BAHAYA AMBISI TERHADAP HARTA DAN KEHORMATAN
Oleh
Imam Ibnu Rajab Rahimahullah (736-795) [1]
Segala puji bagi rabb alam semesta, shalawat dan salam semoga Allah
limpahkan kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,
keluarganya dan para shahabatnya sampai hari kiamat.
Dari Ka’ab bin Malik Al-Anshari Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing,
(maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar
dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan
akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan". [2]
Hadit ini berisi permisalan yang sangat agung, yaitu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mencontohkan kerusakan pada dien seorang muslim dengan
sebab ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia. Hadits ini
mengisyaratkan bahwa orang yang berambisi terhadap harta dan kehormatan
(dunia) tidak akan selamat dari keutuhan keislamannya, kecuali sedikit
orang yang selamat.
Permisalan yang agung ini mencakup peringatan keras dari bahaya ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia.
Adapun ambisi terhadap harta terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama : Sangat cinta terhadap harta, dan memforsir diri serta
berlebih-lebihan dalam mencarinya meskipun dengan jalan yang halal.
Walaupun akibat yang timbul dari ambisi terhadap harta hanyalah
tersia-sianya waktu dalam hidup ini, padahal memungkinkan bagi manusia
untuk memanfaatkan waktu tersebut agar mencapai kedudukan yang tinggi
dan kenikmatan yang abadi disisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, cukuplah hal
tersebut sebagai celaan terhadap perbuatan ambisi terhadap harta.
Kedua : Disamping yang pertama, dia mencari harta dari jalan-jalan yang
haram dan menahan hak-hak yang wajib ia berikan kepada orang lain. Allah
berfirman:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung" [at-Taghaabun: 16]
Dalam Sunan Abu Daud dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
:
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ
أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ
فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
"Hati-hatilah kalian terhadap As-syuhh (kikir), sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian telah binasa karena disebabkan oleh As-syuhh (kikir).
As-syuhh (kikir) itu mengajak mereka untuk bakhil, maka mereka berbuat
bakhil; ia itu mengajak memutuskan tali silaturrahmi, maka mereka
memutuskan tali silaturrahmi; dan ia itu mengajak mereka untuk berdosa,
maka mereka berbuat dosa." [3]
Dan di dalam Shahih Muslim (4/1996, no. 56/2578) dari Jabir Radhiyallahu
'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau
bersabda:
اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
"Hindarilah As-syuhh (kikir) sesungguhnya as-syuhh itu menyebabkan
kebinasaan kepada orang-orang sebelum kalian, as-syuh itu membawa mereka
untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang dilarang oleh
Allah buat mereka".
Hakekat as-syuhh itu adalah kecenderungan jiwa kepada apa-apa yang
diharamkan oleh Allah, dan tidak puasnya seseorang dari apa-apa yang
dihalalkan oleh Allah, baik berupa harta, hubungan sexual dan selainnya,
kemudian setelah itu dia melapaui batas dengan melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Allah.
Al-Bukhlu (pelit) itu adalah menahan diri dari mengeluarkan harta yang
dimilikinya. Adapun as-syuh itu adalah mengambil sesuatu yang bukan
miliknya secara zhalim dan permusuhan, baik berupa harta ataupun
selainnya. Tetapi terkadang kata as-syuh juga dipakai dengan makna
al-bukhlu, dan sebaliknya, tetapi pada dasarnya ada perbedaan antara
keduanya sebagaimana telah kami sebutkan.
Adapun ambisi seseorang terhadap kehormatan maka hal itu lebih
membinasakan daripada ambisi terhadap harta. Sesungguhnya mencari
kehormatan dunia, ketinggian dan mengejar pangkat dan jabatan karena
senang menjadi pemimpin orang banyak dan melakukan kesombongan di dunia,
maka hal itu lebih berbahaya bagi seseorang dibandingkan dengan bahaya
yang ditimbulkan akibat ambisi seseorang untuk mengejar harta, bahkan
seseorang tidak segan-segan untuk mengeluarkan hartanya demi mencapai
kekuasaan dan kepemimpinan atas manusia serta mendapatkan kehormatan di
dunia.
Ambisi Terhadap Kehormatan Terbagi Menjadi Dua Macam:
1. Mencari Kehormatan Melalui Jabatan, Kekuasaan Dan Harta.
Hal ini berbahaya sekali karena biasanya akan menghalangi nikmat akhirat dan kemuliannya. Allah berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَيُرِيدُونَ
عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَفَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa" [al-Qashash:83]
Dalam Shahih Bukhari no. 7148 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ...
"Kalian akan berambisi atas kekuasaan dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat...".
Ketahuilah, bahwa ambisi terhadap kehormatan sangat membahayakan
pelakunya, (ia akan menghalalkan segala macam cara) dalam usahanya
mencapai tujuan, dan juga sangat membahayakan pelakunya ketika telah
mendapatkan kehormatan di dunia, dengan cara mempertahankan statusnya
meskipun harus melakukan kezhaliman, kesombongan dan kerusakan-kerusakan
yang lain sebagaimana dilakukan oleh penguasa yang zhalim.
Di antara bahaya ambisi terhadap kehormatan adalah, biasanya orang yang
memiliki kehormatan karena harta atau kekuasaannya, ia akan suka dipuji
dengan perbuatannya dan ia menginginkan pujian dari manusia, meskipun
terkadang perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai perbuatan tercela
dari pada perbuatan terpuji. Orang yang tidak mengikuti keinginannya,
dia tidak segan-segan untuk menyakiti dan meterornya. Bahkan terkadang
dia melakukan perbuatan yang zhahirnya baik, tetapi ia menyembunyikan
maksud yang buruk, ia senang dengan kamuflase tersebut, apalagi dengan
adanya sambutan yang positif dari khalayak ramai. Perbuatan tersebut
termasuk dalam firman Allah:
لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَواْ وَيُحِبُّونَ أَن
يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ
الْعَذَابِ
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa". [ali Imran 188]
Dari sinilah para ulama’ yang mendapatkan petunjuk dari Allah melarang
manusia untuk memuji mereka atas kebaikan yang mereka lakukan kepada
sesama manusia, bahkan mereka menyuruh manusia untuk mengembalikan
pujian hanya kepada pemiliknya, yaitu hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala semata, tiada sekutu bagiNya, karena sesungguhnya segala
kenikmatan itu datang dariNya.
(Penguasa yang adil) menginginkan agar dien Islam itu semuanya milik
Allah, begitu pula kemuliaan hanya milik Allah, bersama itu pula ia
takut kalau-kalau ia lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan Allah kepadanya.
Orang-orang yang mencintai sesama muslim dengan dasar ikhlas karena
Allah, maka yang paling mereka inginkan dari orang lain adalah agar
manusia mencintai Allah, mentaati dan mengesakanNya dalam beribadah.
Mereka tidak menginginkan imbalan jasa ataupun ucapan terimakasih dari
manusia, mereka hanya mengharapkan imbalan dari Allah atas amalan baik
yang mereka lakukan.
Dari sinilah pengikut setia para rasul, baik para ulama’ maupun para
pejabat, tidak mengajak manusia untuk mengagungkan diri mereka sendiri,
tetapi hanya mengagungkan Allah saja, dan beribadah kepadaNya. Ada di
antara mereka yang menginginkan kekuasaan hanya sebagai sarana untuk
amar ma’ruf nahi mungkar, dan berdakwah mengajak manusia untuk beribadah
hanya kepada Allah semata.
2. Mencari Kehormatan Dan Kedudukan Yang Tinggi Di Mata Manusia Melalui Jalan Agama, Seperti Ilmu, Amal Shalih Dan Zuhud.
Bentuk seperti ini lebih keji dari yang pertama, lebih buruk, lebih
berbahaya dan lebih besar kerusakannya. Karena sesungguhnya ilmu, amal
shalih dan zuhud hanyalah dimaksudkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi
Allah, berupa kedudukan yang tinggi, kenikmatan yang langgeng dan
kedekatan denganNya.
Point yang kedua inipun terbagi menjadi dua:
a. Dimaksudkan untuk mencari harta. Ini termasuk ke dalam ambisi
terhadap harta dan mencarinya dengan jalan yang diharamkan. Dari nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا
لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridla
Allah, hanya saja dia mempelajarinya semata-mata untuk mendapatkan
bagian di dunia maka dia tidak mendapatkan bau syurga di hari kiamat".
[4]
b. Dimaksudkan untuk mencari pengaruh pada manusia dan agar dihormati
oleh mereka, agar mereka tunduk patuh kepadanya, agar ia menjadi pusat
perhatian manusia, untuk menampakkan kepada manusia kelebihan ilmunya
melampaui para ulama’, maka orang seperti ini bagiannya adalah neraka.
Nabi bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ
بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ
أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
"Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau
menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah
akan memasukkannya kedalam api neraka".[5]
Dari sini pula para salafus shalih tidak suka lancang dalam memberikan
fatwa dan tidak berambisi untuknya, tidak terburu-buru dan tidak suka
banyak berfatwa.
Sebagian ulama’ berkata kepada orang yang suka memberikan fatwa: “jika
kalian ditanya satu masalah, janganlah perhatian kalian tentang
bagaimana terbebas dari si penanya, akan tetapi bagaimana kalian bisa
selamat lebih dahulu”. Ada juga yang berkata: “Apabila anda ditanya
tentang satu masalah, berpikirlah terlebih dahulu, jika anda mendapatkan
jalan keselamatan untuk dirimu maka berbicaralah, jika tidak maka
diamlah !”
Dari sini pula para salafus Shalih tidak suka mendatangi dan mendekati
para penguasa, adapun ulama’ dunia ia akan masuk dari pintu ke pintu
untuk mendapatkan kemuliaan dunia dan kedudukan. Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya
beliau bersabda:
مَنْ سَكَنَ الْبَادِيَةَ جَفَا وَمَنِ اتَّبَعَ الصَّيْدَ غَفَلَ وَمَنْ أَتَى السُّلْطَانَ افْتُتِنَ
"Barangsiapa tinggal di daerah orang-orang Badui dia akan berperangai
kasar, barangsiapa mengikuti hewan buruan ia akan lalai, dan barangsiapa
mendatangi pintu para penguasa, ia akan terfitnah".[6]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya:
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ دُنُوًّا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ الهِu بُعْدًا
"Tidaklah seseorang semakin dekat kepada penguasa kecuali akan semakin jauh dari Allah" [7]
Yang sangat ditakutkan atas orang yang mendatangi para penguasa yang
zhalim adalah membenarkan kedustaan mereka, menolong kezhaliman mereka
meskipun dengan diam membiarkan mereka berbuat zhalim. Karena orang yang
mendatangi mereka dengan tujuan mendapatkan kemuliaan dan kedudukan di
dunia serta berambisi terhadap keduanya, dia tidak akan mengingkari
mereka, bahkan sangat mungkin baginya untuk menganggap baik tindakan
buruk mereka, sebagai upaya untuk untuk mendekatkan diri kepada mereka,
dan untuk mendapatkan posisi yang baik di sisi mereka, agar mereka
membantunya untuk mewujudkan ambisinya.
Dari Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ
بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ
مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ
عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ
بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ
الْحَوْضَ
"Akan datang sesudahku para penguasa, maka siapa yang masuk menemui
mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan membantu mereka atas
kezhaliman yang mereka lakukan, maka dia bukanlah dari golonganku dan
aku bukan dari golongannya, dan ia tidak akan minum air telaga.
Barangsiapa yang tidak masuk menemui mereka, dan tidak menolong mereka
atas kezhaliman mereka, dan tidak membenarkan kedustaan mereka, maka dia
adalah termasuk golonganku dan aku darinya dan dia akan minum air
telaga".[8]
Banyak dari kalangan Salaf yang melarang masuk mendatangi para penguasa
meskipun bertujuan amar ma’ruf nahi mungkar. Di antara mereka adalah
Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Mubarak, Sufyan Ats-Tsauri dan
lain-lain.
Abdullah bin Mubarak berkata: “Menurut kami, tidak disebut penganjur
kebaikan dan pemberantas kemungkaran, orang-orang yang masuk mendatangi
para penguasa untuk amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi yang disebut
penganjur kebaikan dan pemberantas kemungkaran adalah orang yang
menjauhi mereka”.
Penyebabnya adalah apa yang ditakutkan berupa fitnah (kesesatan) akibat
masuk menemui mereka. Karena telah dikhayalkan kepada diri manusia,
bahwasanya ketika ia masih jauh dari para penguasa, ia dapat
menganjurkan kebaikan kepada mereka dan melarang serta mengingkari
kemungkaran kepada mereka, lalu jika ia telah menemui mereka dari jarak
dekat, condonglah jiwa kepada mereka, ia memendam cinta akan kemulian
dunia, ia bahkan bisa jadi jatuh cinta kepada mereka, lebih-lebih jika
mereka memberikan kemudahan dan fasilitas kepadanya, dan ia terima
pemberian tersebut.
Sufyan Ats-Tsauri (161 H) telah menulis surat kepada Abbad bin Abbad, di
antara isinya adalah: “Hati-hatilah anda dari penguasa, janganlah dekat
dengan mereka atau berhubungan dalam urusan apapun, janganlah anda
tertipu dengan tipuan Iblis yang membisikkanmu bahwa engkau menemui
mereka dalam rangka membela orang-orang yang tertindas dan mengembalikan
hak-hak mereka. Hanya ulama su’ (buruk) yang menjadikan dekat dengan
penguasa sebagai tangga untuk mencapai ambisi dunianya. Adapaun fatwa
yang sudah ada maka pergunakanlah, janganlah menjadi orang yang senang
jika ucapanya didengar dan diikuti, serta diekspose secara meluas.
Apabila ia meninggalkan itu semua, maka diketahuilah keikhlasannya.
Hati-hatilah anda dari cinta kepemimpinan, karena orang yang berambisi
terhadap kepemimpinan ia lebih mencintai kepemimpinan daripada cintanya
terhadap emas dan perak. Celah ini sangat tersamar, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali ulama yang berpengalaman.
Waspadalah dalam urusan hati, dan beramalah dengan niat yang ikhlash,
dan ketahuilah sudah dekat waktunya bahwa perkara yang diinginkan oleh
seseorang adalah apabila meninggal dunia, wassalam”.
Dikarenakan bahaya ambisi terhadap kemuliaan dunia, maka para Salafush
shalih tidak menyukai mempertontonkan keunggulan dirinya kepada manusia,
baik dalam hal ilmu, zuhud, dan ibadah. Mereka tidak suka menampakkan
amal shalih, ucapan, atau menyebutkan karamah yang Allah berikan
kepadanya agar ia dikunjungi, diharapkan berkahnya, dimintai do’anya,
dan supaya dicium tanganya, lalu senang serta bergembira terhadap hal
demikian, bahkan berusaha untuk mendapatkan penghormatan dari manusia
dengan apa yang telah disebutkan tadi.
Dari sinilah para Salafush Shalih sangat tidak menyukai ketenaran, di
antara mereka: Ayyub As-Sikhtiani, An-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad
bin Hambal, dan ulama Rabbani lainnya. Mereka merendahkan amalan mereka,
dan sangat menyembunyikan amal shalih mereka.
Ibrahim An-Nakha’i apabila sedang membaca Al-Qur’an, kemudian datang seseorang maka ia segera menutupi wajahnya dengan mushaf.
Banyak di antara ulama’ Salaf yang tidak suka apabila ia dimintai do’a,
sambil berkata kepada yang minta do’a: “Siapakah saya ini ?” (dia merasa
tidak pantas untuk dimintai do’a). Seseorang mengirim surat kepada Imam
Ahmad meminta agar beliau berdo’a untuknya, maka Imam Ahmad menyatakan:
“Jika kami berdo’a untuknya, maka siapakah yang berdo’a untuk kami?”
Salah seorang shalih menceritakan kepada raja tentang seseorang yang
gemar beribadah, maka raja ingin berkunjung kepadanya, diberitahukanlah
jadwal kunjungan sang raja kepada ahli ibadah terebut. Pada saat
kedatangan raja, ahli ibadah tersebut duduk di pinggir jalan sambil
makan, sang raja datang menemui ahli ibadah yang sedang duduk di pinggir
jalan sambil makan, raja mengucap salam dan dijawab oleh ahli ibadah
dengan singkat sambil menyantap makanan dengan lahap tanpa menghiraukan
kedatangan sang raja. Raja menjadi kecewa dan berkata: “Orang ini tidak
mempunyai kebaikan sama sekali !” lalu pulanglah sang raja. Setelah sang
raja pergi, si ahli ibadah berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi
Allah) yang telah menjauhkan saya dari orang itu dan dia pulang dalam
keadaan mencelaku”.
Permasalahan ini sangat luas sekali, dan di sini terdapat point yang
sangat halus sekali. Yaitu bahwa seorang manusia kadang mencela diri
sendiri di hadapan orang lain, dengan tujuan agar orang lain menganggap
dia sebagai orang yang tawaddlu’, sehingga ia menjadi mulia dan terpuji
di mata manusia. Ini merupakan bagian dari pintu riya’ yang sangat
halus, para ulama’ telah memperingatkan terhadap hal ini.
Jelaslah sudah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa cinta harta dan
kedudukan serta ambisi terhadap keduanya dapat merusak dien seorang
muslim sampai habis tak bersisa, kecuali Allah berkehendak lain. Akar
dari cinta kepada harta dan kemuliaan adalah cinta kepada dunia dan akar
cinta kepada dunia adalah mengikuti hawa nafsu.
Wahab bin Munabbih berkata: “Mengikuti hawa nafsu akan melahirkan cinta
kepada dunia, cinta kepada dunia akan melahirkan cinta kepada harta dan
kemuliaan, dan cinta kepada harta dan kemuliaan melahirkan sikap
menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah”.
Ucapan itu benar, hanya taqwa kepada Allah yang dapat membentengi
seseorang dari mengikuti hawa nafsu dan memalingkan hati kita dari cinta
kepada dunia. Allah berfirman:
فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . فَإِنَّ
الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى
النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)". [an-Nazi’aatL: 37 – 41]
Allah telah mensifatkan penduduk neraka sebagai orang yang memiliki
harta dan kekuasaan di beberapa tempat dalam kitabNya. Dia berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ
أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا كَانَتِ
الْقَاضِيَةَ . مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
"Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya kepadanya dari sebelah
kirinya, maka dia berkata:"Wahai alangkah baiknya kiranya tidak
diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku, wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, telah
hilang kekuasaan dariku". [al-Haaqqaah: 25-29]
Ketahuilah bahwa jiwa manusia mencintai kedudukan yang tinggi melebihi
orang lain. Dari sinilah timbul sifat sombong dan hasad, akan tetapi
orang-orang yang berakal akan berlomba untuk mendapatkan kedudukan yang
tinggi yang kekal dan langgeng di sisi Allah, mendapatkan ridlaNya dan
membenci kedudukan tinggi yang fana dan bersifat sementara, tetapi
disertai dengan kemurkaan Allah dan kebencianNya, rendah dan jauh
dariNya.
Ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di dunia adalah perbuatan
tercela yang mengakibatkan kecongkakan dan kesombongan di muka bumi.
Sedangkan ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah adalah
hal yang terpuji. Allah berfirman:
وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba" [al-Muthaffifiin: 26]
Untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di akhirat diperintahkan untuk
berlomba-lomba dan berambisi terhadapnya, dengan jalan berusaha berjalan
di atas rel-relnya, tidak boleh merasa puas dengan rangking terakhir
padahal ia mampu meraih rangking teratas. Adapun kedudukan tinggi di
dunia, maka di akhirat akan berakibat penyesalan dan kerugian serta
kehinaan dan kerendahan yang akan dirasakan oleh orang yang berambisi.
Maka yang disyari’atkan dalam hal ini adalah menghindar dan zuhud
terhadapnya.
BEBERAPA PENYEBAB ZUHUD
Untuk memproleh sikap zuhud terdapat beberapa sebab, di antaranya:
1. Dengan merenungi tentang akibat buruk di akhirat dengan sebab
kehormatan dunia, berupa jabatan dan kekuasaan bagi orang yang tidak
melaksanakan tugasnya dengan benar.
2. Dengan merenungi tentang hukuman yang diperoleh bagi orang-orang yang zhalim dan sombong.
3. Dengan merenungi tentang pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang
ketika di dunia rendah hati, ikhlas karena Allah, yaitu dengan
mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat, karena sesungguhnya
barangsiapa yang rendah hati karena Allah (tawaddlu’), niscaya Allah
akan mengangkat derajatnya.
4. Zuhud didapat bukan karena kemampuan seorang hamba, akan tetapi
merupakan karunia Allah dan rahmatNya. Orang yang zuhud akan memperoleh
kehidupan yang baik di dunia sesuai dengan janji Allah kepada
orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Kehidupan yang baik ini
berupa balasan yang segera akan Allah berikan bagi orang-orang yang
zuhud terhadap harta dan kemuliaan dunia. Kehidupan yang baik ini secara
zhahir berupa kemuliaan taqwa dan kewibawaan di mata manusia, dan
secara bathin berupa manisnya iman dan ketaatan.
Barangsiapa mendapat karunia zuhud dari Allah, tentu ia sibuk mencari
kemuliaan akhirat dan tidak akan tertipu dengan kemuliaan dunia yang
semu dan sementara. Allah berfirman:
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ
"Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik". [al-A’raaf: 26]
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
"Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah semua kemuliaan itu". [al-Fathiir: 10]
Muhammad bin Sulaiman, seorang gebernur Bashrah datang menemui Hammad
bin Salamah. Gubernur itu duduk di hadapan Hammad lalu bertanya: “Wahai
Abu Salamah, mengapa setiap kali saya memandangmu, saya gemetar segan
kepadamu ?” Beliau menjawab: “Karena seorang alim apabila menghendaki
ridla Allah dengan ilmunya, maka segala sesuatu akan takut kepadanya,
apabila ia menginginkan untuk memperbanyak harta dengan ilmu, maka ia
takut kepada segala sesuatu”.
Barangsiapa sibuk membina dirinya untuk mendapatkan kedudukan yang
tinggi di sisi Allah, dengan jalan mengenal Allah, takut kepadaNya,
cinta kepadaNya, selalu merasa dalam pengawasanNya, tawakkal, ridla
dengan takdirNya, merasa tentram dan rindu kepadaNya, dia akan sampai
kepadaNya dan dia tidak akan perduli dengan kedudukan yang tinggi di
sisi manusia. Meskipun demikian, Allah akan memberikan kedudukan yang
tinggi di mata manusia, dan mereka hormat kepadanya, padahal dia sendiri
tidak menginginkan hal tersebut, bahkan lari menjauhinya dan khawatir
kalau kehormatan dunia ini bisa memutuskan jalannya menuju ridla Allah.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
"Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang
Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang. [Maryam :
96]
Dan dalam sebuah hadits yang shahih:
إِذَا أَحَبَّ الهُa الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ الهَ يُحِبُّ
فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي
أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ الهَa يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ
أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي اْلأَرْضِ
"Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia berfirman: “Wahai
jibril Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!” lalu Jibrilpun
mencintainya. Lalu jibril berseru kepada penduduk langit: Sesungguhnya
Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!”, maka penduduk langitpun
mencintainya. Kemudian dia di karuniai dengan diterimanya di muka bumi".
[HR. Bukhari no. 3037, 5693,7047 dan Shahih Muslim no. 2637]
Kesimpulannya mencari kehormatan akhirat akan mendapatkan kehormatan
akhirat plus kehormatan dunia, meskipun ia tidak menginginkan dan tidak
mencarinya. Sedangkan mencari kehormatan dunia tidak akan bertemu dan
tidak akan mungkin berkumpul dengan kehormatan akhirat.
Orang yang bahagia adalah orang yang lebih mengutamakan akhirat yang kekal dibandingkan dengan dunia yang fana.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Disarikan dari kitab: Syarhun wa bayanun lihaditsi “MAA DZI’BAANI
JA’IAANI” Oleh Al-Imam Ibnu Rajab t (736-795), Takhrij : Muhammad Shubhi
Hasan Hallaq, Penerbit : Muassasah Ar-rayyan-Beirut-Libanon, Cet:
Pertama, tahun 1413 H – 1992 M. Penerjemah: Fariq bin Ghasim Anuz
[2]. HR. Ahmad, Nasa’, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Imam
Tirmidzi berkata (tentang) hadits ini: “Hasan shahih”. Muhammad Shubhi
Hasan Hallaq menyatakan: “Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi,
Ibnu Hibban, Al-Albani dan selain mereka
[3]. Syeikh Muhammad Syubhi Hasan Hallaq menyatakan hadits ini Shahih. HR. Abu Daud 2/324 no. 1698.
[4]. HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban serta dishahihkan oleh Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq
[5]. HR. Tirmidzi no. 2654 dari Ka’ab bin Malik serta dishahihkan oleh syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq
[6] HR. Ahmad. Abu Daud no. 2859, Tirmidzi dan Nasa’i no. 4309. Syeikh
Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq berkata: “Hadits ini juga dikeluarkan
oleh Ibnu Abdil Baar dalam Al-Jami’ (I/163), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
(4/72), Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/397), Thabrani dalam Al-Kabir no.
11030, dan Bukhari dalam Al-Kuna (8/70) dan itu adalah hadits shahih,
dan dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud
[7]. HR. Ahmad, Abu Daud no. 4860. Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq
berkata: “Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil
(1/312) Al-Qudhai dalam Musnad as-Syihab (1/222 no. 339) dan Syeikh
Al-Albani memuatnya dalam as-Shahihah no. 1272
[8]. (HR. Ahmad 3/321 dan 399, Tirmidzi 4/525 no. 2259, Nasa’i 7/160,
161 no. 4207 dan 4208 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (Dalam Al-Ihsan
1/248 no. 279; 1/249 no. 282; 1/250 no. 283; dan 1/251 no. 285
sumber : almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar