Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan dan pelita bagi orang yang
sedang berjalan. Ia merupakan poros kemajuan dan perkembangan juga
merupakan jalan kebangkitan bagi dunia Islam untuk membangun peradaban
yang indah, perekonomian yang kuat dan pribadi yang seimbang.
Keutamaan ilmu dan urgensinya telah dijelaskan dalam kitab-kitab para
Ulama dan saat ini kita tidak membicarakan itu. Kali ini, kita akan
fokus pembicaraan tentang hakekat nilai ilmu, dampak dan buahnya.
Majunya suatu umat bukan diukur dengan banyaknya wawasan yang telah
terisikan dalam kepala, tidak juga dengan banyaknya hafalan yang
diucapkan oleh mulut, akan tetapi diukur dengan efek dari ilmu tersebut
dalam prilakunya dan hatinya. Jika jujur melihat kondisi kaum Muslimin
saat ini, kita dapati mereka sangat membutuhkan pengembangan efek ilmu
itu dalam segala bidang dan lini kehidupan.
Diantara yang melemahkan efek ilmu bahkan menghilangkan sebagian
nilainya adalah adanya sebagian orang yang menjadikan ilmu sebagai
perhiasan yang berbangga diri dengannya. Mereka ini menjadikan ilmu
sebagai tangga untuk meraih popularitas, menumpuk harta, atau mendulang
pujian manusia. Na’udzubillah
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ، لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَلَا لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ، وَلَا تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ، فَالنَّارَ النَّارَ
Janganlah kalian menuntut ilmu demi membanggakannya dihadapan
Ulama, jangan juga untuk mendebat orang-orang bodoh, dan jangan juga
agar unggul di forum-forum. Barangsiapa yang melakukan demikian maka
neraka-neraka” [HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Hadits ini dinilai shahih Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Dahulu tidaklah
seseorang belajar ilmu, kecuali tidak lama kemudian terlihat efek ilmu
dalam kakhusyu’annya, dalam pandangannya, lisannya, tangannya,
shalatnya, pembicaraannya dan zuhudnya”
Efek ilmu dalam jiwa itu bertingkat-tingkat dan berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan jiwa masing-masing. Dari Abu Musa al-Asy’ari
Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الذي أُرسلتُ به
Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allâh utus aku untuk membawanya
adalah seperti hujan deras yang mengguyur tanah. Maka ada tanah yang
baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan
rerumputan yang lebat. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib, tanah
yang bisa menampung air (namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka
Allâh menjadikannya bermanfaat bagi manusia, mereka dapat mengambil air
minum dari tanah ini, lalu memberi minum untuk hewan ternaknya, dan
manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah
tanah qi’an yaitu tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa
menumbuhkan tetumbuhan. Inilah permisalan orang yang memahami agama
Allâh, sehingga bermanfaat baginya ajaran yang Allâh utus aku untuk
membawanya, maka iapun mengilmuinya dan mengajarkan ilmu. Dan
perumpamaan orang yang tidak memperdulikan ilmu, dia tidak mau menerima
petunjuk yang Allâh mengutusku dengannya.” [HR. Al-Bukhâri].
Iman merupakan pengendali dan pengarah jalan bagi ilmu agar efek baik
terwujud. Jika ilmu tidak disertai dengan iman, maka kebaikan ilmu akan
berubah menjadi keburukan, manfaatnya menjadi kemudorotan, dan efek
buruknya akan terlihat pada individu dan umat.
Mereka yang memiliki ilmu, namun berlaku sombong dan mengingkari
karunia Allâh Azza wa Jalla , mengingkari Rabb yang telah menciptakan
mereka, sampai akhirnya terjerumus dalam kekufuran dan atheisme,
penyebabnya adalah ilmu dan hati mereka tidak tersucikan dengan
keimanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا
بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ
يَسْتَهْزِئُونَ
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus
kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa
senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh
adzab Allâh yang selalu mereka perolok-olokkan itu [Ghâfir/40:83]
Ilmu akan memberikan buahnya dalam budaya, pemikiran dan adab tatkala
terikat dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Tidak mungkin bagi umat ini bisa
membuktikan eksistensinya sehingga bisa mengendalikan kepemimpinan dan
berada pada posisi terdepan tanpa al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an memiliki pengaruh yang tidak akan berakhir. Al-Qur’an
mengangkat derajat individu dan masyarakat di dunia dan akhirat.
Siapapun yang mendekatinya ia akan naik derajatnya dan meningkat,
sebaliknya siapapun yang meninggalkannya pasti ia akan celaka dan
terpuruk. Al-Qur’an membentuk kepribadian yang sempurna, mengharumkan
nama suatu umat dan membimbingnya agar memiliki peradaban tinggi dan
menjadi yang terdepan.
Umat yang mengerti akan arti dan urgensi al-Qur’an, mereka pasti akan
memberikan porsi perhatian yang besar kepada al-Qur’an. Mereka akan
membacanya, memahaminya, mentadabburinya lalu mengamalkannya.
Ilmu juga berpengaruh pada akhlak yang merupakan barometer suatu
umat. Ilmu sendiri tanpa tarbiyah tidak akan membuahkan generasi yang
sukses. Jika ilmu telah bisa membenahi akhlak, meluruskan etika dan
membersihkan hati, maka itulah ilmu yang diharapkan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Jika siang hariku sama
dengan siang hari orang pandir, dan malamku seperti malam orang jahil,
lalu apa yang telah aku lakukan terhadap ilmu yang telah aku catat?”
Apalah artinya ilmu, jika hasad dan dendam tetap bercokol di hati?
Forum-forumnya penuh dengan ghibah, namimah dan berbagai keburukan
lainnya?
Apalah artinya ilmu, jika pemiliknya ternyata menentang Robnya dengan
melanggar syari’at-Nya, mengkhianati agama, negeri dan masyarakatnya?!
Serta berdusta dalam perbuatan dan interaksinya dengan orang lain?!
Sungguh ia telah merobek tirai kemuliaan ilmu dan memadamkan cahayanya dengan tingkah dan akhlak buruknya.
Alangkah besar dosanya, jika dengan sebab itu masyarakat menjauhi dan
membenci syari’at Allâh n yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Dampak baik dari ilmu juga tampak pada perkembangan akal, pemikiran yang lurus, logika yang mapan dan argumen yang kuat.
Demi mewujudkan itu semua, al-Qur’an al-Karim mendidik kaum Muslimin
yang membacanya agar merenungkan ayat-ayat Allâh, dan mentadaburi
keajaiban-keajaiban kekuasaan Allâh yang tersebar di penjuru alam
semesta dan kehidupan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas
bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. [Fusshilat/41:53]
Lalu Allâh Azza wa Jalla menutup banyak ayat-Nya dengan firman-Nya, yang artinya, “Apakah kalian tidak berakal?”… “Apakah kalian tidak berfikir?”… “Apakah kalian tidak mengambil pelajaran?”
Ini semua untuk mengaktifkan dan mengembangkan akal serta melatihnya menempuh metode-metode berfikir yang tersetruktur.
Manfaat ilmu itu seharusnya juga tampak dalam kemampuan seserorang
menjaga diri dari syubhat-syubhat dan pemikiran-pemikiran menyimpang dan
batil. Ini tidak mungkin diperoleh kecuali dengan belajar ilmu syar’i
dan mengikat para pemuda dengan aturan-aturan syari’at, terutama
pengaruh kelompok-kelompok sesat yang menyusup ke tengah kaum Muslimin.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak
menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
melampaui batas [Al-An’âm/6:119]
Dan masih banyak lagi pengaruh baik lainnya yang merupakan buah dari ilmu.
Akhirnya kita berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar terus berkenan
menganugerahkan taufiq-Nya kepada kita dengan memberikan ilmu yang
bermanfaat kepada kita.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.9]
_______
Footnote
[1] Diadaptasi dari khutbah Jum’ah yang disampaikan oleh Syaikh DR. Abdul Bâri ats-Tsubaiti di Masjid Nabawi pada tanggal 13 Dzulqa’dah 1436 H dengan judul Atsarul ilmi fi Nufûs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar