• Pengertian Islam Dan Tingkatannya

    Prinsip Dasar Islam

     

    PENGERTIAN ISLAM DAN TINGKATANNYA












    Oleh

    Al-Ustadz
    Yazid bin Abdul Qadir Jawas






    [A]. Pengertian Islam

    Islam secara
    etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut
    syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua
    pengertian:

    Pertama.

    Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan
    kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok)
    maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan,
    perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah
    mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza
    wa Jalla atas semua yang telah di-tentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman
    Allah Subhana wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihis
    salam[1]



    "(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim),
    ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’”
    [Al-Baqarah: 131]



    Allah Azza wa Jalla juga berfirman



    “Sesungguhnya
    agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah
    diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara
    mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat
    cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19]



    Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
    berfirman:



    "Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan
    diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran:
    85]



    Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, definisi
    Islam adalah:



    َاْلإِسْلاَمُ: َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ
    وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ
    وَأَهْلِهِ.



    "Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan
    men-tauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas
    diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya"



    Kedua

    Apabila kata
    Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah
    perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan harta-nya[2],
    baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal
    hati.[3]



    Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:



    “Orang-orang Arab
    Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum
    beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk
    ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
    mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
    Penyayang.’” [Al-Hujuraat : 14]



    [B]. Tingkatan Islam

    Tidak diragukan
    lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap
    muslim ada tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama
    Islam beserta dalil-dalilnya [4], dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua
    dari prinsip agama ini dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman
    dan Ihsan. Setiap ting-katan mempunyai rukun sebagai berikut:



    Tingkatan
    Pertama : Islam

    Islam memiliki lima rukun, yaitu:

    [1]. Bersaksi bahwa
    tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan
    bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan
    Allah.

    [2]. Menegakkan shalat.

    [3]. Membayar zakat.

    [4]. Puasa di bulan
    Ramadhan.

    [5]. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke
    sana.

    Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Mu-hammad Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam.



    َاْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
    اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ
    الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ
    سَبِيْلاً.



    "Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
    berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah
    utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan
    menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana.”[5]



    Juga
    sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam



    بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى
    خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
    اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ
    الْبَيْتِ.



    "Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah
    (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa
    Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di
    bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.”[6]



    Tingkatan Kedua :
    Iman

    Definisi iman menurut Ahlus Sunnah mencakup per-kataan dan perbuatan,
    yaitu meyakini dengan hati, meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan
    anggota badan, dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat ber-kurang dengan sebab
    perbuatan dosa dan maksiyat.

    Iman memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana
    ter-dapat dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam



    َاْلإِيْمَانُ
    بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ
    إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ،
    وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

    "Iman memiliki lebih dari tujuh
    puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang paling tinggi adalah
    ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri
    (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.”[7]



    Rukun
    Iman ada enam, yaitu:

    [1]. Iman kepada Allah.

    [2]. Iman kepada
    Malaikat-Malaikat-Nya.

    [3]. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.

    [4]. Iman kepada
    Rasul-Rasul-Nya.

    [5]. Iman kepada hari Akhir.

    [6]. Iman kepada takdir yang
    baik dan buruk.



    Keenam rukun iman ini berdasarkan hadits yang
    diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dalam jawaban Nabi
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perrtanyaan Malaikat Jibril ‘Alaihis sallam
    tentang iman, yaitu:



    أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ،
    وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ اْلآخِِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ
    وَشَرِّهِ.



    "Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
    Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir
    yang baik dan buruk.”[8]



    Tingkatan Ketiga: Ihsan

    Ihsan memiliki satu
    rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau
    melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia me-lihatmu.
    Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab
    Radhiyallahu ‘anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
    Jibril ‘Alaihis salam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam menjawab:



    أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ
    لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.



    "Engkau beribadah kepada Allah
    seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya
    Allah melihatmu.” [9]



    Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa
    adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta meng-ikhlaskannya. Sedangkan
    menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



    أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
    فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.



    "Engkau beribadah kepada
    Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihat-Nya,
    sesungguhnya Allah melihatmu"



    Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki lahir dan batin, serta
    menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu bahwasanya seakan-akan Allah
    berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan mengandung konsekuensi
    rasa takut, cemas, juga peng-agungan kepada Allah Azza wa Jalla, serta
    mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya dan
    mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan
    menyempurnakannya.[10]



    [Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut
    Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
    Penerbit Psutaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke
    2]

    _________

    Foote Note

    [1]. Lihat Mufradat Alfaazhil Qur-aan (hal.
    423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahaani dan Ma’aarijul
    Qabul (II/20-21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I, Darul Kutub
    al-‘Ilmiyyah.

    [2]. Terjaga dirinya maksudnya tidak boleh diperangi (dibunuh)
    dan terjaga hartanya, maksudnya tidak boleh diambil atau dirampas. Sebagaimana
    terdapat dalam hadits Arba’iin yang kedelapan.

    [3]. Lihat Mufradaat Alfaazhil
    Qur-aan (hal. 423, bagian سَلِمَ) karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani,
    Ma’aarijul Qabuul (II/21) karya Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami, cet. I/Darul
    Kutub al-‘Ilmiyyah, dan Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam oleh al-Hafizh Ibnu Rajab.


    [4]. Artinya memahami Islam sebagai agama dengan dalil-dalilnya yang
    bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para
    Shahabat Radhiyallahu ‘anhum

    [5]. HR. Muslim (no. 8), Ahmad (I/27), Abu Dawud
    (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), an-Nasa-i (VIII/97-98) dan Ibnu Majah (no.
    63), dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab.

    [6]. Muttafaqun ‘alaih: HR.
    Al-Bukhari dalam Kitaabul Iiman bab Du’aa-ukum Imaanukum (no. 8) dan Muslim
    dalam Kitaabul Iiman bab Arkaanul Islaam (no. 16).

    [7]. HR. Al-Bukhari (no.
    9) dan Muslim (no. 35). Lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Hurairah
    Radhiyallahu ‘anhu

    [8]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar bin
    al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu

    [9]. HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar
    bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu

    [10]. Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam
    (I/126) oleh al-Hafizh Ibnu Rajab, Ma’aarijul Qabul (II/338) oleh Syaikh Hafizh
    al-Hakami, dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (hal. 66-67) oleh Imam Muhammad bin
    ‘Abdil Wahhab rahimahullah dengan hasyiyah ‘Abdurrahman bin Muhammad bin
    Qasim.







    Sumber :
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent