• Definisi, Asal Dan Hikmah Pensyariatan Kurban Serta Hukum Kurban






    ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN






    Oleh

    Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar
    Hafizhahullah





    AL-UDH-HIYAH (Kurban)





    Kurban disyari’atkan pada hari raya Adh-ha dan hari-hari Tasyriq. Kurban
    adalah ibadah agung yang menampakkan sifat penghambaan yang ikhlas
    karena Allah, karena seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan
    menumpahkan darah binatang ternak secara syari’at.





    Definisi dan Sebab Penamaannya


    Al-Udh-hiyah Secara Bahasa


    Al-udh-hiyah, didhamahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan serta tidak
    ditasydid huruf ya’-nya dan ditasydid. Bentuk jamaknya adalah adhaa-hi
    (أَضَاحِيْ ) dan adhaahiyy ( أَضَاحِيّ). Juga bisa dikatakan dhahiyah (
    ضَحِيَة) dengan difathahkan huruf Dhadnya dan dikasrahkan, bentuk
    jama’nya adalah dhahaaya (ضَحَايَا). Juga boleh dikatakan adhhaah (
    أَضْحَاة) dengan difathahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan dan bentuk
    jamaknya adalah adhhaa ( أَضْحًى) dengan ditanwinkan seperti arthaa (
    أَرْطَى) jamak dari arthaah [1] ( أَرْطَاة).





    Al-udh-hiyah Scara Istilah


    Udh-hiyah adalah binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban
    sampai akhir hari Tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.





    Sebab Penamaannya


    Ada yang mengatakan, kata ini diambil dari kata (الضَحْوَة ); dinamakan
    demikian karena dilakukan diawal waktu pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha
    dan dengan sebab ini hari tersebut dinamakan hari raya al-Adh-ha. [2]





    Asal Pensyari’atannya


    Kurban disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’


    Dari al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala





    فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ





    “Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [al-Kautsar/108: 2]





    Ibnu Katsir rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa
    yang dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu
    menyembelih unta dan sejenisnya” [3]





    Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam.





    كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَكَانَ يُسَمِّيْ وَيُكَبِّرُ.





    “Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah dan bertakbir” [4]





    Demikian juga hadits dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :





    خَطَبَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ
    النَّحْرِ، فَقَالَ: لاَ يُضَحِّيَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَـقَالَ
    رَجُلٌ عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، قَالَ:
    فَضَحِّ بِهَا وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ





    “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di
    hari raya kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari
    kalian) menyembelih sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku
    memiliki inaq laban, ia lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’.
    Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidak sah jadz’ah dari seorang
    setelahmu” [5]





    Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’
    (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu
    nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’
    tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.





    Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam al-Mughni,”Kaum muslimin
    telah sepakat tentang pensyariatan kurban”[6]. Sedangkan Ibnu Hajar
    rahimahullah mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa
    kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama [7].





    HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN





    Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut.





    1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihissalam yang diperintahkan
    agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran
    mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas
    pelipisnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnmya dan
    menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang
    Mahaagung, ketika berfirman.





    فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي
    الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ
    افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
    فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا
    إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي
    الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُوَفَدَيْنَاهُ
    بِذِبْحٍ عَظِيمٍ





    “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
    bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku
    melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa
    pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang
    diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
    orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah diri dan
    Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
    keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
    telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya demikianlah Kami memberi
    balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
    benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
    seekor sembelihan yang besar” [ash-Shaaffaat/37: 102-107]





    Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan
    menyembelih sesuatu dari pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
    manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi
    kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan
    mengerjakan seluruh perintahNya.





    2. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim
    menyembelih kurbannya, maka ia telah mencukupi diri dan keluarganya, dan
    ketika ia menghadiahkan sebagiannya untuk teman dan tetangga dan
    kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah
    dengan sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang yang
    membtuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka dari meminta-minta pada
    hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.





    HUKUM BERKURBAN





    Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu.





    1. Pendapat Pertama : Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah,
    pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah
    pendapat mayoritas ulama salaf dan yang setelah mereka.





    2. Pendapat Kedua : Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas
    muslim yang mampu dan tidak musafir, dan berdosa jika tidak berkurban.
    Inilah pendapat Abu Hanifah dan selainnya dari para ulama.


    Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam
    kitab-kitab madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan
    dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah
    mu’akkadah, tidak wajib.





    Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah,
    tidak wajib. Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya,
    maka tidaklah berdosa [8]





    Sedangkan Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda
    pendapat tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar
    ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika
    tidak melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus
    mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib
    atas orang yang mampu.[9]





    [Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi
    Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin
    Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit
    Pustaka Ibnu Katsir] sumber : almanhajorid


    _______


    Footnote


    [1]. Lisaanul ‘Arab, maddah Dhahaa (XIV/477) dan al-Mu’jamul Wasiith maddah Dhahaah (I/537).


    [2]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/109) dan Fat-hul Baari (X/3) dan Nihaayatul Muhtaaj (III/133).


    [3]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsiir Al-Qurthubi (XI/218]


    [4]. Hadits Riwayat Bukhari dan Musim lihat Fathul Baari (X/9) dan Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/120).


    [5]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim lihat Fathul Baari (X/6) dan Shahihh Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/113)


    [6]. Al-Mughni (VIII/617)


    [7]. Fathul Baari (/3)


    [8]. Al-Muhalla (VIII/3)


    [9]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua
    pendapat ini dan perdebatannya dalam Fathul Baari (X/3), Bidaayatul
    Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtaaj (IV/282) Majmu Al-Fatawaa
    (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarhhul Kabiir (XI/94) dan Al-Mughni
    (VIII/617) dan setelahnya.




  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent