MENSYUKURI NIKMAT ISLAM YANG ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
KARUNIAKAN KEPADA KITA
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Barangsiapa
dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya
untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia
jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.
Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
[Al-An’aam: 125]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Maka apakah
orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu
dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka
celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu
dalam kesesatan yang nyata.” [Az-Zumar: 22]
Orang yang tidak mendapat
hidayah akan senantiasa berada dalam kegelapan dan kerugian. Bagaimana jika
seandainya seseorang tidak diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla? Maka pasti
ia menderita dalam kekafirannya, hidupnya sengsara dan tidak tenteram, serta di
akhirat akan disiksa dengan siksaan yang abadi.[1] Allah Azza wa Jalla menunjuki
hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasul-Nya
Shallalla ‘alaihi wa sallam. Untuk itu, kewajiban kita adalah mengikuti,
meneladani dan mentaati Rasulullah Shallalla ‘alaihi wa sallam dalam segala
perilaku kehidupan kita, jika kita menginginkan hidup di bawah cahaya Islam.
Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dia Azza wa Jalla telah memberikan karunia
yang besar dengan diutusnya Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman.
"Sungguh, Allah telah
memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang
Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah), meskipun
sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran:
164]
Setiap muslim niscaya meyakini bahwasanya karunia Allah Azza wa
Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang muslim akan
senantiasa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya
petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang
terbesar yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untuk-mu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu.” [Al-Maa-idah: 3]
[A]. Kewajiban Kita Atas Karunia Yang Kita
Terima
Sesungguhnya wajib bagi kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla
dengan cara melaksanakan kewajiban terhadap-Nya. Setiap muslim wajib bersyukur
atas nikmat Islam yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla kepadanya. Jika
seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain yang telah
memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, maka ia adalah orang yang tidak
tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia tidak melaksanakan kewajibannya
kepada Allah Azza wa Jalla , maka dia adalah manusia yang paling tidak tahu
berterima kasih.
"Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.
Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah:
152]
Kewajiban apakah yang harus kita laksanakan kepada Allah Azza wa
Jalla yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita? Jawabannya, karena Allah
Azza wa Jalla telah memberikan karunia-Nya kepada kita dengan petunjuk ke dalam
Islam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah dengan ber-ibadah
hanya kepada Allah Azza wa Jalla secara ikhlas, mentauhidkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta taat kepada Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim
yang benar. Oleh karena itu, agar menjadi seorang muslim yang benar, kita harus
menuntut ilmu syar’i. Kita harus belajar agama Islam karena Islam adalah ilmu
dan amal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Azza
wa Jalla dengan membawa keduanya.
Allah Azza wa Jalla
berfirman.
"Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
(Al-Qur-an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 33]
Allah Azza wa Jalla
juga berfirman.
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang benar, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah
Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Juga lihat Ash-Shaaff ayat
9.
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, dan
دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Azza wa Jalla
mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran
dari kebathilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, Sifat-Sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta
memerintahkan semua yang bermanfaat bagi hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena
Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, ber-akhlak dengan akhlak yang mulia, beramal
shalih dan beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak buruk yang membahaya-kan hati
dan badan juga dunia dan akhirat.[2]
Cara untuk mendapat hidayah dan
mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menuntut ilmu syar’i.
Menuntut ilmu merupakan jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami
antara yang haq dan yang bathil, antara yang ma’ruf dan yang mungkar, antara
yang bermanfaat dan yang mudharat (membahayakan), dan menuntut ilmu akan membawa
kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah cukup hanya
dengan menyata-kan ke-Islamannya tanpa memahami dan mengamalkannya.
Pernyataannya itu haruslah dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari
Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang
abadi.
Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”[3]
Menuntut
ilmu adalah jalan menuju Surga.
Rasulullah j bersabda:
...مَنْ سَلَكَ
طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى
الْجَنَّةِ.
“...Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut
ilmu, maka Allah akan memudahkan dirinya dengannya jalan menuju
Surga.”[4]
[B]. Pentingnya Ilmu Syar’i
Kita dan anak-anak kita akan
tetap dan senantiasa ditambahkan ilmu, hidayah dan istiqamah di atas ketaatan
jika kita beserta keluarga menuntut ilmu syar’i. Hal ini tidak boleh diabaikan
dan tidak boleh dianggap remeh. Kita harus selalu bersikap penuh perhatian,
serius serta sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Kita akan tetap berada
di atas ash-Shiraathal Mustaqiim jika kita selalu belajar ilmu syar’i dan
beramal shalih. Jika kita tidak mem-perhatikan dua hal penting ini, tidak
mustahil iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Sebab, iman kita akan terus
berkurang dikarenakan ketidaktahuan kita tentang Islam dan iman, kufur, syirik,
dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan! Bukankah iman
kita jauh lebih berharga daripada hidup ini?
Dari sekian banyak waktu yang
kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya,
apakah tidak bisa kita sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat
melindungi iman kita?
Saya tidaklah mengatakan bahwa setiap muslim harus
menjadi ulama, membaca kitab-kitab tebal dan menghabiskan waktu belasan atau
puluhan tahun untuk usaha tersebut. Namun, minimal setiap muslim harus dapat
menyediakan waktunya satu jam saja setiap hari untuk mempelajari ilmu
pengetahuan tentang agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang harus
disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa maupun yang
sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi ajaran Al-Qur-an dan
As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Salafush Shalih. Oleh karena itu,
ia harus tahu tentang agama Islam dengan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah
sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu yang
dituntut untuk memperoleh pengetahuan agama Islam. Jika iman kita lebih berharga
dari segalanya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyediakan waktu 1 jam (enam
puluh menit) untuk belajar tentang Islam setiap hari dari waktu 24 jam (seribu
empat ratus empat puluh menit).
Ilmu syar’i mempunyai keutamaan yang sangat
besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki.
[C]. Kemuliaan Ilmu
Atas Harta [5]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan
perbedaan antara ilmu dengan harta, di antaranya sebagai berikut.
[1].
Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang
kaya.
[2]. Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga
hartanya.
[3]. Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa
atas ilmu.
[4]. Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu
justru bertambah dengan diajarkan.
[5]. Pemilik harta jika telah meninggal
dunia, ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam
kubur bersama para pemiliknya.
[6]. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja,
baik orang ber-iman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang
bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
[7]. Sesungguhnya
jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan
diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta tidak membersihkan dirinya, tidak pula
menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan
kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada
ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah
ketidak-sempurnaan dirinya.
[8]. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya
adalah akar seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar
berbagai kesalahan.
[9]. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada
Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak
manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
[10]. Sesungguhnya yang
dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya
mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika
pemiliknya mengumpulkan dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan
syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah
kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan
kegembiraan mereka. Di antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan
ilmu) terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang muslim harus
mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam,
definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.
[Disalin dari buku Prinsip
Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Psutaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke
2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat surat Ali ‘Imran ayat 91 dan
al-Maa-idah ayat 36-37.
[2]. Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii
Tafsiiril Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di (wafat th. 1376 H), cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. HR.
Ibnu Majah (no. 224) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, lihat
Shahiih al-Jamii’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula dari beberapa
Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id
al-Khudri, Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhum oleh imam-imam ahli hadits
lainnya dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Takhriij Musykilatul Faqr (no. 86)
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. IV/ Al-Maktab al-Islami, th.
1414 H.
[4]. HR. Muslim (no. 2699) dan selainnya, dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu
[5] Lihat al-‘Ilmu; Fadhluhu wa Syaraafuhu min Durari
Kalami Syaikhul Islam Ibnul Qayyim, hal. 160-173, tahqiq wa ta’liq: Syaikh ‘Ali
Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. I, Majmu’ah at-Tuhaf
an-Nafa-is ad-Dauliyah, th. 1416 H.
sumber almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar