• FIKIH NIKAH - Seputar Pernikahan

    FIKIH NIKAH - Seputar Pernikahan


    SEPUTAR PERNIKAHAN


    Oleh : 













    Al Ustadz Zaenal Abidin syamsuddin. Lc ,










    (banyak merujuk kepada
    kitab Malkhash Fiqhiy karya Dr. Shalih Al Fauzan, Fiqhus Sunnah karya
    Syaikh Sayyid Saabiq dan Minhaajul Muslim karya Syaikh Abu Bakr Al
    Jazaa’iriy)


    Untuk masalah pernikahan para fuqaha’
    memberikan tempat tersendiri di kitab-kitab mereka, merincikan di sana
    hukum-hukumnya serta menjelaskan tujuan dan manfa’atnya. Karena nikah
    itu hukumnya masyru’ berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.


    Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (An Nisaa’: 3)


    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


    يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ !
    مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ
    لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
    بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”.


    “Wahai para pemuda, siapa saja di antara
    kamu yang memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menikah; karena nikah
    dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan. Namun bila masih
    tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat memutuskan
    syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


    Manfa’at pernikahan


    Manfa’at dari pernikahan sungguh banyak,
    di antaranya: Menjaga keturunan, memperbanyak jumlah kaum muslimin,
    menjaga kehormatan, menolong kaum wanita dengan diberikan nafkah yang
    wajib ditanggung suami, menjaga nasab, menumbuhkan ketenangan dan
    ketentraman, menjaga masyarakat dari moral yang merosot dll.


    Juga memberikan ruang untuk gejolak seks pada diri seseorang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى
    صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ
    أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى
    نَفْسِهِ » .


    “Sesungguhnya wanita datang dengan rupa
    setan dan pergi dengan rupa setan, jika salah seorang di antara kamu
    melihat wanita (yang membuatnya takjub), maka datangilah isterinya,
    karena hal itu dapat menolak gejolak yang terjadi pada dirinya.” (HR.
    Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)


    Nikah, apa itu nikah?


    Nikah adalah ‘akad syar’i yang membolehkan kedua belah pihak saling menikmati.


    Nikah adalah sebuah ikatan yang kokoh, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:  Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (An Nisaa’: 21)


    Sehingga dengan nikah, kedua belah pihak wajib memenuhi haknya masing-masing.


    Manusia tidaklah sama dengan hewan, yang
    syahwatnya dibiarkan berjalan tanpa penjagaan, jantan dan betina
    berhubungan tanpa aturan. Islam telah memberikan jalan keluar yang
    indah, didasari atas ridha bukan paksaan, didasari atas ijab-qabul
    sebagai tanda keridhaan, dan disaksikan bahwa masing-masing telah
    menjadi bagian yang lain.


    Nikah, itulah jalan keluarnya. Dengan
    nikah kebutuhan manusia terpenuhi, keturunan terjaga dan wanita menjadi
    terpelihara, inilah jalan yang diridhai Allah Subhaanahu wa Ta’aala.


    Pernikahan jahiliyyah yang dihilangkan Islam


    Di antara nikah jahiliyyah yang dihilangkan Islam adalah:


    1. Nikah Khidn, yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai
      kawan untuk melakukan perzinaan dengannya secara sembunyi-sembunyi.
      (lih. An Nisaa’: 25).

    2. Nikah Badal, yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki
      lain, “Berikanlah isterimu kepadaku, nanti aku akan berikan kepadamu
      isteriku dan aku berikan tambahan.”



    Selain itu ada juga nikah yang terjadi di zaman Jahiliyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut:


    1. Nikah Istibdhaa’, yakni seorang suami berkata kepada
      isterinya setelah isterinya selesai haidh, “Pergilah kepada si fulan,
      dan berhubunganlah dengannya agar kamu mendapatkan bibit yang baik”,
      lalu suaminya menjauhinya sampai isterinya hamil. Ketika jelas hamil,
      baru ia menggauli jika mau. Nikah ini tujuannya untuk mendapatkan bibit
      unggul.

    2. Ada juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari
      sepuluh) menemui seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika wanita
      itu sudah hamil, lalu melahirkan dan telah lewat beberapa malam, wanita
      itu mengirim seseorang kepada sekumpulan laki-laki itu, di mana
      masing-masing mereka tidak dapat menolak, ketika mereka telah berkumpul
      di hadapan wanita itu, wanita itu berkata, “Saya sudah tahu perihal kalian, sekarang saya sudah melahirkan, anak ini adalah anakmu hai fulan”,
      wanita itu menentukan laki-laki yang disukainya untuk menasabkan
      anaknya kepada laki-laki itu, dan laki-laki itu tidak bisa menolaknya.

    3. Ada juga cara lain selain di atas, yaitu ketika orang-orang
      berkumpul, kemudian mereka menemui kaum wanita pelacur, di mana kaum
      wanita itu tidak menolak orang yang datang kepadanya. Wanita-wanita
      pelacur ini biasanya memasang bendera di pintunya sebagai tanda bolehnya
      siapa saja mendatanginya dan menggaulinya. Ketika wanita ini hamil
      kemudian selesai melahirkan, orang-orang berkumpul di hadapannya dan
      mengundang qaaffah (ahli nasab dengan cara melihat kesamaan), lalu
      menasabkan anak itu kepada orang yang mereka lihat mirip.



    Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
    sallam diutus, nikah jahiliyyah di atas dibatalkan dan dihancurkan oleh
    Islam, tinggallah nikah yang sekarang berlaku.


    Anjuran untuk menikah


    Islam mendorong seseorang untuk menikah
    dengan berbagai bentuk targhib (dorongan). Terkadang menyebutkan bahwa
    nikah itu termasuk Sunnah para nabi dan petunjuk para rasul, di mana
    mereka adalah para pemimpin yang patut diteladani (lih. Ar Ra’d: 38).
    Terkadang menjelaskan bahwa nikah adalah nikmat yang diberikan Allah
    kepada manusia (lih. An Nahl: 72), dan terkadang menyebutkan bahwa nikah
    adalah salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah (lih. Ar Ruum: 21).


    Bahkan ketika seseorang khawatir jika
    menikah tidak sanggup memikul beban, Islam memberikan kabar gembira
    bahwa Allah akan mencukupkannya (lih. An Nuur: 32).


    Kadang terlintas dalam hati seseorang
    adanya keinginan untuk tidak menikah karena ingin mengkhususkan diri
    untuk ibadah atau agar membantu lebih zuhud terhadap dunia, maka Islam
    memberitahukan bahwa hal itu menyalahi sunnah Nabi Muhammad shallallahu
    ‘alaihi wa sallam, di mana Beliau adalah orang yang paling takut kepada
    Allah dan paling taqwa kepada-Nya namun Beliau menikah, dan siapa yang
    membenci sunnah Beliau, sama saja tidak mengikuti jejak Beliau.


    Nikah juga merupakan ibadah yang
    dengannya separuh agama seseorang menjadi sempurna, di mana seseorang
    bisa menghadap Allah dalam keadaan yang sangat baik yaitu bersih dan
    suci. Disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ اَعَانَهُ عَلىَ شَطْرِ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِى الشَّطْرِ الْبَاقِي


    “Barangsiapa yang diberi rizki oleh
    Allah isteri yang shalihah, maka sama saja telah dibantu-Nya untuk
    menjalankan separuh agamanya, maka bertakwalah kepada Allah dalam hal
    sisanya.” (HR. Thabrani dan Hakim, ia berkata, “Shahih isnadnya.”)


    Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau sekiranya
    ajal saya hanya tinggal sepuluh hari, dan saya mengetahui bahwa di
    akhirnya saya wafat, sedangkan saya memiliki kemampuan untuk menikah
    maka saya akan menikah karena takut terhadap fitnah
    .


    Bolehnya poligami.


    Islam membolehkan bagi orang yang
    memiliki kemampuan dan merasa dirinya aman dari bersikap zalim untuk
    menikahi wanita lebih dari satu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman,


    “Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
    yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
    akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa’: 4)


    Berlaku adil  di sini adalah berlaku
    adil dalam hal yang disanggupi (yang bersifat lahiriyah) seperti
    memberikan secara sama dalam hal nafkah, pakaian, tempat tinggal,
    bermalam (giliran) dsb.


    Dibolehkan poligami dalam Islam adalah
    bukti indah dan cocoknya syari’at Islam di setiap zaman, setiap tempat
    dan setiap generasi karena dalam poligami ada maslahat yang besar baik
    bagi laki-laki, wanita maupun masyarakat secara keseluruhan; apalagi di
    zaman sekarang, zaman di mana wanita lebih banyak daripada laki-laki,
    bila hanya satu saja tentu banyak wanita yang terlantar. Di samping itu
    kita semua mengetahui bahwa wanita mengalami masa-masa tertentu yang
    tidak boleh digauli oleh laki-laki yaitu masa haidh dan nifas, kalau
    hanya satu saja, tentu pada saat-saat tersebut laki-laki agak
    kebingunan.


    Selain itu, seorang wanita biasanya bila
    berumur lebih dari lima puluh tahun mengalami masa ya’s/monopause
    (berhenti haidh dan tidak lagi bisa hamil), sedangkan laki-laki masih
    bisa membuahkan anak. Kalau hanya satu isteri, tentu ia tidak lagi bisa
    membuahkan anak lagi.


    Dan maslahat lainnya yang begitu banyak, sungguh sangat kurang akal orang yang menentang poligami atau menyudutkannya.


    Hukum Nikah.


    Nikah bisa menjadi wajib, sunat, mubah, haram ataupun makruh.


    Menjadi wajib bila seseorang
    khawatir jatuh ke dalam zina jika tidak menikah, karena nikah adalah
    jalan menjaga diri dari yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
    berkata, “Jika seseorang butuh segera menikah dan khawatir jatuh ke
    dalam zina, maka hendaknya ia mendahulukannya daripada berhajji yang
    wajib.”


    Dalam Fiqhus Sunnah dijelaskan, “Jika
    seseorang butuh menikah dan khawatir terhadap zina jika tidak menikah,
    maka ia mendahulukan nikah daripada hajji yang wajib. Namun jika ia
    tidak khawatir (terhadap zina), maka ia dahulukan hajji yang wajib.
    Demikian juga hal-hal yang fardhu kifayah seperti menuntut ilmu dan
    berjihad didahulukan daripada menikah jika tidak khawatir terhadap
    zina.”


    Ulama lain mengatakan, “Bahkan bisa menjadi lebih utama dari hajji yang sunat, shalat dan shaum sunat.” Mereka juga mengatakan, “Tidak ada bedanya antara yang mampu memberi nafkah maupun yang tidak (yakni dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya).”


    Alasannya adalah karena Allah berjanji
    akan memberikan kecukupan kepadanya (lih. An Nur: 32), juga berdasarkan
    sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,


    ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلىَ اللهِ
    عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي
    يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ


    “Ada tiga orang yang menjadi kewajiban
    Allah menolong mereka; mujahid fii sabiilillah, seorang budak yang
    hendak memerdekakan dirinya dengan membayar iuran dan orang yang menikah
    dengan tujuan menjaga dirinya.” (HR. Tirmidzi, ia katakan, “Hadits ini
    hasan”)


    Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
    wa sallam pernah menikahkan laki-laki yang tidak mampu meskipun hanya
    menyiapkan mahar berupa cincin besi.


    Nikah menjadi sunat bila ia tidak
    mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam zina (yakni ia merasa aman dari
    melakukan perbuatan haram), meskipun ia bersyahwat. Bahkna nikah lebih
    utama bdaripada mengkhususkan diri beribadah.


    Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata:


    لاَ يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتىَّ يَتَزَوَّجَ


    “Tidak sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.”


    Nikah menjadi mubah ketika tidak
    adanya pendorong untuk nikah dan tidak adanya penghalang. Misalnya ia
    tidak bersyahwat, seperti ‘inniin (lemah syahwat) dan orang yang sudah
    tua. Dalam kondisi ini bisa juga menjadi makruh, karena hilangnya
    manfa’at yang sesungguhnya dari pernikahan yaitu menjaga kehormatan
    wanita dan bisa malah memadharratkan wanita. Oleh karena itu, nikah
    menjadi makruh bagi orang yang kurang memberikan perhatian kepada wanita baik dalam menggauli maupun memberi nafkah.


    Nikah pun bisa menjadi haram bila
    ia menikah di wilayah kafir harbiy (yang memerangi Islam), jika bisa
    mengakibatkan keturunannya ditindas dan dikuasai oleh orang-orang kafir,
    di samping itu isterinya pun sangat dikhawatirkan keamanannya.


    Termasuk ke dalam “menjadi haram” adalah seperti yang dikatakan Ath Thabari berikut: “Kapan
    saja seorang suami mengetahui bahwa dirinya tidak sanggup memberi
    nafkah isterinya, atau tidak sanggup membayar mahar atau memberikan
    salah satu hak-haknya yang wajib dipenuhinya, maka tidak halal bagi
    laki-laki menikahinya sehingga ia menjelaskan kepada wanita itu atau
    sampai ia merasa memampu memenuhi hak-hak wanita itu. Demikian juga jika
    seandainya si laki-laki memiliki penyakit yang menghalanginya untuk
    bersenang-senang, maka si laki-laki wajib menjelaskan agar wanita itu
    tidak tertipu olehnya. Demikian juga tidak boleh (bagi laki-laki) menipu
    wanita dengan menyebutkan nasabnya (yang terhormat), harta maupun
    pekerjaan dengan berdusta. Juga (tidak boleh) bagi wanita (menipu
    laki-laki) jika merasakan dirinya tidak sanggup memenuhi hak-hak suami,
    atau dirinya memiliki cacat yang menghalangi untuk bisa bersenang-senang
    seperti gila, kusta, sopak atau penyakit pada kemaluan, tidak boleh
    bagi wanita menipu laki-laki, ia wajib menerangkan cacat pada dirinya
    itu, sebagaimana wajibnya seorang pedagang menjelaskan cacat barang
    dagangannya. Ketika salah satunya menemukan cacat pada diri yang lain,
    maka ia berhak menolaknya. Jika cacatnya pada wanita, maka suaminya
    mengembalikan wanita itu dan mengambil mahar yang telah diberikan.
    Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
    menikahi wanita dari Bani Bayaadhah, lalu ditemukan dalam pinggangnya
    sopak, maka Beliau mengembalikan dan bersabda, “kamu telah menipuku.”[1]
    Dan ada perbedaan riwayat dari Malik tentang isteri seorang yang lemah
    syahwat, ketika si wanita menyerahkan dirinya lalu dipisahkan karena
    sebab lemah syahwat, Malik seseskali berpendapat bahwa wanita itu berhak
    mendapatkan seluruh mahar, sesekali ia berpendapat bahwa wanita itu
    berhak mendapatkan separuh mahar. Hal ini disebabkan karena adanya
    perbedaan “Karena sebab apa wanita berhak mendapatkan mahar?” apakah
    karena ia telah taslim (menerima suami) atau karena digauli….ada dua
    pendapat (dalam hal ini).”
    [2]


    Dan hukum menikah berbeda-beda
    tergantung keadaan orangnya, kesiapan jasmani dan hartanya serta
    kesiapannya memikul beban yang akan ditanggungnya. Rasulullah 
    shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ !
    مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ
    لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
    بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”.


    “Wahai para pemuda, siapa saja di antara
    kamu yang memiliki kemampuan, maka hendaknya ia menikah; karena nikah
    dapat menundukkkan pandangan dan menjaga kehormatan. Namun bila masih
    tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat memutuskan
    syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


    maksud “Baa’ah/mampu” di sini adalah
    bisa mampu berjima’, bisa juga mampu membiayai, sebenarnya kedua
    pendapat ini tidak bertentangan karena maksud maksud mampu berjima’
    adalah karena mampunya dia membiayai.


    Dalam hadits tersebut terdapat dua cara melawan syahwat atau menghindari bahayanya, yaitu:


    1. Menikah bila memang sudah mampu.

    2. Berpuasa, bila tidak mampu sedangkan ia ingin menikah.



    Larangan tabattul (mengkhususkan diri untuk ibadah) bagi yang mampu menikah


    Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:


    رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا .


    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
    sallam tidak mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk tabattul, kalau
    seandainya Beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul) meskipun
    (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” (HR. Bukhari)


    Thabariy berkata, “Tabattul yang
    diinginkan Utsman bin Mazh’un adalah pengharaman wanita, wewangian serta
    segala yang enak, oleh karena itu turun ayat terhadapnya: “Hai
    orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
    telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al
    Maa’idah: 87)


    Memilih calon isteri.


    Dalam memilih calon isteri disunatkan memilih wanita yang baik agamanya atau wanita shalihah, inilah
    yang hendaknya didahulukan. Wanita shalihah senantiasa menjaga
    agamanya, berpegang dengan keutamaan, memperhatikan hak suami dan
    menjaga anak-anaknya. Wanita shalihah juga menarik suami, ta’at,
    berbakti dan amanah. Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam pernah
    bersabda:


    خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ اِذَا
    نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِذَا
    اَقْسَمْتَ عَلَيْهَا اَبَرَّتْكَ وَاِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي
    نَفْسِهَا وَمَالِكَ


    “Wanita yang terbaik adalah wanita yang
    jika kamu pandang menyenangkanmu, jika kamu suruh menta’atimu, jika kamu
    bersumpah ia melaksanakan sumpahmu dan jika kamu sedang pergi, ia
    menjaga diri dan hartamu.” (HR. Nasa’i dan lainnya dengan sanad shahih)


    Lebih baik lagi memilih wanita yang
    berasal dari lingkungan yang baik, beradab tinggi, sopan dan tenang.
    Wanita seperti ini biasanya sangat sayang kepada anak dan memperhatikan
    sekali hak suami. Biasanya tabi’at seperti ini akan diwariskan oleh
    keturunannya. Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    وَالنَّاسُ مَعَادِنُ ، خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا ،


    “Manusia itu seperti barang tambang,
    orang yang baik di zaman jahiliyyah adalah orang yang terbaik dalam
    Islam jika mereka paham (agama).” (HR. Bukhari)


    Juga memiliki sifat ‘iffah (menjaga diri dari perbuatan haram) dan dari keturunan yang baik. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    تُنْكَحُ اَلْمَرْأَةُ
    لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا , وَلِحَسَبِهَا , وَلِجَمَالِهَا , وَلِدِينِهَا ,
    فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ


    “Wanita dinikahi karena empat hal;
    karena harta, keturunan, kecantikan dan karena agamanya. Pilihlah yang
    baik agamanya, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)


    Lebih baik lagi jika wanita tersebut juga menarik suami seperti cantik, berdasarkan perintah Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita yang dilamar.


    Juga disunatkan memilih wanita yang masih gadis, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu,


    فَهَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ


    “Mengapa kamu tidak menikahi yang masih
    perawan, agar dia bisa bercanda denganmu, dan kamu pun bisa bercanda
    dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


    Di samping itu, hati wanita gadis masih
    belum terpikat dengan siapa-siapa karena belum pernah ada yang
    menikahinya, berbeda dengan janda.


    Kecuali bila ada maslahatnya memilih
    janda, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
    ketika ditanya Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam “mengapa tidak
    gadis?” ia menjelaskan bahwa ia memiliki adik-adik perempuan yang masih
    kecil, mereka butuh diurus, dan yang pandai mengurus adalah janda
    karena sudah berpengalaman.


    Dan disunatkan juga memilih wanita yang subur dan sangat cinta, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ . إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ


    “Nikahilah wanita yang sangat cinta dan
    subur, karena aku akan berbangga-bangga di hadapan para nabi dengan
    banyaknya kamu pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu
    Hibban)


    Cara mengetahui kesuburannya bisa dengan melihat saudari-saudarinya atau kerabatnya.


    Memilih calon suami.


    Hendaknya seorang wali mencarikan untuk puterinya laki-laki yang shalih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ


    “Apabila datang kepada kamu orang yang
    kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah. Bila tidak maka akan
    terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Shahih,
    diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hatim Al Muzanniy)


    Dan tidak mengapa seorang wali
    menawarkan puterinya atau saudarinya kepada laki-laki shalih,
    berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut:


    أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
    حِينَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ
    السَّهْمِىِّ – وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    فَتُوُفِّىَ بِالْمَدِينَةِ – فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : أَتَيْتُ
    عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَفْصَةَ فَقَالَ :
    سَأَنْظُرُ فِى أَمْرِى . فَلَبِثْتُ لَيَالِىَ ثُمَّ لَقِيَنِى فَقَالَ :
    قَدْ بَدَا لِى أَنْ لاَ أَتَزَوَّجَ يَوْمِى هَذَا . قَالَ عُمَرُ :
    فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ فَقُلْتُ : إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ
    حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ . فَصَمَتَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَىَّ
    شَيْئاً ، وَكُنْتُ أَوْجَدَ عَلَيْهِ مِنِّى عَلَى عُثْمَانَ ، فَلَبِثْتُ
    لَيَالِىَ ثُمَّ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ : لَعَلَّكَ
    وَجَدْتَ عَلَىَّ حِينَ عَرَضْتَ عَلَىَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أَرْجِعْ
    إِلَيْكَ شَيْئاً . قَالَ عُمَرُ قُلْتُ : نَعَمْ . قَالَ أَبُو بَكْرٍ :
    فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ فِيمَا عَرَضْتَ
    عَلَىَّ إِلاَّ أَنِّى كُنْتُ عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
    عليه وسلم قَدْ ذَكَرَهَا ، فَلَمْ أَكُنْ لأُفْشِىَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ
    صلى الله عليه وسلم وَلَوْ تَرَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    قَبِلْتُهَا .


    “Bahwa Umar bin Al Khaththab pada saat
    Hafshah binti Umar menjadi janda dari Khunais bin Hudzaafah As Sahmiy
    –ia termasuk sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wafat
    di Madinah-, Umar bin Al Khaththab berkata, “Aku datang kepada Utsman
    bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah kepadanya”, ia berkata, “Saya
    pikir-pikir dahulu”, aku pun menunggunya beberapa hari, setelah itu
    Utsman menemuiku dan berkata, “Sepertinya sekarang-sekarang ini saya
    sedang tidak hendak menikah”, Umar berkata, “Lalu aku menemui Abu Bakar
    Ash Shiddiq dan berkata “Jika kamu mau, saya akan menikahkan kamu dengan
    Hafshah binti Umar”, Abu Bakar pun diam dan tidak memberikan jawaban,
    aku pun kesal kepadanya melebihi kesalku kepada Utsman, aku menunggu
    beberapa hari, kemudian ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
    sallam yang melamarnya, maka aku pun menikahkannya kepada Beliau, lalu
    Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Mungkin kamu kesal kepadaku ketika
    kamu menawarkan Hafshah kepadaku, lalu aku tidak memberikan jawaban”,
    Umar menjawab, “Ya”, Abu Bakar mengatakan, “Sebenarnya tidak ada yang
    menghalangiku untuk menjawabnya ketika kamu menawarkan, selain karena
    aku sudah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
    telah membicarakannya, aku tidak ingin membuka rahasia Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau seandainya Rasulullah shallallahu
    ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, tentu aku sudah menerima.“ (HR.
    Bukhari)


    Menjodohkan Wanita


    Wanita yang akan dijodohkan itu ada tiga
    macam; gadis yang di bawah usia baligh, gadis remaja yang baligh dan
    janda. Masing-masing memiliki hukum tersendiri.


    1. 1.       Gadis yang di bawah usia baligh.



    Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa
    ayahnya boleh mengawinkannya tanpa meminta izin anak itu, karena ia
    tidak memiliki hak untuk dimintai izin, berdasarkan riwayat berikut:


    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
    تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْىَ بِنْتُ سِتٍّ
    وَبَنَى بِهَا وَهْىَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهْىَ بِنْتُ ثَمَانَ
    عَشْرَةَ .  (مسلم)


    Dari Aisyah ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya ketika ia berumur enam tahun[3].
    Berkumpul bersamanya, ketika ia berumur sembilan tahun, dan ditinggal
    wafat oleh Beliau ketika ia berumur delapan belas tahun.” (HR. Muslim)


    Hadits ini menunjukkan bahwa seorang
    ayah boleh mengawinkan puterinya yang belum baligh baik kepada laki-laki
    dewasa maupun yang sudah tua.


    Ibnu Qudamah mengatakan: Ibnul Mundzir
    berkata, “Para ulama kenamaan yang kami ketahui, semuanya sepakat
    (ijma’) bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya yang belum
    baligh, asalkan ia menjodohkannya dengan laki-laki yang sekufu’ (setaraf
    dari sisi akhlak maupun keshalihannya).”


    Namun sebaiknya seorang wali
    memperhatikan usia calon suami puterinya yakni jangan terlalu jauh
    perbedaan umurnya, karena hal ini dapat membantu langgengnya pernikahan
    dan tetapnya kemesraan antara keduanya. Disebutkan dalam riwayat bahwa
    Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah meminang Fathimah puteri
    Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau menjelaskan bahwa
    Fathimah anak kecil, kemudian ketika ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang
    melamarnya, maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam
    menjodohkannya.


    Apakah bila wanita ini baligh berhak khiyar (memilih antara melanjutkan pernikahan atau tidak)?


    Jawab: Ada ulama yang berpendapat bahwa
    si wanita tidak berhak khiyar, namun yang lain berpendapat bahwa wanita
    berhak khiyar setelah balighnya karena adanya riwayat[4]
    bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Umamah bintu Hamzah
    ketika ia masih kecil dan memberikan hak khiyar kepadanya ketika
    baligh.


    Catatan:


    Tidak sah menikahkan wanita yang masih
    kecil atau wanita gila atau budak dengan orang yang mempunyai ‘aib yang
    bisa ditolak pernikahan karena aib itu, seharusnya walinya memperhatikan
    maslahat wanita, namun bila si wali tidak mengetahui ‘aib itu, maka
    bila sudah diketahui nikah dibatalkan (fasakh) untuk menghilangkan
    bahaya yang mungkin terjadi.


    1. 2.       Gadis remaja yang sudah baligh



    Ia tidak boleh dikawinkan kecuali atas
    izinnya. Tanda izinnya adalah dengan diamnya. Rasulullah shallallahu
    ‘alaihi wa sallam bersabda:


    لَا تُنْكَحُ اَلْأَيِّمُ
    حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَا تُنْكَحُ اَلْبِكْرُ حَتَّى تُسْـتَأْذَنَ”
    قَالُوا : يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَكَيْفَ إِذْنُهَا ? قَالَ : ” أَنْ
    تَسْكُتَ -  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


    “Tidak boleh dinikahkan janda kecuali
    setelah diajak berembuk dan tidak boleh seorang gadis dinikahi kecuali
    setelah diminta izinnya.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
    bagaimanakah izinnya? Beliau menjawab, “Dengan diamnya.” (Muttafaq
    ‘alaih)


    Oleh karena itu harus ada izin darinya, meskipun yang mengawinkannya adalah ayahnya.


    1. 3.       Janda



    Janda tidak boleh dikawinkan kecuali
    atas izinnya. Tanda pemberian izinnya adalah pernyataan melalui
    ucapannya, berbeda dengan gadis yang cukup dengan diamnya.


    Catatan:


    -    Tidak sah menikahkan wanita yang
    masih kecil atau wanita gila atau budak dengan orang yang mempunyai ‘aib
    yang nikah bisa ditolak karena aib itu, seharusnya walinya
    memperhatikan maslahat wanita, namun bila si wali tidak mengetahui ‘aib
    itu, maka bila sudah diketahui nikah dibatalkan (fasakh) untuk
    menghilangkan bahaya yang mungkin terjadi.


    -    Dan bila wanita yang dewasa berakal
    ridha dengan laki-laki yang terpotong kemaluannya atau yang lemah
    syahwat,  maka walinya tidak boleh melarangnya, karena yang punya hak
    digauli itu isteri bukan selainnya.


    -    Dan bila si wanita ridha menikah
    dengan laki-laki gila, berkusta atau sopak maka walinya berhak
    mencegahnya, karena hal itu berbahaya di mana bisa saja menurun ke anak.


    Wanita yang boleh dilamar


    Wanita boleh dilamar jika terpenuhi dua syarat:


    1. Tidak ada penghalang syar’i yang menghalangi untuk dinikahi saat itu.



    Jika ada penghalang syar’i, misalnya
    wanita itu haram dinikahinya baik mu’abbadah (selamanya) maupun
    mu’aqqatah (hanya sementara waktu) maka tidak boleh dilamar.


    1. Tidak didahului dikhitbah oleh orang lain.



    Jika sudah dilamar oleh orang lain, maka ia tidak boleh melamarnya.


    Melamar wanita yang menjalani masa ‘iddah dari orang lain


    Haram melamar wanita yang menjalani masa
    ‘idddah (menunggu), baik karena ‘iddah wafatnya suaminya maupun ‘iddah
    karena dithalaq/cerai, baik thalaqnya thalaq raj’iy maupun thalaq ba’in.


    Catatan:


    q  Jika seorang wanita menjalani masa
    ‘iddah karena thalaq raj’iy, maka haram dilamar, karena wanita itu masih
    belum lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, di mana suaminya
    berhak merujuk kapan saja ia mau.


    q  Jika wanita menjalani masa ‘iddah karena thalaq ba’in, maka yang haram adalah dilamar secara sharih (tegas)[5],
    karena hak suami masih terkait,  dan suami berhak rujuk dengan ‘akad
    yang baru. Jika seseorang maju melamarnya adalah sama saja mendahului
    bekas suaminya. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal melamar
    wanita tersebut dengan cara ta’ridh (sindiran atau tidak sharih),
    pendapat yang benar adalah boleh.


    q  Jika wanita itu sedang menjalani masa
    ‘iddah karena wafatnya suami, maka boleh dilamar ketika wanita itu
    masih menjalani masa ‘iddah, namun tidak dengan cara sharih (tegas)[6]. Dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala:  “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[7] dengan sindiran[8]
    atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
    Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
    janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
    kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf[9].
    dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
    sebelum habis ‘iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
    yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa
    Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al Baqarah: 235)


    Yang dimaksud sindiran adalah seseorang
    menyebutkan sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang tidak disebutnya.
    Contoh sindiran “Saya ingin menikah” atau mengatakan “Saya senang
    sekali, jika Allah memudahkan saya mendapatkan wanita shalihah” dsb.


    Termasuk ke dalam ta’ridh juga adalah seseorang memuji dirinya dan menyebutkan keturunannya secara sindiran untuk menikah.


    Sukainah bintu Hanzhalah pernah berkata:
    Muhammad bin ‘Ali pernah meminta izin menemuiku, sedangkan aku belum
    selesai masa ‘iddah karena meninggalnya suamiku. Dia (Muhammad bin ‘Ali
    bin Husain) berkata, “Kamu kan sudah tahu adanya hubungan kerabat antara
    saya dengan Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam, adanya hubungan
    kerabat antara saya dengan ‘Ali dan kedudukan di kalangan orang-orang
    ‘Arab.” Sukainah pun berkata, “Semoga Allah mengampunimu hai Abu Ja’far,
    sesungguhnya engkau adalah laki-laki yang dijadikan teladan, mengapa
    engkau melamarku dalam masa ‘iddahku?” Muhammad bin ‘Ali berkata: “Saya
    hanya memberitahukan kamu adanya hubungan kerabat antara saya dengan
    Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan dengan ‘Ali (yakni tidak
    melamar secara sharih/tegas).”


    Kesimpulannya adalah bahwa menyebutkan
    secara sharih/tegas melamar adalah haram untuk semua wanita yang masih
    menjalani masa ‘iddah, sedangkan menyebutkan secara ta’ridh (sindiran)
    adalah mubah baik kepada wanita yang dithalaq ba’in maupun wanita yang
    menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami selain kepada wanita yang
    menjalani ‘iddah thalaq raj’iy. Wanita yang dithalaq raj’iy[10] haram dilamar baik secara sharih maupun ta’ridh.


    Contoh secara sharih adalah mengatakan,
    “Saya ingin menikahi anda”, sedangkan secara ta’ridh (sindiran),
    misalnya mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?”. Dan bagi wanita boleh
    menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan tashrih
    (terang-terangan).


    q  Lalu bagaimana jika ada seseorang
    yang melamar secara tegas kepada wanita yang masih menjalani masa ‘iddah
    meskipun ‘akadnya dilakukan setelah selesai ‘iddahnya?


    Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam
    hal ini, Imam Malik berpendapat bahwa ia harus dipisahkan, baik sudah
    berkumpul (berkhalwat)  maupun belum. Namun menurut Imam Syafi’i bahwa
    ‘akadnya sah, meskipun ia telah mengerjakan yang jelas-jelas terlarang.
    Tetapi mereka sepakat bahwa keduanya harus dipisahkan  jika seandainya
    ‘akad dilakukan dalam masa ‘iddah dan sudah berkumpul (berkhalwat).


    q  Kemudian apakah setelah selesai
    ‘akadnya wanita itu halal atau tidak? Imam Malik, Al Laits dan Al
    Auzaa’iy berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah tidak halal dinikahi.
    Namun jumhur ulama berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah halal
    dinikahinya jika ia mau.


    q  Imam Ibnul Qayyim berkata, “Haram
    melamar secara sharih (tegas) wanita yang masih menjalani masa ‘iddah,
    demikian juga wanita yang masih menjalani masa ‘iddah karena wafatnya
    sang suami….dan dibolehkan mengkhitbah (melamar) wanita yang  menjalani
    masa ‘iddah dengan tegas ataupun sindiran bagi laki-laki yang
    menthalaqnya (suaminya) dengan thalaq baa’in, kurang dari tiga kali,
    karena boleh baginya menikahi wanita di masa ‘iddahnya.”


    Syaikh Taqiyyuddin mengatakan,
    “Dibolehkan secara sharih dan sindiran bagi orang yang karenanya iddah
    dilakukan  (yakni suaminya), jika ia termasuk orang yang halal
    menikahinya pada masa ‘iddah.”


    Melamar wanita setelah dilamar oleh yang lain


    Haram melamar wanita yang sudah dilamar
    oleh saudaranya yang muslim, yang mana wanita itu sudah menerima
    lamarannya (menurut Imam Syaafi’i tanda menerimanya adalah dengan
    diamnya wanita itu), sampai saudaranya mengizinkan atau menolaknya,
    Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    لاَ يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلىَ خِطْبَةِ أََخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يأذَنَ لَهُ


    “Tidak boleh salah seorang di antara kamu melamar wanita yang sudah dilamar saudaranya[11], sampai pelamar sebelum dia meninggalkan atau mengizinkannya.”


    Letak keharamannya adalah apabila wanita
    yang dilamar sudah tegas menyatakan menerima dan walinya mengizinkan.
    Bila wanita itu tidak menyatakan secara tegas menerima, maka masih bisa
    dilamar oleh yang lain, hal ini berdasarkan hadits Fathimah bintu Qais,
    di mana dirinya pernah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah, namun
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, bahkan
    Beliau menjodohkannya dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.


    Tirmidzi menukilkan dari Imam Syaafi’i
    tentang larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh yang lain, “Bila
    wanita dilamar, lalu ia ridha dan cenderung kepada pelamarnya, maka
    tidak boleh seorang pun melamarnya setelah dilamar, namun jika tidak
    diketahui keridhaannya dean kecenderungannya, maka tidak mengapa
    dilamar.”


    Khitbah (melamar) setelah dilamar oleh orang lain menjadi boleh bila:


    -           Si wanita menyatakan menolak ketika dilamar,


    -           Wanita tersebut menerima namun dengan sindiran seperti mengatakan, “Aku tidak benci kepadamu”,


    -           Pelamar kedua tidak mengetahui sudah dikhitbah oleh yang pertama,


    -           Pelamar pertama ditolak, atau


    -           Pelamar pertama mengizinkan kepada pelamar kedua.


    Dan bila pelamar kedua melamar setelah
    dilamar oleh yang pertama dan yang pertama sudah diterima, lalu yang
    kedua melakukan ‘akad nikah, maka menurut jumhur adalah sah namun ia
    berdosa, karena larangan tersebut kembalinya kepada khitbah (lamaran),
    bukan kepada syarat sahnya nikah, maka tidak dibatalkan. Sedangkan
    menurut Dawud Azh Zhaahiriy akadnya dibatalkan baik sudah bersama atau
    belum.


    Hal-hal yang berkaitan dengan khitbah (melamar)[12]


    Islam menganjurkan agar seseorang yang hendak menikah melihat calon isterinya.


    Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ


    “Apabila salah seorang di antara kamu
    hendak melamar wanita, jika ia mampu, melihat sesuatu yang mendorongnya
    untuk menikahinya, maka hendaklah ia lakukan.”


    Jabir berkata: “Aku pun kemudian melamar
    wanita dari Bani Salamah, aku bersembunyi (untuk melihatnya), sehingga
    aku dapat melihat sebagian di antara yang mendorong untuk menikahinya.”


    (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Hakim)


    Hadits ini membolehkan seseorang yang
    hendak melamar untuk melihat bagian yang nampak dari si wanita secara
    ghalibnya, dan hendaknya tanpa sepengetahuan wanita itu serta tidak
    boleh berkhalwat (berdua-duan) dengannya.


    عَنِ الْمُغِيْرَةَ بْنِ
    شُعْبَةَ : أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
    اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ؟ ) قَالَ : لاَ ،
    قَالَ : ( أُنْظُرْ إِلَيْهَا ، فَاِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ
    بَيْنَكُمَا


    Dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia
    pernah melamar seorang wanita, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda kepadanya, “Apakah kamu sudah melihatnya?” ia menjawab,
    “Belum”, Beliau bersabda: “Lihatlah wanita itu, karena hal itu lebih
    dapat melanggengkan hubungan antara kamu berdua.” (HR. Nasa’i, Ibnu
    Majah dan Tirmidzi, ia menghasankannya)


    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
    اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً خَطَبَ امْرَأَةً مِنَ الْاَنْصَارِ ،
    فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (
    أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا ) ؟ قَالَ : لاَ ، قَالَ : ( فَاذْهَبْ فَانْظُرْ
    إِلَيْهَا ، فَاِنَّ فِي أَعْيُنِ الْاَنْصَارِ شَيْئًا


    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
    bahwa ada seseorang yang melamar seorang wanita Anshar, lalu Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu sudah
    melihatnya?” orang itu menjawab, “Belum”, maka Beliau bersabda,
    “Pergilah, lihatlah wanita itu, karena pada mata orang-orang Anshar ada
    sesuatu[13].”


    Al A’masy pernah berkata: “Semua pernikahan yang terjadi tanpa melihat (calon isteri) akhirnya adalah kesedihan dan penyesalan.”


    Muhammad bin Maslamah berkata, “Aku (hendak) melamar seorang wanita, untuk itu aku pun bersembunyi di balik pohon kurma”,


    lalu ada yang mengatakan kepadanya,
    “Apakah anda melakukan hal ini, padahal anda sahabat Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam?”


    Ia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    اِذَا اَلْقَى اللهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَيْهَا


    “Apabila Allah menanamkan dalam hati
    seseorang keinginan melamar seorang wanita, maka tidak mengapa
    melihatnya terlebih dahulu.” (Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah)


    Kalau ia kesulitan melihatnya, maka ia
    bisa mengirim seorang wanita yang terpercaya untuk menelitinya, kemudian
    memberitahukan lebih jelasnya.


    Bagian yang boleh dilihat


    Menurut jumhur ulama, yang boleh dilihat
    adalah wajah dan telapak telapak tangan, karena wajah menunjukkan
    kecantikannya dan tangan menunjukkan kesuburannya. Namun menurut Dawud
    Azh Zhahiri boleh melihat semua badannya. Menurut Al Auzaa’iy yang boleh
    dilihat adalah bagian-bagian dagingnya. Namun hadits-hadits yang datang
    tidak menentukan bagian mana yang boleh dilihat, bahkan memutlakkan
    untuk melihat bagian yang bila dilihat tercapai maksud dan tujuan
    –inilah yang raajih, insya Allah-.


    Wallahu a’lam.


    Hal di atas berkaitan dengan cantik dan
    tidaknya, adapun yang berkaitan dengan akhlaknya, maka bisa bertanya
    kepada orang yang biasa bergaul atau bertetangga dengannya. Bila ada
    seseorang yang mengetahui lebih jelas tentang wanita itu dimintai
    penjelasannya, maka wajib baginya menjelaskan apa adanya baik atau buruk
    akhlaknya dsb, dan hal itu tidak termasuk ghiibah.


    Wanita melihat laki-laki


    Sebagaimana laki-laki boleh melihat
    wanita yang hendak dilamar, wanita pun sama boleh melihat laki-laki yang
    melamar. Umar berkata: “Janganlah kalian menikahkan puteri kalian
    dengan laki-laki jelek, karena mereka suka sebagaimana yang disukai
    laki-laki.”


    Bahaya berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita yang dilamar


    Haram hukumnya berdua-duaan dengan
    wanita yang dilamar, karena wanita tersebut masih belum halal sampai
    dilangsungkannya akad nikah. Namun bila ada mahramnya boleh berkhalwat,
    karena tidak mungkinnya terjadi maksiat di hadapannya.


    Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
    وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ
    مَحْرَمٍ مِنْهَا ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ


    “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
    dan hari akhir, maka janganlah berdua-duaan dengan wanita tanpa
    mahramnya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad)


    Dan dari ‘Amir bin Rabii’ah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَاِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ لِمَحْرَمٍ


    “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki
    berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena yang
    ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad)


    Bahaya meremehkan masalah khalwat (berdua-duaan)


    Syaikh Sayyid Saabiq berkata: “Banyak
    orang-orang yang meremehkan masalah ini, sampai ia membolehkan puterinya
    atau kerabatnya untuk bergaul bersama laki-laki yang melamarnya dan
    berduaan tanpa pengawasan. Puterinya pergi bersama laki-laki yang
    meminangnya ke mana laki-laki itu suka tanpa dipantau. Akibatnya wanita
    tersebut ada yang kehilangan kehormatannya, ‘iffah dan kemuliannya,
    bahkan terkadang pernikahan tidak jadi sehingga bertambah dengan
    gagalnya pernikahan. Ada juga yang terbalik, sebagian orang yang kolot
    tidak memberikan kesempatan kepada pelamar untuk melihat puterinya
    ketika dilamar, mereka menekan pelamar agar ridha menerimanya dan
    melakukan ‘akad terhadapnya tanpa perlu melihatnya, demikian juga
    puterinya tidak melihat laki-laki yang melamarnya kecuali pada malam
    pengantin. Bahkan terkadang melihatnya juga tiba-tiba tanpa ditentukan,
    akibatnya terjadi pertengkaran dan perselisihan tanpa diduga-duga. Ada
    juga orang yang merasa cukup dengan melihat foto, padahal foto itu
    secara kenyataan tidak menunjukkan sesuatu yang membuat hati tentram,
    dan tidak menjamin sama persis dengan keadaan sebenarnya. Oleh karena
    itu, yang terbaik adalah yang dibawa oleh Islam, di sana hak
    masing-masing pasangan diperhatikan dengan bolehnya masing-masing
    melihat yang lain, dan dengan menghindari khlawat untuk menjaga
    kemuliaan dan memelihara kehormatan.”


    Tidak jadi melamar dan pengaruhnya. 


    Khitbah (melamar) adalah pendahuluan
    sebelum akad nikah, setelah itu biasanya disiapkan mahar (mas kawin)
    penuh atau sebagiannya, juga disiapkan hadiah dan hibah (pemberian)
    untuk memperkuat hubungan dan ikatan. Terkadang pelamar atau yang
    dilamar bisa saja tidak jadi atau kedua-duanya sama-sama tidak jadi,
    lalu bolehkah hal itu? Dan apakah barang yang telah diberikan kepada
    wanita yang dilamar harus dikembalikan atau tidak?


    Jawab: Perlu diketahui, bahwa khitbah
    hanyalah semata-mata perjanjian untuk menikah, bukan ‘akad yang mesti
    terlaksana, tidak jadi melanjutkan pernikahan adalah hak masing-masing
    yang mengikat perjanjian. Syara’ tidaklah menetapkan hukuman atau
    kaffarat jika perjanjian itu dibatalkan, meskipun hal itu termasuk
    akhlak tercela, dan menyebut sifat itu yakni ”ingkar janji” sebagai
    sifat orang-orang munafik, kecuali jika di sana ada darurat dan desakan
    yang menghendaki untuk tidak dilanjutkan atau tidak dipenuhi janji itu.


    Disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    اَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: اِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَاِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ وَاِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ


    “Tanda orang munafik itu tiga; apabila bicara berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya mengkhianati.”


    Dalam Tadzkiratul Huffaazh disebutkan
    bahwa ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma hendak wafat, ia
    berkata, “Lihatlah si fulan –yang ia maksud seorang laki-laki dari
    Quraisy-, sesungguhnya saya pernah berkata kepadanya perkataan yang
    mirip dengan janji dalam hal puteriku, aku tidak ingin menghadap Allah
    dengan membawa sepertiga nifak, aku pun menjadikan kalian saksi bahwa
    aku menikahkan dia dengannya.”


    Oleh karena itu, mahar yang telah
    diberikan pelamar berhak diambil pelamar, karena ia menyerahkan untuk
    tujuan menikahinya, jika pernikahan tidak jadi maka mahar kembali kepada
    pemberinya (yakni pelamar). Sedangkan hadiah, maka ia masuk ke dalam
    hibah, sedangkan hibah tidak boleh ditarik kembali jika sebagai
    pemberian semata tidak ada niat untuk diganti. Di samping itu, orang
    yang diberi hibah pada saat menerimanya, barang tersebut menjadi
    miliknya, ia berhak menggunakannya, jika yang memberinya menarik kembali
    maka sama saja ia menarik barang milik orang yang diberi itu tanpa
    keridhaan, ini jelas batil secara syara’ dan ‘akal[14].


    Berbeda jika pemberi memberikan hibah
    agar diberi ganti dan dibalas, lalu ternyata yang diberi tidak membalas,
    maka pemberi berhak menarik hibahnya. Sehingga jika pelamar memberi
    hibah kepada pihak yang dilamar agar diganti, lalu ternyata pernikahan
    tidak jadi, maka pelamar berhak menarik kembali pemberiannya. Hal ini
    berdasarkan dalil-dalil berikut:


    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
    اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لاَ
    يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً ، أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ
    فِيْهَا ، إِلاَّ الْوَالِدُ فِيْمَا يُعْطِيْ وَلَدَهُ


    Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
    bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal
    bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian atau suatu hibah lalu
    menarik lagi, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Para pemilik
    kitab sunan)


    اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِهِ


    “Orang yang menarik kembali hibahnya seperti orang yang menarik kembali muntahnya.” (HR. Para pemilik kitab sunan)


    مَنْ وَهَبَ هِبَةً فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا


    “Barangsiapa yang memberi hibah, maka ia (yang memberi hibah) berhak terhadap hibah itu, selama belum dibalas.”


    Cara menggabung hadits-hadits di atas adalah seperti yang disebutkan dalam A’laamul Muwaqqi’iin sbb:


    “Pemberi yang tidak halal menarik
    kembali pemberiannya adalah pemberi yang memberikan dengan tujuan
    semata-mata memberi, tidak agar diganti (pemberiannya), sedangkan
    pemberian yang berhak ditarik adalah pemberian dengan tujuan agar
    diganti/dibalas pemberiannya, jika ternyata yang diberi tidak melakukan.
    Demikianlah sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
    diberlakukan semuanya, sebagiannya tidak bertentangan dengan yang lain.”


    Pendapat para fuqaha (ahli fiqh) 


    Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
    yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamarnya berhak ditarik jika
    barang tersebut masih tetap belum berubah. Oleh karena itu, gelang,
    cincin, jam dsb. dikembalikan kepada pelamar jika masih ada, namun jika
    tidak tetap (yakni berubah) seperti karena hilang, terjual, berubah
    menjadi bertambah atau berupa makanan ternyata sudah dimakan atau berupa
    kain ternyata sudah dibuat pakaian, maka pelamar tidak berhak menarik
    pemberian atau hadiah itu dan tidak berhak meminta ganti terhadapnya.


    Dalam Mahkamah Syar’i Tingkat I Thantha menetapkan beberapa ketetapan berikut:


    1. Yang diberikan pelamar kepada wanita yang dilamar, yang bukan untuk ‘akad, maka dianggap hadiah.

    2. Hadiah seperti hibah, secara hukum maupun makna.

    3. Hibah adalah ‘akad kepemilikan, yang menjadi milik penerima ketika
      menerimanya. Bagi yang menerima berhak menggunakan barang tersebut baik
      dengan menjual, membeli dsb. ia berhak melakukan apa saja terhadapnya.

    4. Hilangnya barang atau rusaknya menghendaki untuk tidak boleh menarik kembali barang itu.

    5. Pemberi berhak minta dikembalikan barang yang diberikan jika masih utuh.



    Namun menurut madzhab Maliki
    bahwa dalam hal ini ada perincian, yakni tidak jadi melanjutkan itu dari
    pihak siapa; laki-laki atau wanita. Jika dari pihak laki-laki, maka
    tidak berhak menarik kembali hadiah yang diberikan, namun jika dari
    pihak wanita, maka laki-laki berhak menarik kembali hadiahnya baik masih
    utuh maupun tidak utuh, jika tidak utuh diganti kecuali jika ‘urufnya
    (kebiasaan yang berlaku) tidak demikian atau sebelumnya telah membuat
    syarat, maka sesuai ‘uruf atau syarat tersebut.


    Sedangkan menurut madzhab Syafi’i
    hadiah itu tetap dikembalikan baik masih utuh atau tidak, jika masih
    utuh dikembalikan barangnya, dan jika sudah tidak utuh maka diganti
    dengan yang senilainya.


    Di antara pendapat-pendapat di atas,
    kami lebih memilih pendapat yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim di atas
    dalam A’laamul Muwaqqi’innya. Wallahu a’lam.


    ‘Akad nikah, rukun dan syaratnya


    Anjuran diadakan khutbah nikah


    Dianjurkan sebelum melangsungkan ‘akad
    nikah didahului dengan khutbah, baik dilakukan oleh orang yang akad
    maupun oleh orang lain yang hadir di situ, lafaz pendeknya adalah dengan
    mengucapkan “Al Hamdulillah wash shalaatu was salaamu ‘alaa
    rasuulillah”, dan tambahkanlah kalimat syahadatain di sana.


    عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” كل خطبة ليس فيها تشهد فهي كاليد الجذماء


    Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap khutbah yang tidak ada
    syahadatnya seperti tangan yang berkusta.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
    Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan gharib.”)


    عن أبي هريرة رضي الله عنه أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال : ” كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله ، فهو أقطع


    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
    bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua perkara
    yang bernilai, namun tidak diawali dengan hamdalah (ucapan Al
    Hamdulillah), maka ia terputus.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)


    Maksudnya adalah bahwa semua perkara
    yang perlu diperhatikan, namun tidak diawali dengan hamdalah, maka
    perkara itu terputus dari keberkahan. Namun maksudnya bukanlah khusus
    hamdalah, tetapi maksudnya dzikrullah agar sesuai dengan riwayat-riwayat
    yang lain.Namun yang paling utama adalah berkhutbah dengan khutbatul
    haajah sbb:


    إِنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ ,
    نَحْمَدُهُ , وَنَسْتَعِينُهُ , وَنَسْتَغْفِرُهُ , وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ
    مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا , مَنْ يَهْدِهِ اَللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ ,
    وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
    عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ


    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


    يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
    رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
    زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
    اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
    عَلَيْكُمْ رَقِيبًا


    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
    اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ
    أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
    وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا


    (رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ , وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ , وَالْحَاكِمُ)


    Artinya:


    Sesungguhnya segala puji milik Allah
    kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan
    kepadaNya, berlindung juga kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan
    keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
    Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang
    disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya
    bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak
    ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah
    dan utusan-Nya.


    Hai orang-orang yang beriman,
    bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
    sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Ali
    Imraan: 102)


    “Hai sekalian manusia, bertakwalah
    kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
    padanya Allah menciptakan isteri; dan dari pada keduanya Allah
    memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
    bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
    saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
    Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An Nisaa’: 1)


    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benarNiscaya
    Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
    dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka
    Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Al Ahzaab:
    70-71).


    Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami tasyahhud dalam (khutbah)
    haajat, yaitu: Innal hamda lillah…..dan seterusnya sebagaimana
    disebutkan di atas (Diriwayatkan oleh Ahmad dan empat orang, dihasankan
    oleh Tirmidzi dan Hakim).


    Namun, kalaupun tidak mengawali dengan khutbah, maka nikah tetap sah.


    عن رجل من بني سليم قال : خطبت
    إلى النبي صلى الله عليه وسلم المرأة التي عرضت نفسها عليه ليتزوجها صلى
    الله عليه وسلم . فقال له : ” زوجتكها بما معك من القرآن . “


    Dari seorang laki-laki Bani Salim ia
    berkata: Aku pernah melamar wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dinikahi Beliau. Lalu Beliau bersabda
    kepadanya, “Aku nikahkan kamu dengan Al Qur’an yang kamu hapal.” Di
    sana Beliau tidak berkhutbah.


    Hikmah adanya khitbah nikah


    Dalam Hujjatullah Al Baalighah
    disebutkan: “Dahulu kaum jahiliyyah berkhutbah sebelum ‘akad dengan
    kata-kata yang mereka pandang baik, yaitu menyebutkan kelebihan kaumnya
    dsb. dengan cara seperti itu mereka menyebutkan tujuan (mereka) dan
    meninggikannya, dan dengan begitulah menjadi resmi bermaslahat. Karena
    khutbah dasarnya mempopulerkan dan menjadikan sesuatu dapat didengar dan
    dilihat orang banyak. Dan meninggikan sesuatu yang diinginkan dalam
    pernikahan tujuannya untuk membedakan dengan perzinaan. Di samping itu,
    khutbah tidak digunakan kecuali dalam masalah-masalah penting. Perhatian
    kepada nikah dan menjadikannnya sebagai masalah penting di antara
    mereka termasuk tujuan yang besar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
    sallam membiarkan asalnya dan merubah sifatnya. Di sana Beliau
    menggabungkan antara maslahat-maslahat ini dengan maslahat lain, yaitu
    selayaknya dipadukan setiap memilih pasangan kata-kata yang cocok dan
    meninggikan setiap amal dengan syi’ar-syi’ar Allah agar agama yang hak
    ini tersebar tanda dan benderanya, nampak syi’ar dan tandanya. Maka di
    sana Beliau mensunnahkan beberapa dzikr seperti hamdalah, isti’anah,
    istighfar, ta’awwudz, tawakkal dan beberapa ayat Al Qur’an (ini semua
    ada dalam khutbatul haajah), Beliau juga mengisyaratkan untuk maslahat
    ini dengan sabda Beliau, “Setiap khutbah yang tidak ada syahadatnya
    adalah seperti tangan yang kusta.” Juga sabda Beliau, “Setiap ucapan
    yang tidak diawali hamdalah adalah terputus”, dan bersabda:


    فصل ما بين الحلال والحرام الصوت والدف في النكاح


    “Pemisah antara yang halal (nikah) dan yang haram (zina) adalah suara dan rebana dalam pernikahan.”


    (Lih. Fiqhus Sunnah)


    Rukun Nikah


    Rukun nikah itu adalah sbb:


    Þ Kedua belah mempelai ada tanpa adanya penghalang yang menghalangi sahnya nikah,
    misalnya wanita tersebut haram bagi laki-laki karena sepersusuan dsb,
    atau laki-lakinya kafir sedangkan wanitanya muslimah, bila seperti ini,
    maka tidak sah.


    Þ Adanya ijab, yaitu lafaz yang diucapkan si wali atau yang menduduki posisinya misalnya “Saya nikahkan kamu dengan si fulaanah.”


    Þ Adanya qabuul, yaitu lafaz yang diucapkan calon suami misalnya, “Saya terima nikah ini.”[15]


    Dalil bahwa ucapan ijab seperti di atas adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia.” (Al Ahzaab: 37)


    Bila ijab dan qabul terlaksana, maka
    nikah dianggap jadi, meskipun yang mengucapkannya hanya bermain-main,
    tidak bermaksud sungguh-sungguh. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda,


    ثَلَاثٌ جِدُّهنَّ جِدٌّ , وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : اَلنِّكَاحُ , وَالطَّلَاقُ , وَالرَّجْعَةُ


    “Ada tiga hal, bila sungguh-sungguh
    dianggap sungguh dan bila main-main dianggap sungguh-sungguh; nikah,
    thalaq dan rujuk.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi)


    Syarat sah nikah ada 4:


    Þ     Jelas siapa calon suami atau isterinya,
    tidak cukup hanya mengatakan, “Saya nikahkan puteri saya kepadamu.”
    Sedangkan dia memiliki banyak puteri. Untuk mengetahui “siapanya?” bisa
    dengan isyarat, menyebutkan nama ataupun sifat yang membedakan dari yang
    lain.


    Þ     Keridha’an kedua belah pihak; suami-isteri.
    Tidak sah bila karena dipaksa, kecuali bagi yang masih kecil yang belum
    baligh atau bagi yang kurang akal, maka bagi walinya boleh menikahkan
    tanpa izinnya.


    Þ     Wali wanita yang menikahkannya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


    لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ


    “Tidak sah nikah tanpa wali.” (Diriwayatkan oleh lima orang ahli hadits selain Nasa’i)


    oleh karena itu, bila seorang wanita
    menikahkan dirinya tanpa wali, maka nikahnya batal (tidak sah), karena
    hal itu bisa membawa kepada perzinaan, juga karena wanita kurang
    mengetahui tentang hal yang lebih bermaslahat untuk dirinya. Dalil lain
    bahwa yang menikahkan adalah harus walinya adalah firman Allah
    Subhaanahu wa Ta’aala, Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu.” (An Nisaa’ : 32)


    Di ayat Allah menujukan khithab (firman)-Nya kepada para wali.


    Þ     Adanya saksi pada ‘akad nikah, berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam,


    لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ


    “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”


    Insya Allah akan dijelaskan sebagian masalah di atas lebih rinci lagi nanti.


    Do’a setelah ‘akad  berlangsung


    Dianjurkan mendo’akan kedua mempelai dengan do’a yang ma’tsur (ada riwayatnya) berikut:


    عن أبي هريرة : ” أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا رفأ الانسان أي إذا تزوج . قال : بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير


    Dari Abu Hurairah: Bahwa nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ada orang yang menikah, Beliau
    mengucapkan, “Baarakallahu….(artinya: “Semoga Allah memberkahi untukmu,
    atasmu dan menghimpun kamu berdua dengan kebaikan”).


    عن عائشة قالت : ” تزوجني النبي
    صلى الله عليه وسلم ، فأتتني أمي فأدخلتني الدار ، فإذا نسوة من الانصار
    في البيت ، فقلن : على الخير ، والبركة وعلى خير طائر “


    Dari Aisyah ia berkata: “Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, lalu ibuku datang dan
    memasukkanku ke dalam rumah. tiba-tiba di rumah ada sekumpulan wanita
    Anshar. Mereka pun berkata, “Alal khair…(artinya, “Semoga baik, berkah
    dan berada dalam kebaikan yang meninggi”). (HR. Bukhari dan Abu Dawud)


    عن الحسن قال : تزوج عقيل بن
    أبي طالب رضي الله عنه امرأة من بني جشم . فقالوا : بالرفاء والبنين . فقال
    : قولوا كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” بارك الله فيكم ، وبارك
    عليكم


    Dari Al hasan ia berkata: ‘Aqil bin Abi
    Thalib radhiyallahu ‘anhu menikah dengan wanita Bani Jusyam, lalu
    orang-orang mengatakan, “Bir rifaa’ wal baniin” (Semoga menyatu dan
    banyak anak), lalu ‘Aqil berkata: “Katakanlah sebagaimana yang dikatakan
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Baraakallahu
    fiiukum…(artinya: “Semoga Allah memberikan berkah padamu dan atasmu).
    (HR. Nasa’i)


    Mengumumkan pernikahan


    Syara’ menganggap baik mengumumkan
    pernikahan agar tidak masuk ke dalam nikah sir yang dilarang, serta
    menampakkan kegembiraan terhadap yang Allah halalkan berupa yang
    baik-baik. Di samping itu, pernikahan adalah perkara yang patut
    disiarkan agar semua orang tahu, yang umum maupun yang khusus, yang
    dekat maupun yang jauh. Juga mendorong orang yang masih bujang agar
    segera menikah, sehingga nikah banyak disukai orang. Tentunya
    mengumumkan pernikahan itu sesuai ‘uruf yang berlaku dengan syarat tidak
    dibarengi dengan yang dilarang syara’ seperti sambil meminum khmar,
    bercampur baurnya laki-laki dan wanita dsb.


    Seseorang bisa mengadakan ‘akad nikah di
    masjid, karena di masjid tempat banyak orang berkumpul, di samping itu
    lebih mudah tersiar.


    عن يحيى بن سليم قال : قلت
    لمحمد بن حاطب : تزوجت امرأتين ما كان في واحدة منهما صوت – يعني دفا –
    فقال محمد رضي الله عنه : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” فصل ما بين
    الحلال والحرام الصوت بالدف “


    Dari yahya bin Salim ia berkata: Aku
    berkata kepada Muhammad bin Hathib: “Aku menikahi dua wanita , salah
    satunya tidak ada suara –yakni rebana-, maka Muhammad bin Hathib
    berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pemisah
    antara yang halal dengan yang haram adalah suara rebana.” (HR. Tirmidzi,
    dan ia menghasankannya, juga haki dan ia menshahihkannya)


    Nyanyian dalam pernikahan


    Dibolehkan bagi wanita menabuh rebana di
    tengah kaum wanita serta membawakan puisi-puisi mubah yang tidak
    disebutkan kecantikan wanita dan hal-hal maksiat lainnya, berdasarkan
    hadits:


    فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الصَّوْتُ وَالدُّفُّ فِي النِّكَاحِ


    “Pemisah antara yang halal dan yang
    haram adalah suara dan menabuh rebana dalam nikah.” (HR. Nasa’i, Ahmad
    dan Tirmidzi, ia menghasankannya)


    Dalil lain dibolehkannya nyanyian pada saat pernikahan untuk menyegarkan jiwa adalah hadits-hadits berikut:


    عن عامر بن سعد رضي الله عنه
    قال : دخلت على قرظة بن كعب ، وأبي مسعود الانصاري في عرس ، وإذا جوار
    يغنين ، فقلت : أنتما صاحبا رسول الله ، ومن أهل بدر – يفعل هذا عندكم ! !
    فقالا : ” إن شئت فاسمع معنا ، وإن شئت فاذهب ، قد رخص لنا في اللهو عند
    العرس “


    Dari ‘Amir bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
    ia berkata: Aku masuk menemui Qurazhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud Al
    Anshari dalam acara pernikahan. Tiba-tiba di sana ada jariyah
    (gadis-gadis kecil atau budak) bernyanyi, lalu aku berkata: “Kamu kan
    sahabat Rasulullah, dan termasuk yang hadir dalam perang Badar, mengapa
    hal ini dilakukan di hadapan kamu?!” Keduanya berkata: “Jika kamu mau,
    mari ikut mendengar bersama kami, jika kamu mau pergi, maka pergilah.
    Sungguh telah dibolehkan untuk kami permainan sia-sia dalam acara
    pernikahan.” (HR. Nasa’i, Hakim dan ia menshahihkannya)


    زفت السيدة عائشة رضي الله عنها
    الفارعة بنت أسعد ، وسارت معها في زفافها إلى بيت زوجها – نبيط بن جابر
    الانصاري – فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ” يا عائشة ما كان معكم لهو ؟
    فإن الانصار يعجبهم اللهو ” رواه البخاري وأحمد وغيرهما . وفي بعض روايات
    هذا الحديث أنه قال : ” فهل بعثتم معها جارية تضرب بالدف ، وتغني ؟ ” .
    قالت عائشة : تقول ماذا يا رسول الله ؟ قال : تقول : أتيناكم أتيناكم –
    فحيونا نحييكم ولو لا الذهب الاحمر – ما حلت بواديكم ولولا الحنطة السمراء –
    ما سمنت عذاريكم


    Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah
    menyerahkan Al Faari’ah binti As’ad dan berjalan bersamanya ketika
    hendak menyerahkan kepada suaminya Nubaith bin Jabir Al Anshaariy. Lalu
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hai Aisyah, apakah kamu
    memiliki permainan, karena orang-orang Anshar suka permainan.” (HR.
    Bukhari, Ahmad dan lain-lain)


    Dan dalam sebagian riwayat hadits ini
    Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu membawa
    bersamanya seorang jariyah yang memainkan rebana dan bernyanyi?” Aisyah
    berkata: “Apa yang ia ucapkan wahai Rasulullah? Beliau mengatakan,
    “Yaitu ucapan:


    kami datang, kami datang


    maka berilah penghormatan, niscaya kami beri penghormatan


    kalau sekiranya tidak adanya emas merah, tentu ia tidak melepaskan kampungmu


    dan kalau sekiranya tidak ada gandum Samraa’ tentu puterimu tidak gemuk.


    عن الربيع بنت معوذ قالت : جاء
    النبي صلى الله عليه وسلم حين بني بي فجلس على فراشي ، فجعلت جويريات لنا
    يضربن بالدف . ويندبن من قتل من آبائي يوم بدر إذ قالت إحداهن : . . . . . .
    . . . . . . وفينا نبي يعلم ما في غد فقال : ” دعي هذا وقولي بالذي كنت
    تقولين


    Dari Rubayyi’ bintu Mu’awwidz, ia
    berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang pada
    pernikahanku, Beliau duduk di atas kasurku. Ketika itu gadis-gadis kecil
    memainkan rebana dan menyebut-nyebut (keberanian) nenek moyangku pada
    perang Badar. Lalu salah satu gadis kecil itu berkata:………., “dan di
    tengah-tengah kita ada Nabi yang tahu esok hari.” Lalu Nabi shallallahu
    ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah kata-kata ini, dan katakanlah
    kata-kata yang sewajarnya kamu katakan.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan
    Tirmidzi)


    Wasiat untuk sang istri


    Anjuran untuk mewasiatkan istri


    Anas berkata: “Para sahabat Rasulullah
    shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menyerahkan wanita kepada
    suaminya, mereka menyuruh si wanita untuk melayani suami dan
    memperhatikan haknya.”


    Wasiat bapak kepada puterinya ketika pernikahan


    Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib
    mewasiatkan kepada puterinya dengan kata-kata, “Hindarilah sifat
    cemburu, karena ia adalah kunci dithalaq. Hindarilah banyak mencela,
    karena akibatnya kebencian. Pakailah celak, karena ia perhiasan yang
    paling indah dan wewangian yang paling wangi adalah air (mandi).”


    Wasiat suami kepada istrinya


    Abud Darda’ pernah berkata kepada
    istrinya, “Jika kamu melihatku marah, maka terimalah dengan rela. Jika
    aku melihatmu marah kepadaku, maka aku rela. Jika tidak demikian, kita
    tidak bisa berteman.”


    Wasiat ibu kepada puterinya


    ‘Amr bin Hijr raja Kindah pernah
    meminang Ummu Iyas binti ‘Auf bin Mihlam Asy Syaibaniy. Saat tiba
    penyerahan pengantin. Ibu Ummu Iyas yaitu Umamah binti Al harits
    menasehati secara sembunyi, menerangkan asas-asas kehidupan rumah tangga
    dan kewajibannya terhadap suami. Ibunya berkata: “Hai puteriku,
    sesungguhnya wasiat (nasehat) kalau kamu tinggalkan karena kelebihan
    adab, tentu kamu tinggalkan semuanya. Akan tetapi wasiat adalah
    pengingat orang yang lalai dan pembantu orang yang berakal. Kalau
    sekiranya ada wanita yang merasa tidak perlu dengan suami karena sudah
    cukup kedua orang tuanya dan butuhnya orang tua kepada puterinya, tentu
    kamu menjadi wanita yang paling tidak butuh lelaki. Akan tetapi wanita
    diciptakan untuk lelaki, dan karena mereka diciptakan lelaki. Hai
    puteriku, sesungguhnya kamu jika meninggalkan udara tempat kamu keluar
    darinya, kamu tinggalkan sarang yang awalnya kamu masuk ke situ menuju
    sarang yang kamu tidak kenal, kawan yang belum dekat, orang itu pun
    menjadi pengawas dan raja terhadap miliknya yang diwakilkan kepadamu,
    maka jadilah kamu budak, niscaya ia akan menjadi budak juga bagimu.
    Jagalah untuknya sepuluh hal, niscaya ia akan memiliki simpanan untukmu:


    Pertama dan kedua adalah tunduk dengan sikap qana’ah, mendengar dan menta’ati.


    Ketiga dan keempat adalah
    telitilah tempat jatuh penglihatan dan penciumannya, jangan sampai
    matanya jatuh melihatmu dalam keadaan buruk, dan janganlah ia mencium
    wangi tidak sedap darimu.


    Kelima dan keenamnya adalah
    perhatikanlah waktu tidur dan makannya, jika sangat lapar dapat membuat
    suasananya panas dan jika kurang tidur dapat membuatnya marah.


    Ketujuh dan kedelapan adalah
    menjaga hartanya, memperhatikan pembantunya dan anak-anaknya, dan
    penopang dalam masalah harta adalah perkiraan yang tepat, sedangkan
    dalam hal anak adalah mengurus sebaik-baiknya.


    Kesembilan dan kesupuluh adalah
    jangan mendurhakai perintahnya, jangan menyebarkan rahasianya. Karena
    ketika kamu menyalahi perintahnya dadahnya panas, dan jika kamu sebarkan
    rahasianya bisa-bisa ia mengkhianatimu. Dan jauhilah bergembira di
    hadapannya kala ia sedih atau sedih di hadapannya kala ia seang.”


    Adab di malam pertama


    Adab-adab di malam pertama[16] dan adab ketika hendak berhubungan dengan isteri (Adabul firasy)


    1. Dianjurkan suami bersikap lembut kepada isterinya dan merayunya,
      misalnya dengan menghidangkan minuman atau semisalnya, berdasarkan
      hadits Asma’ binti Yazid, ia berkata:



    إني قيّنت عائشة لرسول الله صلى
    الله عليه وسلم ، ثم جئته فدعوته لجلوتها فجاء، فجلس إلى جنبها، فأتي بعُس
    لبن، فشرب، ثم ناولها النبي صلى الله عليه وسلم فخضت رأسها واستحيت، قالت
    أسماء: فانتهرتها، وقلت لها: خذي من يد النبي صلى الله عليه وسلم ، قالت:
    فأخذت، فشربت شيئاً، ثم قال لها النبي صلى الله عليه وسلم: أعطي تربك، قالت
    أسماء: فقلت: يا رسول الله! بل خذه فاشرب منه ثم ناولنيه من يدك، فأخذه
    فشرب منه ثم ناولنيه، قالت: فجلست ، ثم وضعته على ركبتي، ثم طفقت أديره
    وأتبعه بشفتي لأصيب منه شرب النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قال لنسوة عندي:
    ((ناوليهن ))، فقلن: لا نشتيه! فقال صلى الله عليه وسلم: ((لا تجمعن جوعاً
    وكذباً )) -أخرجه أحمد بإسنادين يقوي أحدهما الآخر. والحميدي في مسنده. وله
    شاهد في الطبراني-


    “Aku menghias ‘Aisyah untuk Rasulullah 
    shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku datang kepada Rasulullah 
    shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengundangnya untuk melihat lebih
    jelasnya, Beliau pun datang dan duduk di sampingnya, lalu dibawakanlah
    gelas besar berisi susu, Beliau pun meminumnya kemudian memberikan
    kepada Aisyah, namun Aisyah menundukkan kepalanya karena malu, maka aku
    pun membentaknya dan mengatakan, “Ambillah dari tangan Nabi shallallahu
    ‘alaihi wa sallam”, maka ia pun mengambilnya dan meminumnya, lalu Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Berikanlah kepada
    teman-temanmu”, aku (Asma’) balik menjawab, “Wahai Rasulullah, ambillah
    dan minumlah lalu berikanlah kepadaku dari tanganmu”, maka Beliau
    mengambilnya dan meminumnya kemudian memberikannya kepadaku. Asma’
    mengatakan, “lalu aku duduk, kemudian menaruh gelas tersebut di lututku,
    setelah itu aku balik dan menundukkan mulutku agar aku dapat meminum
    bekas Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata
    kepada kaum wanita yang berada di dekatku, “Ambillah”, mereka menjawab,
    “Tidak, kami tidak suka”, maka Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda, “Janganlah kalian gabung antara lapar dan dusta.”
    (Diriwayatkan oleh Ahmad dengan dua isnad yang salah satunya menguatkan
    yang lain, juga diriwayatkan oleh Al Humaidiy dalam Musnadnya, dan
    hadits ini memiliki syahid dalam riwayat Thabrani)


    1. Dianjurkan juga suami menaruh tangannya di bagian depan kepalanya
      (ubun-ubunnya), lalu mengucapkan nama Allah dan mendo’akan keberkahan
      untuknya serta mengucapkan do’a berikut:



    اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
    مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ
    شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ


    “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta
    kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan dia di atasnya,
    aku juga berlindung dari keburukannya dan keburukan yang Engkau ciptakan
    dia di atasnya.”


    Hal ini berdasarkan hadits berikut:


    إذا تزوج أحدكم امرأة، أو اشترى
    خادماً، [فليأخذ بناصيتها] [وليسم الله عز وجل]، [وليدع بالبركة]، وليقل
    اللهم إني أسألك من خيرها وخير ما جبلتها عليه، وأعوذ بك من شرّها وشر ما
    جبلتها عليه. [وإذا اشترى بعيراً فليأخذ بذروه سنامه، وليقل مثل ذلك]


    “Apabila salah seorang di antara kamu
    menikahi wanita atau membeli pembantu, maka peganglah rambut depan
    kepalanya dan ucaplah nama Allah Azza wa Jalla, do’akanlah keberkahan
    untuknya serta ucapkanlah, “Allahumma…(sampai) ’alaih”, demikian juga
    bila membeli unta, maka peganglah punuknya dan ucapkanlah sama seperti
    itu.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)


    1. Dianjurkan juga suami dan isteri melakukan shalat dua rak’at, karena
      ada atsar (riwayat) dari salaf melakukan itu. Atsarnya adalah sbb:



    1- عن أبي سعيد مولى أبي أسيد
    قال: ((تزوجت وأنا مملوك، فدعوت نفراً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
    فيهم ابن مسعود وأبو ذر وحذيفة، قال: وأقيمت الصلاة، قال: فذهب أبو ذر
    ليتقدم، فقالوا: إليك! قال: أو كذلك؟ قالوا: نعم، قال: فتقدمت بهم وأنا عبد
    مملوك، وعلموني فقالوا: ((إذا دخل عليك أهلك فصل ركعتين، ثم سل الله من
    خير ما دخل عليك، وتعوذ به من شره، ثم شأنك وشأن أهلك ))


    1. Dari Abu Sa’id maula Abu Usaid ia
    berkata: “Aku menikah ketika budak, aku mengundang beberapa orang
    sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka Ibnu
    Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah, iqamat pun dikumandangkan, maka Abu Dzar
    maju ke depan, namun yang lain mengatakan, “Kamu saja (yakni
    kepadaku)!”, maka katanya, “Apa memang demikian?” para sahabat menjawab,
    “Ya”, maka aku pun maju sedangkan ketika itu aku adalah seorang budak,
    mereka juga mengajariku dengan mengatakan, “Apabila isteri datang
    kepadamu, lakukanlah shalat dua rak’at, mintalah kepada Allah kebaikan
    ketika sudah bersama, dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya,
    kemudian setelah itu terserah kepadamu dan kepada isterimu.” (Sanadnya
    shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaaq)


    2-عن شقيق قال: ((جاء رجل يقال
    له: أبو حريز، فقال: إني تزوجت جارية شابة [بكراً]، وإني أخاف أن تفركني،
    فقال عبد الله ( يعني ابن مسعود ): ((إن الإلف من الله، والفرك من الشيطان،
    يريد أن يكرّه إليكم ما أحل الله لكم؛ فإذا أتتك فأمرها أن تصلي وراءك
    ركعتين )) زاد في رواية أخرى عن ابن مسعود: ((وقل: اللهم بارك لي في أهلي،
    وبارك لهم فيّ، اللهم اجمع بيننا ما جمعت بخير؛ وفرق بيننا إذا فرقت إلى
    خير ))


    2. Dari Syaqiq, ia berkata: Ada
    seseorang yang datang bernama Abu Huraiz, ia mengatakan, “Sesungguhnya
    saya menikahi wanita perawan yang masih muda, saya khawatir ia benci
    kepadaku”, lalu Abdullah (yakni Ibnu Mas’ud) berkata, “Sesungguhnya
    kecintaan datang dari Allah dan kebencian datang dari syetan dengan
    maksud agar membuat kamu benci kepada orang yang telah Allah halalkan.
    Oleh karena itu, bila isteri datang kepadamu, maka suruhlah melakukan
    shalat dua rak’at di belakangmu.” Dalam riwayat lain dari Ibnu Mas’ud
    ada tambahan, “Dan ucapkanlah:


    اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِي
    أَهْلِي، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا
    جَمَعْتَ بِخَيْرٍ؛ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ


    “Ya Allah, berikanlah keberkahan untukku
    pada keluargaku, untuk mereka padaku. Ya Allah kumpulkanlah kami ini
    dengan kebaikan sesuai yang Engkau kumpulkan dan pisahkanlah kami kepada
    kebaikan bila Engkau pisahkan.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan
    sanadnya shahih, Thabrani juga meriwayatkan dengan dua sanad yang
    shahih)


    1. Ketika hendak berjima’ ucapkanlah do’a berikut:



    بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا


    “Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan dari rizki yang Engkau anugrahkan.”


    Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –bagi orang yang mengucapkan do’a di atas-:


    فإن قضى الله بينما ولداً؛ لم يضره الشيطان أبداً


    “Maka jika Allah menaqdirkan anak
    untuknya, niscaya syetan tidak dapat menguasainya selama-lamanya.” (HR.
    Bukhari dan para pemilik kitab Sunan selain Nasa’i)


    1. Cara menggauli isteri bisa dari depan, dari samping dan dari belakang, namun tetap dimasukkan ke kubul isteri (bukan dubur)[17]. Hal ini berdasarkan hadits berikut bahwa Jabir mengatakan:



    كانت اليهود تقول إذا أتى الرجل
    امرأته من دبرها في قبلها كان الولد أحول! فنزلت: ﴿نساؤكم حرثٌ لكم فأتوا
    حرثكم أنّى شئتم﴾ [فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مقبلة ومدبرة إذا
    كان ذلك في الفرج]


    “Orang-orang Yahudi mengatakan “Apabila
    seseorang mendatangi isterinya lewat belakang meskipun di qubulnya, maka
    nantinya anaknya bermata juling”, lalu turunlah ayat “Isteri-isteri kamu adalah ladang bagi kamu, maka datangilah dari mana saja yang kamu mau.” (Al Baqarah: 223)


    lalu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda, “Bisa dari depan maupun dari belakang asalkan tetap di
    farji (kemaluannya).” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i)


    1. Dan haram bagi suami menggauli isteri ketika haidh dan menggaulinya
      di duburnya, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



    من أتى حائضاً، أو امرأة في دبرها، أو كاهناً فصدقه بما يقول؛ فقد كفر بما أُنزل على محمد


    “Barangsiapa yang menggauli isterinya
    ketika haidh atau di duburnya, atau mendatangi dukun dan membenarkan
    kata-katanya, maka sungguh ia telah kufur kepada Al Qur’an yang
    diturunkan kepada Muhammad.”(Diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunan
    selain Nasa’i)


    Imam Nawawi berkata, “Kalau seorang
    muslim meyakini halal menjima’i wanita yang haidh di farjinya maka ia
    menjadi kafir murtad. Dan kalau seseorang melakukannya namun tidak
    beranggapan bahwa hal itu halal (maka ada beberapa hukum): Kalau ia lupa
    atau tidak tahu adanya haidh atau tidak tahu tentang keharamannya atau
    dipaksa maka ia tidak berdosa dan tidak kena kaffarat, namun bila ia
    menjima’i dengan sengaja sedangkan ia mengetahui adanya haidh dan
    mengetahui hukumnya tetapi tetap melakukannya maka ia telah melakukan
    dosa besar, Imam Syaafi’i menjelaskan bahwa itu dosa besar, ia wajib
    bertaubat…dst”.


    Kaffaratnya adalah dengan bersedekah 1
    dinar atau ½ dinar (1 dinar adalah 4 ½ gram emas). Berdasarkan hadits
    Ibnu Abbas berikut, bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam
    bersabda tentang orang yang menggauli isterinya ketika haidh:


    ((يتصدق بدينار أو نصف دينار ))


    “Ia bersedekah satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Para pemilik kitab Sunan, Thabrani, Darimi dan Hakim)


    Ibnu Abbas mengatakan, “Bila ia
    menggauli ketika baru haidh maka ia bersedekah satu dinar dan bila
    menggauli ketika di akhir haidhnya maka ia bersedekah ½ dinar.”


    Catatan:


    -          Jumhur ulama berpendapat
    bahwa bila wanita telah berhenti haidh maka belum halal dijima’i sampai
    ia mandi atau tayammum bila memenuhi syarat tayammum (seperti tidak ada
    air dsb), namun menurut ulama yang lain tidak apa-apa menggaulinya bila
    telah berhenti haidhnya dan telah dicuci bagian yang terkena darah haidh
    meskipun belum mandi.


    -          Dibolehkan bersenang-senang
    dengan isteri yang sedang haidh selama tidak menjima’inya. Rasulullah 
    shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    اصنعوا كل شيء إلا النكاح


                               “Lakukanlah semuanya selain jima’.” (HR. Muslim)


    Salah seorang isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,


    إن النبي صلى الله عليه وسلم : ((كان إذا أراد من الحائض شيئاً ألقى على فرجها ثوباً[ ثم صنع ما أراد]  ))


    “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi
    wa sallam bila hendak mendatangi isteri yang haidh, menaruh di farjinya
    kain, lalu berbuat yang Beliau mau.” (HR. Abu Dawud, dan sanadnya shahih
    sesuai syarat Muslim)


    1. Hendaknya suami dan isteri meniatkan di hatinya bahwa hubungan intim
      yang dilakukannya itu untuk menjaga dirinya dari perbuatan haram,
      berdasarkan hadits berikut:



    عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا
    مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِىِّ صلى
    الله عليه وسلم يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ
    يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ
    بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ . قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
    مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ
    صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ
    وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى
    بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى
    أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ
    لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ
    إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ » .  (مسلم)


    Dari Abu Dzar, bahwa beberapa orang
    sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa
    banyak pahala, mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa
    sebagaimana kami berpuasa dan mengeluarkan sedekah harta mereka”, Beliau
    pun mengatakan, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa
    kalian sedekahkan, sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap
    takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil
    (ucapan “Laailaahaillallah”) adalah sedekah, amr ma’ruf adalah sedekah,
    nahy mungkar juga sedekah, bahkan menggauli isterimu juga sedekah”, para
    sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah bila salah salah seorang di
    antara kami memenuhi syahwatnya mendapatkan pahala?”, Beliau menjawab,
    “Bagaimana menurutmu, jika kamu meletakkan di tempat yang haram,
    bukankah akan dikenakan dosa? Demikian sebaliknya, bila diletakkan di
    tempat yang halal maka akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)


    1. Jika suami hendak mengulangi jima’nya dianjurkan berwudhu’, berdasarkan hadits berikut:



    ((إذا أتى أحدكم أهله، ثم أراد أن يعود، فليتوضأ [بينهما وضوءاً] (وفي رواية: وضوءه للصلاة ) [فإنه أنشط في العود]  ))


    “Apabila salah seorang di antara kamu
    mendatangi isterinya, lalu ia ingin mengulangi (jima’nya), maka
    hendaklah ia berwudhu’ [di tengah-tengahnya] -dalam sebuah riwayat
    disebutkan “Seperti wudhu’nya ketika hendak shalat”- [karena hal itu
    lebih membuat semangat dalam mengulangi].” (HR. Muslim, Ibnu Abi
    Syaibah, Ahmad dan Abu Nu’aim, tambahan di atas adalah tambahannya)


    bisa juga dengan melakukan mandi, berdasarkan hadits Abu Raafi’ berikut:


    أن النبي صلى الله عليه وسلم
    طاف ذات يوم على نسائه، يغتسل عند هذه وعند هذه، قال: فقلت له : يا رسول
    الله! ألا تجعله غسلاً واحداً؟ قال: ((هذا أزكى وأطيب وأطهر )).


    “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
    sallam suatu hari mendatangi secara bergantian isteri-isterinya, mandi
    dari sini dan dari sini, aku (Abu Raafi’) mengatakan, “Wahai Rasulullah,
    mengapa tidak sekali saja”, Beliau menjawab, “Ini lebih bersih, nikmat
    dan lebih suci.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Thabrani)


    1. Setelah berhubungan, suami dan isteri boleh mandi bersama, berdasarkan hadits Aisyah berikut:



    ((كنت اغتسل أنا ورسول الله صلى
    الله عليه وسلم من إناء بيني وبينه واحد [تختلف أيدينا فيه]، فيبادرني حتى
    أقول : دع لي، دع لي، قالت: هما جنبان ))


    “Aku mandi bersama Rasulullah dari satu
    wadah, tangan-tangan kami saling bergantian, terkadang Beliau
    mendahuluiku sampai aku mengatakan, “Berilah kesempatan kepadaku,
    berilah kesempatan kepadaku”, ketika itu keduanya junub.” (HR. Bukhari,
    Muslim dan Abu ‘Uwaanah)


    1. Bila suami-isteri ingin tidur sehabis melakukan jima’, dianjurkan berwudhu’ terlebih dahulu, berdasarkan hadits Aisyah berikut:



    ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن [يأكل أو] ينام وهو جنب غسل فرجه، وتوضأ وضوءه للصلاة ))


    “Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bila hendak makan atau tidur pada saat junub, mencuci farjinya
    dan berwudhu’ seperti wudhu’nya ketika shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan
    Abu ‘Uwaanah)


    Dalam hadits Ammar bin Yaasir disebutkan bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


    ((ثلاثة لا تقربهم الملائكة: جيفة الكافر، والمتضمخ بالخلوق، والجنب إلا أن يتوضأ ))


    “Ada tiga orang yang tidak didekati oleh
    malaikat; bangkai orang kafir, laki-laki yang memakai wewangian khaluq
    (wewangian campuran dari za’faran dan lainnya)[18]
    dan orang yang junub, kecuali bila sebelumnya ia berwudhu’.” (Hadits
    hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Thahawi dan Baihaqi)


    Wudhu’ bagi yang junub ketika hendak
    tidur hukumnya sunat mu’akkadah (yang ditekankan), karena dalam hadits
    Aisyah yang lain disebutkan,


    ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينام وهو جنب من غير أن يمس ماءً [حتى يقوم بعد ذلك فيغتسل]  ))


    “Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam pernah tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air sebelumnya,
    lalu bangun kemudian mandi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan para pemilik
    kitab Sunan selain Nasa’i)


    Boleh juga sesekali seseorang mengganti wudhu’ dengan tayammum, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut:


    ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أجنب فأراد أن ينام توضأ، أو تيمم ))


    “Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bila junub, lalu ingin tidur, Beliau berwudhu atau bertayammum.”
    (HR. Baihaqi, Al Haafizh dalam Al Fat-h mengatakan, “Isnadnya hasan”)


    kalaupun ia mandi sebelum tidur, maka hal itu lebih utama, berdasarkan hadits Abdullah bin Qais berikut:


    ((سألت عائشة قلت: كيف كان صلى
    الله عليه وسلم يصنع في الجنابة؟ أكان يغتسل قبل أن ينام، أم ينام قبل أن
    يغتسل؟ قالت: كل ذلك قد كان يفعل، ربما اغتسل فنام، وربما توضأ فنام، قلت:
    الحمد لله الذي جعل في الأمر سعة ))


    “Aku bertanya kepada Aisyah, “Apa yang
    Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika junub, apakah mandi
    sebelum tidur atau tidur sebelum mandi?” Aisyah menjawab, “Semuanya
    pernah Beliiau lakukan, terkadang Beliau mandi lalu tidur dan terkadang
    Beliau wudhu’ lalu tidur”, aku pun mengatakan, “Segala puji bagi Allah
    yang menjadikan masalahnya mudah.” (HR. Muslim, Abu ‘Uwaanah dan Ahmad)


    1. Seorang suami boleh melakukan ‘azl (mencabut farjinya dan
      menumpahkan mani tidak di dalam kemaluan isteri), berdasarkan riwayat
      berikut, bahwa Jabir mengatakan:



    ((كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبلغ ذلك نبي الله صلى الله عليه وسلم، فلم ينهنا ))


    “Kami melakukan ‘azl di zaman
    Rasulullah, lalu sampailah berita itu kepada Nabi Allah shallallahu
    ‘alaihi wa sallam, namun Beliau tidak melarangnya.” (HR. Bukhari,
    Muslim, Nasa’i dan Tirmidzi)


    namun lebih utama tidak melakukannya, karena:


    1. Hal itu bisa memadharratkan wanita, karena tidak dapat menikmati kelezatan jima’.

    2. Hilang sebagian tujuan nikah, yaitu memperbanyak anak.

    3. Seorang suami boleh melakukan Ghiilah (yakni menjima’i isteri ketika
      isteri masih menyusui anaknya, atau suami ingin isterinya hamil padahal
      isterinya sedang menyusui), dalil tentang bolehnya adalah hadits
      berikut:



    عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ
    الأَسَدِيَّةِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    يَقُولُ « لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ
    أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ »
    .


    Dari Judaamah binti Wahb Al Asadiyyah
    bahwa ia mendengar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    “Sungguh aku ingin melarang ghiilah, aku pun teringat bahwa bangsa
    Romawi dan Persia melakukan hal itu, namun ternyata tidak membahayakan
    anaknya.” (HR. Muslim)


    1. Suami dan isteri diharamkan membuka rahasia hubungan intim (jima’).

    2. Pada pagi hari kedua suami dan isteri dianjurkan pergi ke rumah
      kerabatnya, mengucapkan salam dan berdo’a untuk mereka, berdasarkan
      hadits Anas radhiyallahu ‘anhu berikut, ia mengatakan:



    ((أولم رسول الله صلى الله عليه
    وسلم إذ بنى بزينب، فأشبع المسلمين خبزاً ولحماً، ثم خرج إلى أمهات
    المؤمنين فسلم عليهن، ودعا لهن، وسلمن عليه ودعون له، فكان يفعل ذلك صبيحة
    بنائه ))


    “Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
    sallam mengadakan walimah ketika sudah menikah dengan Zainab, Beliau
    mengenyangkan kaum muslimin dengan memberikan makanan roti dan daging,
    lalu Beliau keluar ke isteri-isterinya Ummahaatul mukminin, mengucapkan
    salam dan mendo’akan mereka, mereka pun mengucapkan salam dan mendo’akan
    Beliau, hal itu Beliau lakukan pada pagi harinya setelah menikah.” (HR.
    Hakim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)


    1. Suami wajib membuatkan kamar mandi di dalam rumahnya, jangan sampai
      membiarkan isterinya mandi di tempat pemandian umum Berdasarkan sabda
      Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:



    ((من كان يؤمن بالله واليوم
    الآخر فلا يدخل حليلته الحمام، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يدخل
    الحمام إلا بمئزر، ومن كان يؤممن بالله واليوم الآخر فلا يجلس على مائدة
    يدار عليها الخمر ))


    “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
    dan hari akhir, maka janganlah ia mengizinkan isterinya masuk ke tempat
    pemandian umum. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
    maka janganlah seorang laki-laki mendatangi kamar mandi umum kecuali
    dengan memakai kain. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
    akhir, maka janganlah ia duduk di majlis yang diedarkan minuman keras di
    situ.” (HR. Hakim, Tirmidzi dan Nasa’i)


    juga berdasarkan hadits Ummud dardaa’ berikut, ia mengatakan:


    خرجت من الحمام، فلقيني رسول
    الله صلى الله عليه وسلم، فقال: من أين يا أم الدرداء؟ قالت: من الحمام،
    فقال: ((والذي نفسي بيده، ما من أمرأة تضع ثيابها في غير بيت أحد من
    أمهاتها، إلا وهي هاتكة كل ستر بينها وبين الرحمن ))


    “Aku keluar dari tempat pemandian umum,
    lalu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku dan
    bertanya, “Dari mana kamu, hai Ummuds Dardaa’?” Ia menjawab, “dari kamar
    mandi”, maka Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi
    Allah, yang diriku di Tangan-Nya, tidak ada seorang wanita pun yang
    melepaskan pakaiannya di luar rumah salah satu keluarganya, kecuali ia
    sama saja telah membuka tirai antara dia dengan Allah Ar Rahman.” (HR.
    Ahmad dan Ad Duulaabiy dengan dua isnad yang salah satunya shahih)




    [1] Riwayat ini adalah dha’if jiddan (sangat dha’if).


    [2] Insya Allah akan dijelaskan nanti.


    [3] Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan ketika Aisyah berumur tujuh tahun.


    [4] Kami belum mengetahui shahih atau dha’if –wallahu a’lam-.


    [5] Contoh secara sharih adalah mengatakan, “Saya ingin menikahi anda.”


    [6]
    Contoh tidak sharih adalah mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” dan
    bagi wanita boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh
    dengan tashrih (terang-terangan).


    [7] Yakni yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah.


    [8]
    Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam
    ‘iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita
    yang dalam ‘iddah Talak raji’i tidak boleh dipinang walaupun dengan
    sindiran.


    [9] Perkataan sindiran yang baik.


    [10]
    Wanita yang masih menjalani masa iddah thalaq raj’i tidak dibolehkan
    meminangnya baik secara tashrih maupun ta’ridh, karena ia masih bestatus
    sebagai isteri orang lain.


    [11] Saudaranya di sini adalah sesama muslim. Sehingga jika non muslim yang melamar maka tidak haram melamar wanita itu.


    [12]
    Khitbah artinya permintaan untuk menikahi wanita dengan sarana yang
    sudah dikenal di masyarakat, bila sudah terjadi kecocokan maka ini
    berarti tinggal menikahnya kapan, dan si wanita masih tetap ajnabiy
    (bukan mahram) sampai dilakukan ‘akad nikah, bagi laki-laki lain tidak
    boleh melamar wanita itu karena sudah dilamarnya.


    [13]Ada
    yang mengatakan bahwa mata orang-orang Anshar itu kecil (sipit) dan ada
    yang mengatakan bahwa pandangan mereka lemah mudah mengalirkan air
    mata.


    [14] Lihat A’laamul Muwaqqi’iin Juz. 2 hal. 50


    [15] Calon suami bisa mewakilkan kepada orang lain ketika melakukan qabuul.


    [16] Dalam masalah ini kami banyak merujuk kepada kitab Adabuz Zifaf karya Syaikh Al Albani rahimahullah.


    [17] Lihat juga pembahasan yang cukup di bagian “Suami mendatangi Istri”.


    [18] Ini adalah wewangian kaum wanita.



     Sumber http://zainalabidinsyamsuddin.com/


  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent