• Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah






    SEBERKAS CAHAYA DI TENGAH GELAPNYA MUSIBAH










    Segala puji bagi Allah Zat yang telah
    menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapakah
    di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus
    Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas
    seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa
    terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan sahabat juga
    seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam
    semesta. Amma ba’du.



    Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan
    ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu
    terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu
    terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu
    luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini
    akan membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi
    bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



    واعلم أن النصر مع الصبر ، وأن الفرج مع الكرب ، وأن مع العسر يسرا



    “Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan
    kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah
    kesulitan itu akan datang kemudahan.”
    (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)



    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan
    kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia
    memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang terasa panas
    menyengat di dalam dada.



    Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid

    Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).



    Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:



    “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam
    agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
    menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota
    badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
    tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat
    (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak
    mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah
    yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar
    ketika menghadapinya.



    Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat
    serta menjauhi larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah.
    Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala
    untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui
    sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian
    dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa
    ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam
    adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap
    sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau
    sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.



    Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal
    kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal
    kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang
    menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah
    sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar
    dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar
    tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”




    Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala
    tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga
    Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan
    bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar
    termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun
    bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak
    mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala
    mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan
    itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal
    yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan.
    Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar
    dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya
    juga wajib.



    Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”)
    yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh,
    tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
    kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar
    karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh
    kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan
    untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi,
    merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar
    artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan
    menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara
    merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”




    Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata
    sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman,
    sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya
    kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
    menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang
    menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”




    Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah”
    artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
    bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
    cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan
    perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan
    penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga
    memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
    yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga
    termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran
    itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah
    cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan
    yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).



    Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah



    Allah ta’ala berfirman yang artinya,



    مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِيَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ



    “Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin
    Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya
    Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha
    mengetahui segala sesuatu.”
    (QS At Taghaabun: 11)



    Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat
    ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah
    yang menimpa seorang individu di antara umat manusia, baik yang terkait
    dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi dengan
    sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti
    terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa
    yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan
    takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga
    mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya
    karena yakin terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha
    mengetahui segala hal yang dapat membuat hamba-hambaNya menjadi baik.
    Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).



    Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini
    berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari
    bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan
    bersikap pasrah kepada-Nya.”




    Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:



    “Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid
    sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan
    lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat
    ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena
    dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun
    merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’
    Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).



    Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:


    1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.

    2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih hidayah dan merasakan ketenteraman diri.

    3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.

    4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.

    5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.


    (Al Jadiid, hal. 314).



    Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah



    Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:



    “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah),
    bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan
    antara ridho dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu
    adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia
    adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan
    di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima
    terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua sudut
    pandang yang berlainan:



    Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala.
    Seorang hamba merasa ridho terhadap perbuatan Allah yang menetapkan
    terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho dan puas dengan perbuatan
    Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa
    ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa
    ‘ala. Rasa ridho terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu
    kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya
    haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).



    Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu
    terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah
    mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sakit
    yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan
    sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho
    dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab
    (disunahkan).



    Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat
    ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia
    menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa
    ridha’
    yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).



    Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan



    Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
    Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan
    hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
    pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai
    dibayarkan di saat hari kiamat.”
    (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).



    Syaikhul Islam mengatakan:



    “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab
    dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang
    tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap
    kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta
    memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
    maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri
    dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan
    ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada
    hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk,
    kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah
    menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat
    yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
    menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang
    menimpa agamanya.



    Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian
    dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap
    munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran
    yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan
    malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
    semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan
    lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul
    setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri.
    Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap
    sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang
    semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri
    terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai
    rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya
    tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan
    karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya.
    Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat
    (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya.



    أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ



    “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)



    Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu
    pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan
    sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh
    balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan
    ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).

    Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:


    1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.

    2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.

    3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama
      hal itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan
      yang diharamkan.

    4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini senantiasa kita rasakan.

    5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.

    6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.


    (Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).



    Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar



    Allah ta’ala berfirman,



    وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ
    اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155}
    الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ
    إِلَيْهِ رَاجِعُونَ {156} أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن
    رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ



    “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut,
    kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka
    berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang
    yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini
    berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka
    itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari
    Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.”
    (QS Al Baqoroh: 155-157)



    Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata
    di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang
    tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan
    dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan
    antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung
    oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya
    penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak
    bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).



    Allah ta’ala juga berfirman,



    إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ



    “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)



    Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata
    di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis
    kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan,
    yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan
    kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar
    dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang
    dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar
    pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
    maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa
    diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar
    dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa
    Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).



    Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.

    Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

    ***

    Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Staf Pengajar Ma’had Ilmi)

    Murojaah: Ustadz Abu Saad

    Artikel muslimorid









  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent