• Mengendalikan Syahwat

    Tazkiyah Nufus

     



    MENGENDALIKAN SYAHWAT



     


    Oleh

    Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari








    Allah Ta'ala menciptakan manusia dengan disertai syahwat. Adanya syahwat
    pada diri manusia tidak sia-sia, akan tetapi terdapat faidah dan
    manfaat di dalamnya. Bahkah jika manusia tidak memiliki syahwat (selera)
    makan, misalnya, kemudian dia tidak makan, sehingga akan menyebabkan
    dirinya binasa. Demikian juga jika manusia tidak memiliki syahwat
    terhadap lawan jenis, maka keturunan dapat menjadi terputus.




    Oleh karena itu, keberadaan syahwat pada manusia tidak tercela. Celaan
    itu tertuju jika manusia melewati batas dalam memenuhi syahwat. Karena
    ada sebagian manusia yang tidak memahami hal ini, mengira bahwa syahwat
    pada manusia merupakan perkara tercela, sehingga mereka berusaha
    meninggalkan semua yang sebenarnya diinginkan oleh jiwanya. Bahkan di
    antara mereka ada yang berkata: "Aku memiliki istri selama sekian tahun,
    aku menginginkankannya, namun aku tidak pernah menyentuhnya!" Hal
    seperti ini, sesungguhnya merupakan perbuatan zhalim terhadap jiwa,
    karena menghilangkan haknya. Padahal jiwa memiliki hak yang harus
    dipenuhi, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
    sahabat beliau yang bernama 'Utsman bin Mazh'un Radhiyallahu 'anhu :



    فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ
    فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
    وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
    فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَصَلِّ وَنَمْ



    "Sesungguhnya aku biasa tidur dan shalat, berpuasa dan berbuka, dan aku
    menikahi wanita-wanita. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai 'Utsman,
    karena sesungguhnya keluargamu memiliki hak yang menjadi kewajibanmu,
    tamumu memiliki hak yang menjadi kewajibanmu, dan jiwamu memiliki hak
    yang menjadi kewajibanmu. Maka puasalah, berbukalah, shalatlah (pada
    sebagian waktu malam, Pen.) dan tidurlah (pada sebagian waktu malam,
    Pen)".[1]



    Anggapan seperti ini juga merupakan penyimpangan dari keyakinan terhadap
    sesuatu yang halal, dan menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
    sallam . Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa meminum madu
    dan minuman manis, dan itu merupakan kesukaan beliau Shallallahu 'alaihi
    wa sallam.



    Adapun sebagian manusia yang meninggalkan perkara-perkara yang mereka
    sukai itu dengan beralasan karena zuhud (meremehkan) terhadap dunia.
    Tetapi zuhud yang mereka lakukan itu diiringi dengan kebodohan terhadap
    agama, sehingga zuhud mereka itu tidak bernilai kebaikan. Karena
    mengharamkan sesuatu yang dihalalkan agama –meskipun hanya bagi dirinya
    sendiri- merupakan kezhaliman terhadap jiwa, bukan merupakan keadilan.
    Bukankah mengambil sesuatu yang halal yang disukai jiwa -pada sebagian
    waktu- dan untuk menguatkan jiwa, itu ibarat pengobatan bagi orang yang
    sakit? Dan hal itu tentu terpuji dan tidak tercela.



    MENGENDALIKAN SYAHWAT PERUT

    Walaupun memenuhi kebutuhan hidup yang disukai itu diperbolehkan, namun
    bukan berarti seorang mukmin dibolehkan selalu memperturutkan hawa
    nafsunya, bahkan dia harus mengendalikannya. Di antaranya, yaitu
    mengendalikan syahwat perut. Karena syahwat perut ini termasuk salah
    satu perkara yang dapat membinasakan manusia. Syahwat ini pula yang
    menjadi penyebab Nabi Adam Alaihissalam dikeluarkan dari surga yang
    kekal. Dan dari syahwat perut ini, kemudian timbul syahwat kemaluan dan
    rakus terhadap harta benda.



    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan fitnah
    (kesesatan, ujian) syahwat dan fitnah syubhat terhadap umatnya. Beliau
    Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



    إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ



    "Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kalian, ialah syahwat
    mengikuti nafsu pada perut dan pada kemaluan kalian serta fitnah-fitnah
    yang menyesatkan".[2]



    Syahwat mengikuti nafsu perut dan kemaluan merupakan fitnah syahwat,
    sedangkan fitnah-fitnah yang menyesatkan adalah fitnah syubhat.



    Oleh karena itu seorang mukmin memiliki cara makan yang berbeda dengan orang-orang kafir.



    Di dalam hadits yang shahih diriwaytakan:



    عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يُؤْتَى
    بِمِسْكِينٍ يَأْكُلُ مَعَهُ فَأَدْخَلْتُ رَجُلًا يَأْكُلُ مَعَهُ
    فَأَكَلَ كَثِيرًا فَقَالَ يَا نَافِعُ لَا تُدْخِلْ هَذَا عَلَيَّ
    سَمِعْتُ النَّبِيَّ n يَقُولُ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ
    وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ



    "Dari Nâfi', ia berkata: "Kebiasaan Ibnu 'Umar, tidak makan sehingga
    didatangkan seorang miskin yang akan makan bersamanya," maka aku
    memasukkan seorang laki-laki yang akan makan bersamanya. Laki-laki itu
    makan banyak, maka Ibnu 'Umar berkata: "Wahai Nâfi', janganlah engkau
    masukkan (lagi) orang ini kepadaku. Aku telah mendengar Nabi Shallallahu
    'alaihi wa sallam bersabda,'Seorang mukmin makan memenuhi satu usus,
    sedangkan orang kafir makan memenuhi tujuh usus'." [HR. Bukhari, no.
    5391].



    Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
    wa sallam ini. Sebagian ulama mengatakan, yang dimaksudkan oleh hadits
    ini ialah bukan zhahirnya. Sedangkan sebagian lain mengatakan, bahwa
    hadits ini benar sesuai dengan zhahirnya. Kemudian para ulama berbeda
    pendapat tentang maknanya. Adapun makna yang tepat, ialah -sebagaimana
    dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, bahwa hadits ini
    sesuai dengan zhahirnya, yaitu menunjukkan kebiasaan/keadaan dominan.
    Maksud yang dikehendaki dengan bilangan tujuh, yaitu sebagai penekanan
    untuk menunjukkan banyak. Sehingga makna hadits ini, bahwa keadaan orang
    mukmin ialah sedikit makan, karena ia sibuk melakukan sarana-sarana
    ibadah, dan mengetahui tujuan makan menurut syariat, ialah untuk
    menghilangkan lapar, melangsungkan kehidupan, dan menguatkan ibadah. Dan
    karena seorang mukmin takut terhadap hisab yang disebabkan melampaui
    batas dalam hal makanan. Sedangkan orang kafir sebaliknya, karena tidak
    memahami maksud syari'at, bahkan dia mengikuti hawa nafsunya, tanpa ada
    rasa takut terhadap akibat-akibat keharamannya. Maka jadilah makannya
    seorang mukmin sepertujuh, jika dibandingkan dengan makannya orang
    kafir. Namun hal ini tidak berarti berlaku umum untuk semua orang mukmin
    ataupun orang kafir.



    Terkadang di antara orang-orang mukmin ada yang makannya banyak. Bisa
    jadi karena kebiasaan, atau karena sesuatu yang berhubungan dengannya,
    seperti karena penyakit yang tidak nampak, atau lainnya. Begitu pula
    terkadang di kalangan orang-orang kafir ada yang makannya sedikit. Bisa
    jadi karena untuk menjaga kesehatan sebagaimana menurut pendapat para
    dokter, atau karena latihan menurut pendapat para pendeta, atau karena
    faktor kelemahan lambung, dan semacamnya.



    Kesimpulannya, di antara keadaan orang mukmin, ialah semangat dalam
    berbuat zuhud dan merasa cukup dengan perbekalan. Dan ini berbeda dengan
    orang kafir. Sehingga, jika seorang mukmin atau seorang kafir tidak
    didapati berada pada sifat ini, maka bukan berarti membatalkan hadits
    ini".[3]



    Adapun tidak disukainya banyak makan, juga disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai berikut:



    مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ
    أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ
    لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ



    "Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya.
    Cukup bagi anak Adam beberapa suap yang menegakkan tulang punggungnya.
    Jika tidak ada pilihan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk
    minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya"[4]



    Penjelasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah puncak kebaikan.
    Sedangkan keadilan dalam makan, yaitu menyudahi makan ketika masih ada
    keinginan untuk menambah. Adapun menyedikitkan makan secara
    terus-menerus, akan dapat menyebabkan lemahnya kekuatan. Banyak orang
    yang menyedikitkan makan, sehingga mereka juga melalaikan terhadap
    kewajiban-kewajiban agama karena faktor kebodohan. Mereka menyangka hal
    itu merupakan keutamaan. Padahal anggapan itu tidak benar. Adapun maksud
    para ulama yang menjelaskan tentang keutamaan lapar, ialah menunjukkan
    pada keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
    sallam di atas. Dan para ulama, sama sekali tidak membolehkan
    penyimpangan terhadap syariat. Wallahul-Musta'an.



    MENGENDALIKAN SYAHWAT KEMALUAN

    Hendaklah kita mengetahui, syahwat terhadap lawan jenis yang diciptakan
    pada diri manusia memiliki hikmah dan faidah. Antara lain, ialah untuk
    memelihara keberlangsungan hidup manusia di muka bumi sampai waktu yang
    Allah kehendaki. Demikian juga agar manusia merasakan kenikmatan, yang
    dengan kepemilikan syahwat itu, ia dapat membandingkan kenikmatan dunia
    dengan kenikmatan kehidupan di akhirat. Karena orang yang belum pernah
    merasakan suatu jenis kenikmatan, maka ia tidak akan merindukannya.
    Tetapi, jika syahwat terhadap lawan jenis ini tidak dikendalikan dengan
    baik, akan dapat memunculkan banyak keburukan dan musibah. Karena
    sesungguhnya fitnah (ujian) terbesar bagi laki-laki adalah wanita,
    sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :



    مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ



    "Tidaklah aku menginggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita".[5]



    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan
    perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita
    merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan
    firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
    apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Qs Ali-Imran/3 ayat 14)
    yang Allah menjadikan wanita termasuk hubbu syahawat (kecintaan
    perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama
    sebelum jenis-jenis lainnya, sebagai isyarat bahwa wanita-wanita
    merupakan hal utama dalam masalah itu”. (Fathul-Bari)



    Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata: “Kebanyakan
    yang merusakkan kekuasaan dan negara, ialah karena menaati para
    wanita”.[6]



    Sebagian orang shalih berkata: "Seandainya seseorang memberikan amanah
    kepadaku terhadap baitul mal, aku menduga akan mampu melaksanakan amanah
    tersebut atasnya. Namun seandainya seseorang memberikan amanah kepadaku
    atas diri seorang gadis untuk bersendirian satu jam saja, aku tidak
    merasa aman atas diriku padanya"[7]. Karena fitnah wanita, dapat
    menyebabkan seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan
    hingga melupakannya terhadap akhirat. Seperti memandang wanita yang
    bukan mahramnya, menyentuhnya, berpacaran, bahkan sampai berbuat zina.



    Sesungguhnya perkara yang mudah untuk menjaga diri dari fitnah wanita
    sejak permulaannya, ialah sebagaimana telah diajarkan Allah Ta'ala,
    yaitu dengan menahan pandangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



    "Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
    menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
    adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa
    yang mereka perbuat". [an-Nûr/24: 30]



    Dalam hal ini, Allah Ta'ala juga tidak mencukupkan hanya dengan
    memerintahkan kepada laki-laki yang beriman saja agar menahan
    pandanganya, dan memelihara kemaluannya, tetapi Allah juga mengiringkan
    perintah-Nya kepada wanita-wanita:



    "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya".[an- Nûr/24: 31].



    Akan tetapi, ketika seseorang melepaskan kendali terhadap syahwatnya
    semenjak awal, maka di akhirnya dia akan sangat kesulitan mengatasinya.
    Ibarat seekor kuda yang berlari menuju ke suatu pintu yang akan
    dimasukinya, maka akan sangat mudah mengarahkan kuda itu dengan cara
    menarik kendalinya dan membelokkannya ke arah lain. Sebaliknya betapa
    susah, setelah kuda itu memasuki pintu tersebut, kemudian orang berusaha
    memegangi ekornya dan menariknya ke belakang. Alangkah besar perbedaan
    dua hal di atas.



    Kemudian, karena beratnya menjaga dan mengendalikan fitnah syahwat ini,
    maka Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam memberikan jaminan surga terhadap
    orang yang dapat mengendalikannya dengan baik.



    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



    مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ



    "Barang siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan
    apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga
    baginya".[8]



    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: Makna "menjamin (untuk
    Nabi)", ialah memenuhi janji dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau
    Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dengan menjamin, sedangkan
    yang beliau maksudkan ialah konsekwensinya, yaitu menunaikan
    kewajibannya. Sehingga maknanya, barang siapa yang menunaikan kewajiban
    pada lidahnya, yaitu berbicara sesuai dengan kewajibannya, atau diam
    dari apa yang tidak bermanfaat baginya; dan menunaikan kewajiban pada
    kemaluannya, yaitu meletakkannya pada yang halal dan menahannya dari
    yang haram.



    Sedangkan yang dimaksud dengan "apa yang ada di antara dua rahangnya",
    yaitu lidah dan apa yang dilakukannya, yaitu perkataan. Sedangkan "apa
    yang ada di antara dua kakinya" ialah kemaluan.



    Ad-Dawudi mengatakan, "apa yang ada di antara dua rahangnya" adalah
    mulut. Dia mengatakan, sehingga itu meliputi perkataan, makanan, minuman
    dan semua perbuatan yang dilakukan dengan mulut. Dia juga mengatakan,
    barangsiapa berusaha menjaganya, maka ia telah aman dari semua
    keburukan, karena tidak tersisa kecuali pendengaran dan penglihatan".
    Namun masih tersembunyi baginya, yaitu memukul dengan tangan.



    Sesungguhnya pengertian hadits ini berbicara dengan lidah merupakan hal
    utama dalam meraih semua yang dicari. Jika seseorang tidak berbicara
    kecuali di dalam hal kebaikan, maka dia selamat. Ibnu Baththal t
    berkata, hadits ini menunjukkan bahwa bencana terbesar atas seseorang di
    dunia adalah lidah dan kemaluannya. Sehingga barang siapa menjaga
    keburukan keduanya, dia telah menjaga dari keburukan yang terbesar.[9]



    Maka siapa yang akan menyambut tawaran agung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini? Wallahul-Musta'an.



    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008.
    Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
    Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

    ________

    Footnotes

    [1]. HR Abu Dawud, no. 1369 dari 'Aisyah x . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

    [2]. HR Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami. Dishahihkan oleh Syaikh Badrul Badr dalam ta’liq Kasyful- Kurbah, hlm. 21.

    [3]. Lihat Fathul-Bari, Penerbit Darus Salâm, Riyadh (9/667-669).

    [4]. HR at-Tirmidzi, no. 2380. Ibnu Majah, no. 3349. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

    [5]. HR al-Bukhari no: 5096. Muslim, no: 2740, dan lainnya, dari Usamah bin Zaid.

    [6]. Iqtidha` Shirathil-Mustaqim, hlm. 257.

    [7]. Mukhtashar Minhajul-Qashidin, hlm. 213, Tahqiq: Syaikh Ali al-Halabi.

    [8]. HR al-Bukhari, no. 6474. At-Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari.

    [9]. Fathul-Bari, syarh hadits no. 6474 secara ringkas.



    almanhaj.or.id

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent