SIKAP AHLUSSUNNAH DI ANTARA FIRQAH-FIRQAH SESAT [1]
Aqidah Ahlussunnah wal Jamâ’ah adalah aqidah Islam yang benar, berada
di pertengahan di antara akidah-aqidah golongan-golongan sesat yang
menisbatkan diri kepada agama Islam. Dalam setiap bab-bab akidah,
Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada ditengah antara dua golongan, yang
pemikiran keduanya saling bertentangan, salah satunya ghuluw (melewati
batas), yang lain meremehkannya. Jadi, akidah ahlussunnah wal Jamâ’ah
adalah akidah yang haq di antara dua kebatilan. Inilah di antara contoh
hal tersebut.
- DALAM BAB IBADAH
Di dalam bab ibadah, Ahlussunnah berada di tengah-tengah antara
golongan Râfidhah juga Shûfiyah dengan golongan Duruz dan Nushairiyyah.
Golongan Râfidhah dan Shûfiyah menyembah Allâh Azza wa Jalla dengan
ibadah yang tidak disyari’atkan, seperti berbagai dzikir, tawassul, dan
membuat hari raya dan perayaan bid’ah, membangun kubur, shalat di
dekatnya, thawaf mengelilingi kuburan, dan menyembelih binatang di
dekatnya. Banyak di antara mereka menyembah orang-orang yang telah
dikubur dengan cara menyembelih untuk mereka, berdoa kepada mereka agar
menjadi perantara kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mendatangkan perkara
yang diinginkan atau menolak perkara yang dikhawatirkan.
Sebaliknya, golongan Duruz dan Nushairiyyah, yang menamakan diri dengan ‘Alawiyyin,
meninggalkan peribadatan kepada Allâh sama sekali. Mereka tidak
menjalankan shalat, tidak berpuasa, tidak menunaikan zakat, tidak
berhaji dan seterusnya.
Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada diantara dua golongan tersebut. Mereka
beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang telah dijelaskan
dalam kitabullâh, al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Mereka tidak meninggalkan ibadah-ibadah yang telah Allâh
wajibkan atas mereka. Mereka juga tidak membuat-buat ibadah baru
berdasarkan kemauan diri mereka sendiri. Ini sebagai realisasi dari
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini,
apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak. [HR. Al-Bukhâri no. 2697
dan Muslim no. 1718]
Di dalam riwayat laim imam Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim no. 1718]
Dan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah Beliau:
«أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ،
وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا،
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah kitab
Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk
perkara (dalam agama) adalah perkara-perkara yang baru, dan semua
perkara baru (dalam agama) adalah kesesatan. [HR. Muslim, no. 867]
2.DALAM BAB : NAMA DAN SIFAT ALLAH
Ahlussunnah wal Jamâ’ah bersikap tengah dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allâh di antara golongan mu’atthilah dengan golongan mumats-tsilah.
Di antara golongan mu’atthilah, ada yang mengingkari semua
nama dan sifat-sifat Allâh, seperti golongan Jahmiyyah. Diantara mereka
ada yang mengingkari sifat-sifat Allâh, seperti golongan Mu’tazilah.
Dan di antara mereka ada yang mengingkari mayoritas sifat-sifat Allâh
dan menta’wilkannya, seperti golongan Asyâ’irah. Ini mereka lakukan
berdasarkan akal mereka yang dangkal, dan lebih mendahulukan akal
daripada kitab Allâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Mereka seakan mengukur nash-nash syari’at dengan akal mereka.
Nash yang diterima akal mereka, diterima, sedangkan nash yang tidak
diterima akal mereka, ditolak atau dita’wilkan. Mereka menganggap itu
sebagai tanzîh (sikap mensucikan Allâh Azza
wa Jalla). Mereka menjadikan nash-nash syari’at sebagai terdakwa, bukan
sebagai hakim. Mereka menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber ilmu
mereka, al-Qur’an dan as-Sunnah harus mengikuti akal. Perkara-perkara
yang diputuskan oleh akal mereka anggap sebagai prinsip-prinsip global
yang pertama, tidak membutuhkan nash-nash syari’at.
Oleh karena itu mereka menetapkan berbagai kewajiban atau keharusan
dan berbagai larangan atau kemustahilan pada diri Allâh Azza wa Jalla
dengan argumen-argumen akal menurut mereka. Mereka mengganggapnya
sebagai kebenaran, padahal itu kebatilan. Mereka menentang nash-nash
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan akal, sehingga ada salah seorang di
antara mereka berkata:
وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا … أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهَا
Semua nash yang menyebabkan salah faham adanya tasybîh (keserupaan Allâh dengan makhluk-pent), takwilkan, atau tafwidh-kan, dan carilah tanzîh (kesucian Allâh-pent).
Silahkan lihat perkataan ini di dalam kitab Jauharut Tauhîd, karya Ibrahim al-Laqâni al-Asy’ari dengan syarah (penjelasan)nya karya Al-Baijuuri, hlm. 91
Mereka ini menolak nash syari’at dan menta’wilkannya dari maknanya
yang hakiki yang difahami kepada makna yang jauh, dengan tanpa dalil
dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan, “Yang dimaksud bukanlah
makna yang ditunjukkan oleh zhahir nash, tetapi yang benar adalah apa
yang telah ketahui dari akal kita.” Kemudian mereka berusaha
menta’wilkan nash-nash kepada macam-macam ta’wil yang sesuai dengan
pendapat mereka. Oleh karena itu, kebanyakan mereka tidak menetapka
ta’wil, tetapi mereka berkata, “Mungkin yang dimaksudkan demikian, boleh
jadi yang dimaksudkan demikian.” Dan mereka berselisih di dalam
menta’wilkan sebagian sifat-sifat dengan perselisihan yang banyak.
Diantara mereka ada juga yang mengatakan, “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan
dari nash, tetapi kita telah mengetahui kebenaran dengan akal kita.”
Sikap mereka itu merupakan bentuk tuduhan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa Beliau tidak menjelaskan al-Qur’an, padahal
Allâh telah mengutus Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menjelasakan al-Qur’an, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan adz-Dzikr (peringatan; al-Qur’an) kepadamu,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka. [An-Nahl/16: 44]
Mereka memandang bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara
dalam masalah sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan pembicaaran yang
dimaksudkan bukanlah makna yang sesungguhnya yang segera difahami, dan
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada manusia,
dan bahwa Salaf (orang-orang dahulu) dari kalangan Sahabat dan
orang-orang setelah mereka tidak memahaminya dan tidak menjelasakannya
kepada manusia. Sampai datang al-Asy’ari dan orang-orang setelahnya yang
mengikuti jalannya, lalu mereka ini mengetahuinya dan menjelaskannya
kepada manusia. Ini adalah pendapat yang nyata kebatilannya, dan nyata
menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempurna di dalam
menyampaikan risalah (tugas diutusnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ).Sesungguhnya sebab yang menjerumuskan golongan muawwilah
ke dalam ta’wil adalah karena mereka membanding-bandingkan sifat-sifat
al-Khâliq k dengan sifat-sifat makhluk. Kemudian hal itu mendorong
mereka melakukan ta’wil terhadap kebanyakan sifat-sifat Allâh Subhanahu
wa Ta’ala yang telah ditetapkan di dalam al-Kitab dab as-Sunnah. Karena
mereka mengangap sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla itu menyerupai
sifat-sifat makhluk. Ini adalah kesalahan yang nyata, karena Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. [Asy-Syûrâ/42:11]
Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat-sifat yang sesuai
dengan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya, demikian pula makhluk memiliki
sifat-sifat yang sesuai dengan kefakirannya, kehinaannya, dan
kelemahannya.
Sehingga sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla tidak menyamai sifat-sifat makhluk. (Silahkan lihat Kitâb at-Tauîid, 1/57-117, karya Ibnu Khuzaimah; Majmû’ Fatâwâ, 5/27, karya Ibnu Taimiyah; Syarah Thahâwiyah, hlm. 57-68, karya Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi)
Sedangkan golongan mumats-tsilah, mereka membuat
persamaan-persamaan bagi Allâh Azza wa Jalla . Mereka menganggap
sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla sama dengan sifat-sifat makhluk.
Sebagian mereka berkata, “Tangan Allâh Azza wa Jalla seperti tanganku”,
“Pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala seperti pendengaranku”. Maha suci
Allâh Azza wa Jalla dari perkataan mereka.
Kemudian Allâh Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada Ahlussunnah wal
Jama’ah dengan pendapat yang pertengahan di dalam bab ini. Yaitu
pendapat yang ditunjukkan oleh Kitab Allâh dan Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka beriman kepada semua nama-nama
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan semua sifat-sifatNya yang ditetapkan di
dalam nash-nash syari’at. Sehingga mereka menyifati Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dengan sifat-sifat yang Allâh sifati diri-Nya dengan sifat-sifat
tersebut, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan oleh manusia yang
paling mengenal-Nya, yaitu Rasul-Nya, Nabi Muhammad bin Abdullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlussunnah menyifati Allâh Azza wa Jalla
dengan tanpa ta’thîl, ta’wîl, tamtsîl, dan takyîf.
Mereka mengimani bahwa itu adalah sifat-sifat Allâh yang sebenarnya,
sifat-sifat yang pantas dengan keagungan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan
tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Itu semua sebagai pengamalan
firman Allâh Azza wa Jalla :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Asy-Syuuraa/42: 11]
Ahlussunnah wal Jama’ah bersandar kepada nash-nash syari’at, dan
lebih mengedepankan nash-nash syari’at dari pada akal manusia. Mereka
menjadikan akal manusia sebagai sarana untuk memahami nash-nash
syari’at, dan sebagai syarat untuk mengenal segala ilmu, dan
kesempurnaan serta kebaikan semua amalan. Dengan akal manusia, ilmu dan
amal menjadi sempurna, tetapi akal tidak bisa berdiri sendiri dalam hal
ini.
Dengan demikian Ahlussunnah wal Jama’ah juga bersikap tengah dalam
masalah akal, mereka tidak mengedepankan akal di atas nash-nash
syari’at, sebagaimana dilakukan oleh para ahli kalam dari kalangan
Mu’tazilah, Asya’irah dan lainnya. Namun Ahlussunnah wal Jama’ah juga
tidak menyia-nyiakan akal dan mencelanya, sebagaimana dilakukan oleh
banyak orang-orang shufiyah. Mereka ini mencela akal, dan menetapkan
perkara-perkara yang didustakan oleh akal yang sehat. Mereka juga
mempercayai pada perkara-perkara yang diketahui kedustaannya oleh akal
yang sehat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015. ]
Sumber : Almanhaj.Or.Id
_______
Footnote
[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 20-25, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar