Menghadap Kiblat, Berdiri Di Hadapan Rabbul ‘Alamiin!
Kedudukan menghadap kiblat, berdiri di hadapan Rabbul ‘alamiin
Menghadap kiblat saat shalat bagi orang yang mampu,
merupakan syarat kesyahan shalat berdasarkan dalil dari Al Quran,
Al-Hadits dan Ijma’. Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (Al-Baqarah:144). [Diringkas dari Shahih Fiqhis Sunnah,hal. 303].
Adapun berdiri dalam shalat wajib bagi orang yang mampu melakukannya, termasuk salah satu rukun shalat, hal ini juga berdasarkan dalil dari Al Quran, Al-Hadits dan Ijma’. Allah Ta’ala berfirman :
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalat kalian) dengan ta’at.
(Al-Baqarah:238). [Diringkas dari Shahih Fiqhis Sunnah, hal. 314].
Kelalaian hati diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hal ini, “Dalam
shalat lima waktu, diantara dua shalat, pada diri seorang hamba (bisa
saja) terjadi kelalaian, kegersangan, kekerasan dan keberpalingan hati,
ketergelinciran serta kesalahan-kesalahan, hingga (hal ini) menjauhkan
hatinya dari Rabb nya, menyingkirkan dari kedekatan dengan-Nya, (lalu)
jadilah sebuah hati yang terasing dari peribadatan kepada-Nya” (Asraarush Shalaah, Ibnul Qoyyim. hal.10)
Rahasia keindahan berdiri di hadapan Rabbul ‘alamiin
Setelah menjelaskan tentang kelalaian hati di atas, Ibnul Qoyyim rahimahullah melanjutkan
penggambaran keindahan saat seorang hamba berdiri menghadap Rabb nya
untuk memulai shalatnya, setelah kelalaian yang menimpa hatinya,
و العبد كان في حال غفلته كالآبق من ربه ،و قد
عطّل جوارحه و قلبه عن الخدمة التي خُلق لها ،فإذا جاء إليه فقد رجع من
إباقه ، فإذا وقف بين يديه موقف العبودية و التذلل و الانكسار ، فقد استدعى
عطف سيِّده عليه ، و إقباله عليه بعد الإعراض .
“Seorang hamba ketika dalam keadaan lalai seperti orang
yang lari dari Tuhan nya, ia telah menghentikan anggota tubuh dan
hatinya dari berberibadah yang itu merupakan tujuan penciptaannya.
(Namun)Jika ia telah kembali kepada-Nya, maka berarti ia telah kembali
dari pelariannya.
Lalu jika ia telah berdiri dalam keadaan menunaikan
peribadatan , merendahkan diri dan merasa tak berdaya di hadapan-Nya,
berarti ia telah mengundang datangnya kasih sayang Rabb nya kepadanya
dan berarti pula ia telah menghadap kepada-Nya setelah berpaling
(dari-Nya)” (Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim, (PDF) hal. 16).
Dalam kitabnya yang lain, beliau rahimahullah juga
menjelaskan bentuk penghayatan yang selayaknya ada dalam hati seorang
hamba ketika berdiri menghadap Rabb nya untuk memulai shalatnya,
فإنه إذا انتصب قائما بين يدي الرب تبارك وتعالى
شاهد بقلبه قيوميته وإذا قال الله اكبر شاهد كبرياءه وإذا قال سبحانك
اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك شاهد بقلبه ربا منزها عن
كل عيب سالما من كل نقص محمودا بكل حمد فحمده يتضمن وصفه بكل كمال.
“Maka jika seorang hamba berdiri tegak di hadapan
Ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala, (berarti) ia menyaksikan dengan hatinya
(menghayati) Kemahamandirian-Nya. Jika ia mengucapkan: “ Allahu
Akbar”,maka ia menghayati Kemahabesaran-Nya. Dan jika ia mengucapkan :
“Subhanakallahumma wa bihamdika Tabaarakasmuka wa Ta’ala Jadduka, wa la
ilaha ghairuka”, maka ia pun menyaksikan dengan hatinya
(menghayati)Tuhan yang disucikan dari seluruh aib, senantiasa selamat
dari seluruh kekurangsempurnaan, terpuji dengan segala pujian. Pujian
terhadap-Nya tersebut mengandung pensifatan bagi-Nya dengan setiap
sifat-sifat sempurna” (Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim, hal. 171).
Tiga kedudukan menghadap Rabbul ‘alamiin dalam shalat
Menjelaskan tentang hal di atas,Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
الإقبال على الله وسر الصلاة وروحها ولبها هو
إقبال العبد على الله بكليته، فكما أنه لا ينبغي له أن يصرف وجهه عن قبلة
الله يمينًا وشمالاً, فكذلك لا ينبغي له أن يصرف قلبه عن ربه إلى
غيره. فالكعبة التي هي بيت الله قبلة وجهه وبدنه، ورب البيت تبارك وتعالى
هو قبلة قلبه وروحه، وعلى حسب إقبال العبد على الله في صلاته يكون إقبال
الله عليه، وإذا أعرض أعرض الله عنه.
“Menghadap kepada Allah, Rahasia shalat, ruh
dan intinya ialah keberadaan hamba yang menghadap Allah secara
totalitas, sebagaimana ia tidak dibolehkan memalingkan wajahnya dari
kiblat Allah, ke kanan atau ke kiri, maka tidak semestinya pula ia
memalingkan hatinya dari Rabb nya kepada selain-Nya.
Ka’bah adalah Baitullah, yang menjadi kiblat wajah dan
badan seorang hamba, sedangkan Rabbul Bait (Allah) Tabaraka wa Ta’ala
adalah kiblat hati dan ruhnya. Maka sejauh mana seorang hamba menghadap
Allah dalam shalatnya, maka sejauh itu pula Allah menghadap kepada
hamba-Nya, dan jika ia berpaling , maka Allah juga berpaling darinya”.
وللإقبال في الصلاة ثلاث منازل:
1- إقبال على قلبه فيحفظه من الوساوس والخطرات المبطلة لثواب صلاته أو المنقصة له.
2-وإقبال على الله بمراقبته حتى كأنه يراه.
3- وإقبال على معاني كلامه وتفاصيل عبودية الصلاة ليعطيها حقها.
فباستكمال هذه المراتب الثلاث تكون إقامة الصلاة
حقًا ويكون إقبال الله على عبده بحسب ذلك. فإذا انتصب العبد قائمًا بين
يديه فإقباله على قيوميته وعظمته، وإذا كبر فإقباله على كبريائه.
“Menghadap Allah dalam shalat ada tiga kedudukan:
1. Memperhatikan hatinya, sehingga ia (seorang hamba)
menjaganya dari bisikan dan lintasan-lintasan pikiran yang bisa
menggugurkan atau mengurangi pahala shalatnya.
2. Menghadap kepada Allah dengan merasa diawasi
oleh-Nya, sehingga seolah-olah ia melihat Allah (baca: sehingga mampu
menghayati pengaruh nama dan sifat-sifat-Nya).
3. Memperhatikan makna-makna firman-Nya dan perincian peribadatan shalat agar ia dapat menunaikan hak shalat.
Dengan menyempurnakan tiga kedudukan ini, maka
tewujudlah penegakkan shalat yang sebenarnya, dan kadar menghadapnya
Allah kepada hamba tergantung hal itu. Jika seorang hamba tegak
berdiri di hadapan Allah, maka berarti ia (menghadap kepada Allah
dengan) menghayati Kemahamandirian dan Keagungan-Nya dan jika ia
bertakbir, maka berarti ia (menghadap kepada Allah dengan) menghayati
Kemahabesaran Allah” (Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal. 40).
***
Referensi
- Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim, Daarul Hadhaarah (PDF).
- Shahih Fiqhis Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Salim.
- Kitaabush Shalaah, Ibnul Qoyyim, Al-Maktab Al-Islami.
- Asraarush Shalaah, Ibnul Qoyyim (PDF).
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar