NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMPERINGATKAN ANAK YANG MELAKUKAN KEKELIRUAN
Oleh
Dr Fadhl Ilahi
Fenomena yang muncul di hadapan kita, adanya asumsi keliru memandang
anak sebagai personal yang belum layak untuk menerapkan amar ma’ruf nahi
munkar pada diri mereka, merupakan pandangan yang perlu dikoreksi.
Dalih yang melatarbelakangi asumsi ini, karena memandang anak-anak masih
kecil, sehingga mereka dianggap sebagai hal yang lumrah bila melakukan
kekeliruan. Maka tak ayal, membiarkan anak dalam keadaan seperti itu
juga menjadi hal yang biasa di kalangan orang tua. Hal ini dapat
menimbulkan dampak negatif, karena anak menjadi terbiasa melakukan
kekeliruan, yang berarti mereka tumbuh dan berkembang dengan dituntun
budaya kejahatan dan alergi terhadap kebaikan.
Allah Azza wa Jalla telah menggambarkan kedudukan ummat Islam sebagai
ummat terbaik. Dan ini menjadi salah satu sebab disandangnya sebutan
tersebut, yaitu sebagai umat yang selalu menyampaikan amar ma’ruf nahi
munkar (Ali Imran ayat 110). Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap anak-anak, meski usia mereka
belum baligh. Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan
peringatan kepada mereka. Ini menjadi contoh kongkrit, bahwa pada diri
anak-anak yang belum baligh juga perlu diterapkan nahi munkar atas diri
mereka.
Yang mesti diperhatikan, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar pada
diri anak, tidak cukup hanya ditempuh dengan cara pelarangan keras dan
mencemooh mereka, tetapi hendaklah dengan menggunakan langkah-langkah
dakwah yang benar. Yaitu dengan memberikan nasihat dan bimbingan. Jika
hal itu tidak berhasil, maka bisa dilakukan dengan sikap yang tegas,
begitu seterusnya. Lihat Ihya ‘Ulumuddin (2/329), Muhtashar Minhajil
Qashidin (hlm. 135-137), Tanbihul Ghafilin ‘An A’malil Jahilin (hlm.
47-60).
Berikut kami contohkan peringatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhu (Ibnu ‘Abbas) yang waktu itu masih kecil.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL BERDIRI DI SEBELAH KIRI BELIAU PADA WAKTU SHALAT
Si kecil ‘Abdullah bin ‘Abbas menginap di rumah bibinya, Ummul Mukminin
Maimunah. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan
shalat malam, Ibnu ‘Abbas juga bangun untuk shalat bersama Beliau dan
berdiri di sebelah kirinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik
Ibnu ‘Abbas sehingga berada di sebelah kanan Beliau.
Asy Syaikhani, Al Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata: “Suatu malam aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Setelah
beberap saat malam lewat, Nabi bangun untuk menunaikan shalat. Beliau
melakukan wudhu` ringan sekali (dengan air yang sedikit) dan kemudian
shalat. Maka, aku bangun dan berwudhu` seperti wudhu` Beliau. Aku
menghampiri Beliau dan berdiri di sebelah kirinya. Beliau memutarku ke
arah sebelah kanannya dan meneruskan shalatnya sesuai yang dikehendaki
Allah …”. [1]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini, ialah :
1). Ihtisab (dakwah) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu
‘Abbas yang melakukan kesalahan karena berdiri di sisi kiri Beliau saat
menjadi makmum dalam shalat bersama Beliau. Karena seorang makmum harus
berada di sebelah kanan imam, jika ia sendirian bersama imam. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan kekeliruan Ibnu ‘Abbas
dengan dalih umurnya yang masih dini, namun Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam tetap mengoreksinya dengan mengalihkan posisinya ke kanan
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2). Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian, meski dalam keadaan
sedang shalat, tidak menghalangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk melakukan nahi munkar terhadap anak kecil yang melakukan kesalahan
dalam shalatnya. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian dan
pengawasan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak serta
adanya bimbingan menuju kebenaran.
Realitas ini berlawanan dengan sikap para orang tua. Meski para ibu atau
ayah menyibukkan dengan amalan ketaatan, seperti mengerjakan shalat
nafilah, membaca Al Qur`an, duduk untuk berdzikir, menghadiri majlis
ilmu, banyak melakukan umrah, haji dan lain-lain, namun mereka kirang
memperhatikan anak-anak yang masih kecil, bahkan juga kurang perhatian
kepada anak-anak yang sudah mencapai baligh. Anak-anak dibiarkan
terhanyut dengan perbuatan maksiat, mendengarkan hal-hal yang dilarang
Allah dan RasulNya, dan bermain di lingkungan yang buruk dan penuh
kemaksiatan.
Para orang tua, harus mengintrospeksi diri, jika menginginkan
keselamatan, bercita-cita untuk mendapatkan kemenangan dan kejayaan.
Sebab, tidak ada keselamatan, tidak ada kemenangan bahkan tidak
kejayaan, kecuali dengan meneladani perilaku Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
3). Dari perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, dapat
disimpulkan, bahwa anak-anak yang sudah mulai mengerjakan ibadah, baik
yang berupa wudhu`, shalat, berpuasa, umrah, haji atau ibadah lainnya,
jika mereka melakukan kesalahan, maka tidak boleh dibiarkan larut dengan
kekeliruannya tersebut, dengan dalih usia mereka masih kecil. Kewajiban
kita sebagai orang Islam, semestinya menghidupkan semangat amar ma’ruf
nahi munkar terhadap anak-anak dan mengarahkan mereka kepada yang lebih
benar, sebagaimana dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap diri Ibnu ‘Abbas yang waktu itu masih berusia kanak-kanak.
Dengan demikian, anak tidak dibiarkan larut dengan kesalahan-kesalahan
yang mungkin diperbuatnya. Sehingga, bila melakukan ibadah, mereka
selalu melaksanakan dengan cara yang benar sesuai tuntunan Allah dan
RasulNya.
NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MELARANG ANAK PAMANNYA YANG MASIH KECIL TIDUR KETIKA MENGERJAKAN SHALAT
Tatkala Ibnu ‘Abbas menunaikan shalat tahajjud bersama Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam di rumah bibinya, Ummul Mukminin Maimunah, ia sempat
dihantui rasa kantuk, lantaran pada waktu itu dia masih berusia
kanak-kanak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkannya
tertidur. Setiap kantuk datang, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menarik ujung telinganya agar ia segar kembali.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Aku menginap di
rumah bibiku, Maimunah binti Al Harits. Aku meminta tolong kepadanya.
Aku berkata,’Bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bangun untuk
shalat (malam), bangunkanlah aku’. Saat Rasulullah melaksanakan shalat,
aku berdiri di sebelah kirinya. Maka Beliau memegang tanganku dan
mengalihkanku ke sisi kanannya. Dan saat aku tertidur dalam shalat,
Beliau memegangi ujung telingaku”. Ibnu ‘Abbas menambahkan,”Beliau
shalat sebelas rakaat.”[2]
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Beliau meletakkan tangan kanannya
di atas kepalaku dan memegang telinga kananku untuk mengingatkanku”. [3]
Di antara pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits di atas ialah :
1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan nahi munkar (melarang
dari perbuatan mungkar) kepada Ibnu ‘Abbas yang kedapatan tertidur saat
melakukan shalat, satu keadaan yang tidak pantas terjadi saat sedang
shalat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mendiamkannya,
meskipun Ibnu ‘Abbas waktu itu masih berusia bocah. Justru yang
dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah memegangi ujung
telinga Ibnu ‘Abbas untuk membangunkan dan menyegarkannya dari rasa
kantuk yang menyerangnya.
2). Hadits ini menunjukkan sebagai bukti kelembutan dan kasih sayang
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diungkapkannya dengan melakukan
nahi munkar terhadap anak kecil. Yaitu dengan meletakkan tangan Beliau
di kepala Ibnu ‘Abbas dan memegangi ujung telinganya serta
menekan-nekannya. Tindakan ini menunjukkan kelembutan, sikap lunak dan
kasih sayang Beliau. Perlakuan Beliau yang seperti ini bukan tindakan
aneh, sebab Allah Ta’ala mengutus Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al Anbiya` : 107]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai orang yang sangat pengasih kepada orang-orang yang
beriman.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mu`min" [At Taubat:128]
3). Dalam kisah ini, meskipun pada waktu itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam sedang sibuk dengan shalat, namun tidak mengendurkan niat Beliau
untuk melakukan nahi munkar terhaap kesalahan yang diperbuat Ibnu
‘Abbas. Tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
menunjukkan perhatian yang sangat besar diri Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam terhadap dunia anak dan pembinaannya menuju kondisi yang baik.
Maka dapat kita pahami, bahwa para orang tua berkewajiban untuk
menggalakkan amar ma`ruf nahi munkar terhadap anak-anak mereka yang
melakukan kesalahan dalam beribadah. Kesibukan orang tua meski saat
melakukan ketaatan, tidak boleh menjadi penghalang dalam melakukan amar
ma`ruf nahi munkar tersebut.
PENGINGKARAN TERHADAP ANAK YANG MENYALAHI ATURAN SYAR'I MENJADI HAL YANG MA'RUF PADA MASA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mina melaksanakan
shalat bersama kaum muslimin, datanglah Ibnu ‘Abbas dengan menunggang
keledainya. Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas masih anak-anak yang belum
baligh. Dia melewati barisan shalat, dan tidak ada seorangpun yang
menegurnya.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,”Aku datang
dengan keledai betina. Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil
baligh. Dan Rasulullah menunaikan shalat tanpa penghalang tembok. Aku
melewati barisan shalat. Aku lepaskan tungganganku untuk makan rumput.
Aku memasuki shaf shalat tanpa ada yang menegur(ku).” [4]. Dalam riwayat
lain disebutkan : “Tidak ada seorangpun yang mengingkariku”. [5]
Dari riwayat ini, kita mendapatkan beberapa fakta sebagai berikut :
1). Pada waktu itu, Ibnu ‘Abbas belum baligh. Ini ditunjukkan dengan
ucapannya: “Pada waktu itu, aku hampir mamasuki masa akil baligh”.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan : “(Artinya) aku mendekati usia baligh;
yang dimaksud dengan ihtilam ialah, baligh dalam pandangan syariat”.
[6]
Hal ini juga dipertegas oleh Imam Bukhari dalam memberikan judul pada
hadits ini, yaitu dengan judul Bab Kapan Kecakapan Anak Dianggap Sah
(Diterima)?[7]. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak [8]
2). Ibnu ‘Abbas menjadikan hadits ini sebagai landasan bolehnya melewati
shaf shalat, sebab para sahabat tidak bereaksi terhadap tindakannya.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan,”Ibnu ‘Abbas ber-istidlal (menjadikan
hadist ini sebagai dalil) bolehnya melewati depan shaf makmum dengan
tidak adanya pengingkaran (dari para sahabat).” [9]
Imam Al Bukhari menjadikan hadits ini sebagai landasan, bahwa sutrah
(penghalang atau pembatas shaf imam adalah sutrah makmum yang ada di
belakangnya, sebab para sahabat tidak mengingkari perbuatan Ibnu ‘Abbas
yang melewati depan makmum. Imam Al Bukhari menamai babnya dengan
(judul) Bab Sutrah Imam Menjadi Sutrah Bagi Makmum Yang Ada di
Belakangnya. [10]
Seandainya pengingkaran terhadap pelanggaran agama yang dilakukan oleh
anak kecil bukan merupakan hal yang ma`ruf pada masa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, tentu istidlal (pengambilan dalil dengan hadits ini)
tidak kuat. Sehingga akan ada yang berkomentar, bahwa tindakan Ibnu
‘Abbas tidak diingkari karena usianya masih kecil. Namun lantaran sudah
menjadi suatu yang biasa pada masa Nabi, maka istidlal-nya tepat dan
bebas dari sanggahan. Wallahu a’lam bish shawab.
Demikian di antara contoh-contoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anak. tidak
hanya yang berkaitan dengan shalat saja, tetapi masih banyak contoh yang
diberikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, misalnya : larangan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap model rambut ala Yahudi, larangan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memakan jenis makanan yang bukan
haknya, larangan ceroboh dalam mengambil makanan saat bersantap, dan
lain-lain. Semoga bermanfaat.
(Diangkat dari Al Ihtisab ‘Alal Athfal, Dr. Fadhl Ilahi. Telah
diindonesikan dengan judul Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), oleh
Muhammad Ashim, Lc., Penerbit Darus Sunnah, Cetakan Pertama, Dzulhijjah
1425H/Maret 2005M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] dari almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. Shahih Bukhari, Kitab Adzan, Bab Wudhu` Anak-Anak … no. hadits 859
(2/344) dan lafazh hadits milik Bukhari; Shahih Muslim (1/528), Kitab
Shalat Orang Musafir dan Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan
Pelaksanaan Shalatnya, no. hadits 186 (763) dengan redaksi “maka Beliau
memutarku ke belakang”.
[2]. Shahih Muslim (1/528), Kitab Shalat Orang Musafir dan
Mengqasharnya, Bab Doa Pada Shalat Malam dan Pelaksanaan Shalatnya, no.
hadits 185 (763)
[3]. Ibid, no. hadits 182 (763).
[4]. Shahih Bukhari, Kitab Ilmu, Bab Kapan Kecakapan Anak Kecil Dianggap Sah, no. hadits 76. (Fathul Bari, 1/171).
[5]. Ibid, Kitab Shalat, Bab Sutrah Bagi Imam Sutrah Bagi Para Makmum, no. hadits 493. (Fathul Bari, 1/571).
[6]. Fathul Bari, 1/171.
[7]. Shahih Al Bukhari, 1/171. Juga terdapat pada Bab Haji Anak-Anak.
[8]. Ibid, no. hadits 1857 (4/71).
[9]. Dinukil dari Fathul Bari, 1/572. Lihat juga 1/571.
[10]. Shahih Bukhari, Kitab Shalat, no. hadits 493 (1/571).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar