• Mengapa Terjerumus Dalam Ibadah Kepada Selain Allah?

    Bahasan Tauhid









    MENGAPA TERJERUMUS DALAM IBADAH KEPADA SELAIN ALLÂH?



    Oleh

    Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin




    Tidak seorangpun Muslim yang mengingkari bahwa beribadah kepada selain
    Allâh adalah kufur dan syirik akbar. Tetapi mengapa sebagian kaum
    Muslimin terjerumus ke dalam kemusyrikan ini? Ternyata terdapat
    masalah-masalah rancu yang melilit pemahaman sebagian kaum Muslimin,
    sehingga tanpa disadari mereka terperangkap ke dalamnya.



    Ada beberapa sebab yang mengakibatkan rancunya masalah-masalah itu,
    mudah-mudahan pemaparan yang singkat ini, dengan taufiq Allâh, akan
    membuka hati kaum Muslimin untuk lebih menjaga keutuhan tauhidnya dan
    menjauhi segala wasilah syirik. Beberapa sebab itu antara lain berupa
    kesalahan dalam hal-hal berikut.





    PENGERTIAN BERHALA

    Menyembah atau beribadah kepada berhala, jelas merupakan kekafiran. Jika
    itu dilakukan bersamaan dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla ,
    berarti itu adalah kemusyrikan, syirik akbar. Banyak sekali nash yang
    menegaskan supaya orang di zaman ini atau zaman sebelumnya, meninggalkan
    penyembahan kepada sesembahan-sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla
    itu. Di antaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :



    وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا



    Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allâh, maka janganlah kamu
    menyembah apapun selain Allâh di dalamnya. [al-Jin/72:18].



    Ketika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh 'Abdullâh
    bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu tentang dosa apakah yang paling besar,
    beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:



    أَنْ تَجْعَلَ للهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ. رواه البخاري ومسلم



    Apabila engkau menjadikan selain Allâh sebagai tandinganNya yang
    disembah, padahal Dialah yang telah menciptakan engkau. [HR Bukhârî dan
    Muslim][1].



    Namun ada sebagian kaum Muslimin yang keliru memahami. Menurut anggapan
    mereka, berhala hanyalah patung, kayu, batu, pohon, serta tempat-tempat
    keramat yang biasa disembah oleh orang-orang Hindu, Budha dan sejenisnya
    yang bukan beragama Islam. Sedangkan kuburun orang-orang shalih yang
    dipuja-puja atau yang biasa dikunjungi oleh sebagian kaum Muslimin untuk
    mencari wasilah mendapatkan berkah, tidak dianggap sebagai berhala.
    Maka ketika sebagian kaum Muslimin berbondong-bondong ngalap berkah dari
    berbagai penjuru daerah ke tempat-tempat yang dianggap sakral di
    kuburan orang-orang shalih untuk memohon berkah kepada penghuni kuburan
    atau mencari syafa'at, hal itu tidak dianggap sebagai penyimpangan dalam
    peribadatan dan bukan peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla.
    Bahkan justeru dianggap jenis peribadatan kepada Allâh Azza wa Jalla
    yang utama. Ini jelas batil.



    Karena fakta inilah, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    menegaskan larangannya agar tidak menjadikan kuburannya sebagai berhala.
    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



    اَللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا...الحديث، رواه أحمد



    Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. [HR Ahmad
    dalam al-Musnad. Syaikh Ahmad Muhammad Syâkir menyebutkan, isnadnya
    Shahîh][2].



    Hadits ini menunjukkan bahwa jika kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam disembah, tentu akan menjadi berhala. Akan tetapi Allâh Azza wa
    Jalla menjaganya hingga manusia terhalang untuk menyembahnya [3]. Pada
    hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan
    larangannya agar tidak menjadikan kuburannya sebagai lahan perayaan
    karena hal itu akan menjadi wasilah menuju kemusyrikan, menuju
    pemberhalaan terhadap kuburan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    bersabda:



    لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَ لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِي عِيْدًا. رواه أبو داود



    Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu menjadi (seperti) kuburan, dan
    janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan. [HR Abu
    Dawud, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani] [4].



    Kesimpulannya, berhala adalah segala sesuatu yang dijadikan sesembahan
    selain Allâh Azza wa Jalla , baik berupa kuburan atau benda-benda
    keramat yang ada di dalamnya [5], termasuk makhluk halus atau benda apa
    saja yang menjadi tumpuan harapan atau tumpuan ngalap berkah. Itulah
    berhala. Wallâhu al-Musta'ân.



    PENGERTIAN IBADAH

    Pengertian Ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla juga banyak disalahfahami
    oleh banyak umat Islam. Sebagian di antara mereka memiliki asumsi bahwa
    ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala terbatas pada amaliah lahiriyah
    shalat, puasa, haji, zakat dan amaliah-amaliah lahiriyah lainnya saja.
    Di sisi lain ada yang menganggap bahwa ziarah kubur para wali atau
    orang-orang shalih pada hari-hari tertentu, bahkan menyengaja melakukan
    perjalan jauh (syaddu ar-Rihâl) ke kuburan-kuburan itu merupakan ibadah
    kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang sangat utama.



    Pada saat yang sama, sikap mengagungkan, cinta, tunduk dan merendahkan
    diri kepada tempat-tempat sakral, seperti kepada kuburan orang-orang
    shalih, petilasan-petilasan, atau bahkan masjid-masjid kuno yang
    dikeramatkan; oleh sebagian kaum Muslimin justeru tidak dianggap sebagai
    peribadatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Padahal hakikat ibadah
    pada prinsipnya adalah sikap merendahkan diri dengan bertumpu pada cinta
    dan pengagungan kepada yang diibadahi.[6]



    Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, ibadah menghimpun dua
    pokok; cinta yang setinggi-tingginya dan sikap merendehkan diri serta
    tunduk yang setunduk-tunduknya. Siapa saja yang engkau cintai, tetapi
    engkau tidak tunduk kepadanya, maka engkau bukan penghamba terhadapnya.
    Begitu pula sebaliknya. Siapa saja yang engkau tunduk kepadanya, tetapi
    tidak menyintainya, engkaupun bukan penghamba terhadapnya. Sampai engkau
    betul-betul menyintainya dan betul-betul tunduk serta merendahan diri
    kepadanya[7]



    Apabila seseorang melaksanakan kewajiban atau melakukan amaliah
    lahiriyah, didorong oleh sikap merendahkan diri yang didasari kecintaan
    dan sekaligus pengagungan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka itu adalah
    ibadah yang sebenarnya. Salah satu contohnya terkait dengan sabda
    Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
    مِنْ ذَنْبِهِ و مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ
    غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه مسلم



    Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan karena
    mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan dosanya yang telah berlalu
    dan barangsiapa yang mendirikan shalat malam pada malam lailatu qadar
    karena iman dan karena mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan
    dosanya yang telah berlalu. [HR Muslim] [8].



    Juga sabda beliau pada riwayat lain:



    مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاباَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه مسلم



    Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman
    dan karena mencari pahala Allâh, maka akan diampunkan dosanya yang telah
    berlalu. [HR Muslim][9].



    Maksudnya, puasa dan shalat malam seseorang akan berfungsi benar sebagai
    ibadah yang menghapus dosa jika puasa itu dilandasi oleh keimanan dan
    dalam rangka mencari pahala Allâh. Mafhum dari penjelasan di atas, jika
    seseorang bersikap merendahkan diri dan tunduk dengan dilandasi rasa
    cinta dan pengagungan, penuh khidmat, penuh rasa harap dan cemas, kepada
    benda-benda atau tempat-tempat yang disakralkan seperti kuburan para
    wali, petilasan dan sejenisnya, berarti itu termasuk peribadatan kepada
    selain Allâh. Dan hukumnya jelas, termasuk syirik akbar. Wal 'Iyâdzu
    Billâh.



    MENGIKUTI NENEK MOYANG

    Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam adalah
    taklid kepada tradisi nenek moyang yang menyimpang. Dan ini sebenarnya
    merupakan perilaku dan kebiasaan kaum musyrikin semenjak zaman dahulu.
    Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan perihal mereka:



    وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ
    نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
    لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ



    Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
    Allâh", mereka menjawab: "(Tidak) kami hanya akan mengikuti apa yang
    kami dapati pada nenek moyang kami biasa melakukannya". Padahal nenek
    moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan tidak mendapat petunjuk.
    [al-Baqarah/2:170].



    Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan ayat di atas: Apabila
    dikatakan kepada orang-orang kafir dari kalangan kaum musyrikin itu:
    "Ikutilah wahyu yang diturunkan Allâh kepada RasulNya, dan tinggalkan
    kesesatan serta kebodohan yang kalian lakukan", mereka akan menjawab:
    "(Tidak) kami hanya akan mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek
    moyang kami", yaitu penyembahan kepada patung-patung dan
    berhala-berhala. Maka Allâh pun berfirman mengingkari sikap mereka
    (dengan firmanNya pada akhir ayat).[10]



    Demikian pula firman Allâh pada ayat lain:



    وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ
    نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ
    يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ



    Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
    Allâh", mereka menjawab: "(Tidak) tetapi kami hanya akan mengikuti
    kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami". Apakah mereka (akan
    mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan menyeru mereka
    ke dalam azab api neraka yang menyala-nyala? [Luqmân/31:21].



    SALAH PERSEPSI TENTANG WASILAH

    Merasa bahwa diri penuh dosa, tidak suci dari kesalahan, banyak memiliki
    kotoran hati dan banyak melakukan kemaksiatan, adalah perasaan positif
    yang akan dapat mendorong seseorang semakin taat dan bertakwa kepada
    Allâh serta semakin menjauhi larangan-laranganNya. Tetapi jika seseorang
    merasa tidak layak untuk langsung memohon kepada Allâh karena merasa
    dirinya terlalu kotor hingga memerlukan wasilah dari orang shalih yang
    telah meninggal dunia supaya bisa sampai kepada Allâh, maka ini adalah
    suatu kesalahan fatal.



    Apalagi jika untuk membenarkan sikap ini, ia berargumen bahwa "menghadap
    presiden saja perlu wasilah yang dapat memberikan syafa'at", jelas ia
    semakin terjerumus dalam kesalahan yang lebih fatal lagi. Yaitu
    menyerupakan Allâh dengan seorang presiden. Mengapa? Sebab sadar atau
    tidak sadar, ia telah menganggap bahwa Allâh seperti seorang presiden.
    Untuk menghadap Allâh, memerlukan wasilah seperti halnya menghadap
    presiden. Padahal presiden banyak memiliki kelemahan, di antaranya tidak
    mengetahui persis kebutuhan setiap rakyatnya, sehingga ia memerlukan
    pembantu untuk menghubungkan dirinya dengan rakyatnya. Sedangkan Allâh
    Azza wa Jalla Maha Sempurna dan Maha mengetahui segala-galanya, tidak
    memerlukan satu pembantupun.



    Menyerupakan Allâh dengan makhlukNya adalah kufur. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



    فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ



    Maka janganlah kamu menjadikan makhluk-makhluk serupa dengan Allâh.
    Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.
    [an-Nahl/16:74].



    Pada ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk mengadakan sesuatu yang serupa dengan Allâh.[11]



    Kaum musyrikin Arab zaman dahulu juga menjadikan patung-patung yang
    menggambarkan orang-orang shalih yang telah meninggal dunia sebagai
    wasilah. Mereka menganggap hal ini serupa dengan menghadap para raja
    dunia yang memerlukan wasilah.[12] Dan ini adalah kebatilan.



    Kaum musyrikin menyatakan bahwa penyembahan mereka kepada para berhala
    hanyalah sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allâh dengan
    sedekat-dekatnya. Tetapi tindakan mereka itu tetap disebut penyekutuan
    terhadap Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman
    menceritakan tentang kilah kaum musyrikin penyembah berhala itu:



    مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ



    Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya. [ az-Zumar/39:3].



    Imam Ibnu Katsîr t dalam tafsirnya menjelaskan (artinya): Mereka
    menyembah patung-patung itu karena menganggap bahwa patung-patung itu
    menggambarkan para malaikat yang dekat hubungannya dengan Allâh, supaya
    patung-patung malaikat itu memberikan syafa'at kepada mereka di sisi
    Allâh.[13]



    Jadi itulah tindakan kaum musyrikin zaman dulu, membuat wasilah untuk
    mendekatkan diri kepada Allâh dengan sesuatu yang sebenarnya bukan
    wasilah. Dan mereka tetap disebut kaum musyrikin. Adapun pembahasan
    rinci tentang wasilah yang benar dan yang tidak benar, pernah dikupas di
    Majalah As-Sunnah pada edisi beberapa waktu yang lalu.



    Demikianlah beberapa sebab yang menjadikan sebagian kaum Muslimin
    terjerumus dalam kemusyrikan yang amat berbahaya. Beberapa sebab di atas
    hanya beberapa saja yang pokok. Sebenarnya masih ada beberapa sebab
    lain, seperti ketidakmengertian dan mengikuti hawa nafsu. Tetapi
    mudah-mudahan apa yang dikemukakan di atas cukup merangsang kesadaran
    umat Islam untuk memperbaiki pemahaman serta jalan hidupnya agar kelak
    pada hari akhirat dapat mempertanggungjawabkan segalanya di hadapan
    Allâh yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.



    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1435H/2014.
    Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
    Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

    _______

    Footnote

    [1]. Shahîh al-Bukhârî dalam Fathu al-Bâry VIII/163, Kitâb at-Tafsîr,
    Bâb III no. 4477 serta yang lainnya, dan Shahîh Muslim bi Syarhi
    an-Nawawî, tahqîq Khalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma'rifah, Beirut, Cet VII,
    1421 H/ 2000 M, II/266-267, no. 253.

    [2]. Musnad Imam Ahmad, Juz VII, Syarh & Ta'lîq: Ahmad Muhammad
    Syâkir, Dâr al-Hadîts, Kairo, cet. I 1416 H/1995 M, hal. 173, no. 7352,
    Musnad Abî Hurairah.

    [3]. Lihat Fathu al-Majîd Syarhu Kitab at-Tauhîd, Syaikh 'Abdur Rahmân
    bin Hasan Âlu asy-Syaikh, murâja'ah: Syaikh Bin Bâz, Maktabah Dâr
    as-Salâm & Dâr al-Faihâˈ, 1414 H/1993 M, Bâb Mâ Jâˈa Annal Ghuluw
    fish-Shâlihîn….hal. 212.

    [4]. Shahîh Sunan Abî Dâwûd, Maktabah al-Ma'ârif, Riyadh, cet. II dari terbitan terbaru, I/571, no. 2042

    [5]. Fathu al-Majîd Syarhu Kitab at-Tauhîd, op.cit. hal. 212

    [6]. Lihat Taqrîb at-Tadmuriyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih
    al-'Utsimîn, I'tinâˈ & takhrîj: Sayyid bin 'Abbâs bin 'Alî
    al-Julaimî, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M. hal. 113.

    [7]. Madârij as-Sâlikîn, Imam Ibnu al-Qayyim, Dâr Ihyâˈ at-Turâts al-'Arabîy, cet. II, 1421 H/2001 M, I/66

    [8]. Shahîh Muslim Bi Syarhi an-Nawawî, op.cit. VI/283, no. 1778

    [9]. Ibid, no. 1777

    [10]. Tafsîr Ibnu Katsir, ayat terkait, Juz I.

    [11]. Syarh al-'Aqîdah al-Wâsithiyyah, Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzân
    al-Fauzân, Maktabah al-Ma'ârif, Riyadh, cet VI, 1413 H/1993 M, hal. 73,
    sub judul no. 17.

    [12]. Ibid

    [13]. Tafsir Ibnu Katsîr, juz IV, Surat az-Zumar/39 ayat 3 dengan diringkas bahasanya.
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent