IMAN DAN AMAL SHALEH SEBAGAI STANDAR KEBAIKAN
(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di)
يُرْشِدُ الْقُرْآنُ إِلَى أَنَّ الْعِبْرَةَ بِحُسْنِ حَالِ الإِنْسَانِ :
إِيْمَانُهُ الصَّحِيْحُ وَعَمَلِهِ الصَّالِحُ، وَأَنَّ الاِسْتِدْلاَلَ
عَلَى ذَلِكَ باِلدَّعَاوَى الْمُجَرَّدَةِ أَوْ بِإِعْطَاءِ اللهِ
لِلْعَبْدِ مِنَ الدُّنْيَا بِالرِّيَاسَاتِ, كُلُّ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ
الْمُنْحَرِفِيْنَ
Al-Qur’ân memberikan petunjuk bahwa standar baiknya seseorang adalah
keimanan dan amal shalehnya. Al-Qur’ân juga menunjukkan bahwa mengukur
kebaikan seseorang berdasarkan pengakuan hampa, kekayaan yang Allâh Azza
wa Jalla berikan kepada seseorang atau berdasarkan jabatan adalah
metode orang-orang menyimpang
Kaidah ini menunjukan bahwa bukti baiknya keadaan seseorang adalah
keistiqamahannya dalam iman dan amal shaleh serta semangatnya untuk
selalu bergegas melakukan kebaikan, bukan harta melimpah, bukan pula
pengakuan-pengakuan hampa. Orang yang senantiasa melakukan perbuatan
taat dan konsisten menjalankan al-Qur’an dan sunnah, dialah orang baik,
sebaliknya yang tidak seperti itu berarti dia buruk, bagaimanapun
pengakuan dan perkataannya.
Kaidah dijelaskan dalam banyak ayat, diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ
عِنْدَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ
لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal (shaleh, mereka itulah yang memperoleh
balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.
[Saba’/34:37]
Juga firman-Nya :
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih,
[As-Syu’ara/26:88-89]
Sebagian orang mengira bahwa harta melimpah yang diberikan oleh Allâh
Azza wa Jalla kepada seseorang adalah tanda kedekatan mereka kepada
Allâh Azza wa Jalla dan kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka. Ini
merupakan sangkaan yang keliru. Seandainya karunia harta itu merupakan
bukti kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka tentu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menerima
anugerah ini. Namun faktanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
miskin dan beliau menjelaskan bahwa dunia diberikan kepada siapa saja
yang dikehendaki sedangkan akhirat hanya diberikan kepada insan yang
bertaqwa.
Adapun tentang kelompok kedua yaitu kelompok menyimpang. Allâh Azza wa
Jalla menceritakan perkataan orang-orang yahudi dan Nashara :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ
نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, "Sekali-kali tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". demikian
itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah,
"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".
[Al-Baqarah/2:111]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan burhân (bukti) yang bisa menghantarkan seseorang masuk surga dengan firman-Nya :
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ
عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. [Al-Baqarah/2:112]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ
كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا أَيُّ الْفَرِيقَيْنِ خَيْرٌ مَقَامًا
وَأَحْسَنُ نَدِيًّا
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang
(maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang
yang beriman, "Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang
lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan(nya)?"
[Maryam/19:73]
Dalam ayat ini, mereka menjadikan kebagusan tempat tinggal dan tempat pertemuan mereka sebagai indikasi baiknya keadaan mereka.
Juga firman-Nya :
وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ
Dan mereka berkata, "Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada
seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini
?"[ukhruf/43:31]
Diantara para Ulama ahli tafsir ada yang menjelaskan bahwa yang mereka
maksud dengan orang besar adalah al-Walîd bin al-Mughîrah dan Urwah bin
Mas’ûd ats-Tsaqafi. Standar mereka adalah kekayaan dan ketokohan mereka,
padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tokoh terbaik.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa orang-orang
kufar menjadikan keunggulan mereka dalam hal dunia dan ketokohan sebagai
bukti bagusnya kondisi mereka. Sebaliknya, mereka mencela kaum Muslimin
dan menganggap kekurangan kaum Muslimin dalam dua hal di atas sebagai
bukti rusaknya agama kaum Muslimin.
Oleh karena itu, seyogyanya seorang Muslim menjadikan kwalitas
keistiqamahan seseorang dalam menjalankan agama sebagai standar baik
atau buruknya seseorang, bukan harta melimpah serta bukan pula jabatan
yang berhasil diraih.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1434H/2013. almanhaj.or.id ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar