[2] . Lihat Tafsir al-Wasith, al-Wahidi an-Naisaburi, 2/ 70.
[3] . HR.Abu Dawud 3535; at Tirmidzi 1264 dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash shahihah 424.
[4] . Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/ 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar