AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Setiap muslim wajib mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan
segala bentuk kesyirikan. Seorang muslim juga mesti mengetahui
pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya
supaya ia benar-benar memahami tauhid.
Kalimat tauhid bagi kaum muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah kalimat yang sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka
adalah suatu ibadah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
dan yang pertama kali didakwahkan sebelum yang lainnya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul
(untuk menyeru) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu
mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-Nahl: 36]
Tauhid menurut bahasa (etimologi) diambil dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut ilmu syar’i (terminologi), tauhid berarti mengesakan
Allah Azza wa Jalla terhdap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam
Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya.
Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
A. Macam-Macam Tauhid
1. Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah
Subhanahu wa Ta'ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala
sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“... Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ ۚ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
“...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, ke-punyaan-Nya-lah
segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah,
tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [Faathir: 13]
Kaum musyrikin pun mengakui sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ فَذَٰلِكُمُ اللَّهُ
رَبُّكُمُ الْحَقُّ ۖ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ ۖ
فَأَنَّىٰ تُصْرَفُونَ
“Katakanlah (Muhammad): ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang
mengatur segala urusan?’ Maka, mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka,
katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang
demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya, maka tidak ada
sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka, mengapa kamu masih
berpaling (dari kebenaran)?” [Yunus: 31-32]
Firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh
Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf: 9] [1]
Kaum musyrikin pun mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta
segala sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi, dan Pengatur
alam semesta. Namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka
anggap sebagai penolong, mereka bertawassul dengannya (berhala tersebut)
dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, sebagai-mana yang
disebutkan dalam beberapa ayat.[2]
Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).”
[Yusuf: 106]
Sebagian ulama Salaf berkata, “Jika kalian bertanya kepada mereka,
‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Mereka pasti menjawab,
‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada
selain-Nya.” [3]
2. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui
segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan
oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah
(cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta
pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah
(meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya
kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak
boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa
pun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka
pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak
diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat kepada
Allah atas perbuatan syiriknya). [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [4]
Al-ilaah artinya al-ma’-luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H)
rahimahullah berkata, “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama,
Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam
Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama
dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah
satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh
disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو
الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Dia, (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (yang menegakkan keadilan). Tidak ada yang berhak diibadahi
dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali
‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai Laata, ‘Uzza dan Manaat
yang disebut sebagai ilah (sesembahan), namun tidak diberi hak
Uluhiyyah:
إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya...” [An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ
هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah (kebesaran Allah) karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang
bathil, dan sesung-guhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.”
[Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf Alaihissallam, yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ
الْوَاحِدُ الْقَهَّارُمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً
سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن
سُلْطَانٍ
“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa
yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun
tentang (nama-nama) itu...” [Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu, para Rasul Alaihimussallamr menyeru kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja: [6]
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ
”... Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang
haq selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”
[Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja
mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka menyembah,
meminta bantuan dan pertolongan kepada sesembahan-sesembahan itu dengan
menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pengambilan sesembahan-sesembahan yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dua
bukti:
Pertama : Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai
keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak
dapat menciptakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak
bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ
يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا
يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), padahal
mereka itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan
dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya terhadap dirinya dan tidak dapat
memberi manfaat serta tidak kuasa mematikan dan menghidupkan juga tidak
(pula) dapat membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ
فِيهِمَا مِن شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُم مِّن ظَهِيرٍ وَلَا تَنفَعُ
الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai
sesembahan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak
mempunyai suatu saham (peran) pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidaklah
berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah
diizinkan oleh-Nya (memperoleh syafa’at)...” [Saba': 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ
“Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang
tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal berhala itu sendiri
diciptakan dan (berhala itu) tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya bahkan berhala itu tidak dapat memberi
pertolongan kepada dirinya sendiri.” [Al-A’raaf: 191-192]
Apabila demikian keadaan berhala-berhala itu, maka sungguh sangat bodoh,
bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah (sesembahan)
dan tempat meminta pertolongan.
Kedua : Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan
atas segala sesuatu. Mereka pun mengakui bahwa hanya Allah yang dapat
melindungi dan tidak ada yang dapat memberi-Nya perlindungan. Hal ini
mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka
mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyyah mengharuskan
adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya
kepada Allah saja).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ
فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ
بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ
أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai manusia, beribadahlah hanya kepada Rabb-mu yang telah menciptakan
dirimu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Dia-lah)
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan
hujan itu buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
[Al-Baqarah: 21-22]
3. Tauhid Asma’ wa Shifat Allah
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya,
baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal
tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat-Sifat Allah,
baik yang terdapat di dalam Al-Qur-an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak
boleh ditakwil.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas,
al-Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu anhum
tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua
menjawab:
أَمِرُّوْ هَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفَ.
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat-Sifat Allah) seperti datangnya
dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanya tentang bagaimana
sifat itu).” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
آمَنْتُ بِاللهِ، وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ
بِرَسُوْلِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ
رَسُوْلِ اللهِ.
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah
sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada
Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa
yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan
para Imam Ahlus Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat
dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan
apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif [9] dan ta’thil [10] serta tanpa
takyif [11] dan tamtsil [12]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa
ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan
Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuuraa: 11]
Lafazh ayat: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ “Tidak ada yang sesuatu pun yang
serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan terhadap golongan yang menyamakan
Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat: وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan terhadap orang-orang yang
menafikan atau mengingkari Sifat-Sifat Allah. [13]
B. Makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah
لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda bi haqqin
ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah
menyebar luas. Kesalahan tersebut antara lain: [14]
1. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah)
dengan لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ ِللهِ (tidak ada yang diibadahi kecuali
Allah), padahal makna tersebut rancu karena dapat berarti bahwa setiap
yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
2. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah)
dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah),
padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan penafsiran ini masih berupa
Tauhid Rububiyyah saja sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga
oleh orang-orang musyrik.
3. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah)
dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada hak untuk menghukumi
kecuali hanya bagi Allah), padahal pengertian ini juga tidak cukup
karena apabila mengesakan Allah dengan penga-kuan atas sifat Allah Yang
Mahakuasa saja lalu berdo’a kepada selain-Nya atau menyimpangkan tujuan
ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi
yang benar.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. Lihat juga Al-Mu'-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
[2]. Lihat Yunus: 18, Az-Zumar: 3, 43-44.
[3]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha',
Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh
Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad al-Furaiyan.
[4]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut
Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah
Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[5]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417 H.
[6]. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf ayat 65, 73 dan 85.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah,
al-Laalikai (no. 930). Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra
(hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil
‘Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134).
[8]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).
[9]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau
merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[10]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau
mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari
atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash
dari al-Qur-an atau hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan
tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya
yang terkandung dalam nash tersebut.
[11]. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau
mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat
dari Sifat Allah, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan
yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah
karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat.
Sebagaimana Allah Azza wa Jalla mempunyai Dzat yang kita tidak
mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah yang mengetahui dan kita wajib
mengimani tentang hakikat maknanya.
[12]. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau
menyeru-pakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat
Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh
Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat
al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal
15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil Wasithiyah
(hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman.
[13]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523) tahqiq DR. Muhammad Rasyad Salim.
[14]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan (hal. 39-40)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar