• Tuntunan Zakat Fithri





    TUNTUNAN ZAKAT FITHRI



    Oleh

    Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari




    Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla
    untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya
    bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua
    rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul
    Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.



    Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering
    melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan
    hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih
    menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita
    untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga
    pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin dalam
    menjalankan ibadah ini.



    MAKNA ZAKAT FITHRI



    Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat
    fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam
    hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah
    yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa
    Ramadhan.[1]



    HIKMAH ZAKAT FITHRI



    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :



    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
    عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ
    وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
    فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ
    صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ



    “Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang
    berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan
    bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id),
    maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya
    setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari
    shadaqah-shadaqah”.[2]



    HUKUM ZAKAT FITHRI



    Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan,
    kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan
    tidak shahih dan sharih (jelas).[3]



    Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang
    kewajiban zakat fithri ini. Beliau rahimahullah berkata,”Telah
    bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah
    fithri wajib [4]. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat
    fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.



    SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?



    Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu
    menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan (2)
    Mampu.



    Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak,
    laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah
    diwajibkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam



    عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
    اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ
    تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
    وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ
    بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ



    “Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
    satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada
    budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari
    kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu
    ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)” [5].



    Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
    membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
    Jalla berfirman:



    لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا



    “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[al Baqarah/2:286].

    Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
    Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
    dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
    malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
    kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:



    عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
    صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ
    فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي
    مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
    وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا
    الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ مَا
    يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ
    أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ-



    “Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
    meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka
    sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan
    di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para
    sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an
    Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu
    tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang
    mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
    tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan
    semalam” atau “semalam dan sehari”. [HR Abu Dawud, no. 1629. dishahihkan
    oleh Syaikh al Albani].[6]



    Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki
    nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan tempat
    tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :



    لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى



    “Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan”.[7]

    Tetapi pendapat ini lemah, karena:

    1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.

    2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta,
    seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi
    ukuran.

    3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita
    berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan
    zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah dijelaskan.
    Wallahu a’lam.[8]



    BAGAIMANA DENGAN JANIN?



    Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

    Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al
    Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri
    atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin,
    menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.[9]



    Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad
    bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang
    merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua,
    dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
    mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut
    ibunya”.[10]



    Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang
    nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri
    bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah
    ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah
    empat bulan”.

    Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi
    janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau
    mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang hal
    ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari
    Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah
    mereka”.[12]

    Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk
    membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam
    kandungan, wallahu a’lam.



    SUAMI MEMBAYAR ZAKAT FITHRI DARI DIRINYA DAN ORANG-ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA



    Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat
    fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib membayar
    zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung seluruh
    anggota keluarganya?[13]



    Pendapat Pertama.

    Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang dia
    tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil, bahwa
    suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia juga
    membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :



    عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ
    اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ
    الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ



    “Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari
    anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang
    kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835].[14]



    Pendapat Kedua.

    Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu
    Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang
    isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:



    1. Hadits Ibnu Umar :



    عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ
    اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ
    تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
    وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ



    “Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak
    satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada
    budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari
    kalangan umat Islam”. [HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].



    Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap
    orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga
    dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami
    ataupun belum bersuami.

    Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan “wanita”, tidak
    berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam
    hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
    sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya.
    Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin di dalam
    perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami
    membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.



    2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung orang lain. Allah berfirman:

    “Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [al An’aam/6 : 164].



    Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan
    orang-orang yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban
    (berdosa) akan memikul beban (dosa) orang lain.

    Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti seorang suami yang
    menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits yang
    memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
    dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari
    keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu
    a’lam.



    BENTUKNYA



    Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di
    daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis
    makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang
    paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.



    Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah
    dikeluarkan dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis
    gandum), sya’ir (sejenis gandum), atau tepung?”

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-Hamdulillah.
    Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai
    makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
    fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka
    mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok
    mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan
    hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup
    bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya? (Dalam
    permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya perselisihan, dan
    keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :



    Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.



    Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari
    jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan
    pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah
    yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam
    semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin,
    sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang biasa kamu
    berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-“.[15]



    UKURANNYA



    Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau
    anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang
    menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.



    عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا
    نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
    يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ
    طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ



    “Dari Abu Sa’id Radhiyalahu ‘anhu, dia berkata : “Kami dahulu di
    zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari fithri
    mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata,”Makanan kami dahulu
    adalah gandum, anggur kering, keju, dan kurma kering.” [HR Bukhari, no.
    1510.



    Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [16], apakah satu sha’
    seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah yang
    kedua, yaitu setengah sha’.



    قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ
    خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ
    الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ
    بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى
    كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ



    “Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
    sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’
    burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’
    kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap
    satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua “[17].



    Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud
    adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat, maka
    ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar
    ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan
    perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini,
    sebagai berikut:



    1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).

    2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).

    3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).



    Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Para ulama telah mencoba
    dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara
    sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr
    gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
    ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan
    menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh)
    menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].



    Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini
    selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
    -umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras
    sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.



    TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA



    Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok
    ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak
    boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
    dengan uang!



    Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak
    membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah
    membolehkannya”. [Syarah Muslim].

    Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah
    rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
    lupa” – Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu
    telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti
    pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna
    lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[18]



    Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Zakat fithri wajib
    dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak
    menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena,
    tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan
    walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].



    WAKTU MENGELUARKAN



    Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:



    1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan,
    atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat
    fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
    zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah,
    tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah
    berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar ‘Idul Fithri.[20]



    2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat
    fithri, yaitu fajar hari ‘Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]



    3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
    membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama bersepakat,
    bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak
    berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
    hadits :



    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
    عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ
    وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
    فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ
    صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ



    “Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk
    menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji,
    dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya
    sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan
    barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu
    shadaqah dari shadaqah-shadaqah”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah,
    no. 1827, dan lain-lain].

    Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat : [22]



    – Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : “Boleh maju setahun atau dua tahun”.

    – Malik rahimahullah berpendapat : “Tidak boleh maju”.

    – Syafi’iyah berpendapat : “Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan”.

    – Hanabilah : “Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id”.



    Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan
    perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan beliau adalah
    termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi
    Shallallahu ‘alaihi wa sallm.

    Nafi’ berkata:



    وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ
    يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
    يَوْمَيْنِ



    “Dan Ibnu ‘Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang
    menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri”.
    [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].



    YANG BERHAK MENERIMA



    Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.



    1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.

    Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.[23]



    2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.

    Asy Syaukani rahimahullah berkata,”Adapun tempat pembagian shadaqah
    fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa membayarnya sebelum shalat,
    maka itu merupakan zakat yang diterima,’ dan perkataan Ibnu Umar, bahwa
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri.
    Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan
    orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih
    lebih, dibagikan kepada yang lain.” [24]

     Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.


    Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Tempat pembagian shadaqah
    fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi,
    orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada
    bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam ‘Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!’ Maka
    zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali
    jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya
    kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka”.[26]



    3. Hanya orang miskin.

    Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka,
    muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya,
    atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid
    (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak
    diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil,
    kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya
    miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya,
    tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada
    orang gharim.[27]



    Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
    rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul
    Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi dalam al
    Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh
    Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

    Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:



    1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri:



    وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ



    “Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

    2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa),
    sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu
    orang miskin, wallahu a’lam.

    3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan
    golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri
    termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :



    إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
    عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
    وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ



    “(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
    orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
    hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
    jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9
    ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat
    mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.[28]

    Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat
    ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini.
    Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk
    delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit.
    Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau
    musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan
    hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.



    PANITIA ZAKAT FITHRI?



    Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu adanya
    orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di
    antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[30]

    1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].

    2. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada
    orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
    Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi
    mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini,
    kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

    Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat untuk kita. Wallahu a’lam.

    Maraji’:

    1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm:
    101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al
    Halabi al Atsari.

    2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.

    3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.

    4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.

    5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.

    6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.

    7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.

    8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

    9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil Islam
    Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.

    10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.

    11. Dan lain-lain.

    _______

    Footnote

    [1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79.

    [2]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.

    [3]. Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani;
    Ma’alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii
    Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin
    Hasan al Halabi al Atsari.

    [4]. Ijma’, karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80.

    [5]. HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984.

    [6]. Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299.

    [7]. HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad.

    [8]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81.

    [9]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102.

    [10]. Taisirul Fiqh, 74, karya beliau]???

    [11]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam al
    Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan
    Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah :
    “Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi
    di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).

    [12]. Syarhul Mumti’, 6/162-163.

    [13]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi;
    Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.

    [14]. Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi
    al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi
    (4/161), dari Ibnu ‘Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga
    diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi
    sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain
    mauquf (berhenti) pada Ibnu ‘Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda
    Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al
    Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan
    periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat
    catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii
    Ramadhan, hlm. 105).

    [15]. Majmu’ Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107.

    [16]. Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus.

    [17]. HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat
    pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat
    catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii
    Ramadhan, hlm. 105.

    [18]. Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimin, al Fauzan, ‘Abdullah al Jibrin.

    [19]. Minhajul Muslim, halaman 231.

    [20]. Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76.

    [21]. Ibid, 3/80.

    [22]. Ibid, 3/75.

    [23]. Ikhtiyarat, 2/412-413.

    [24]. Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M.

    [25]. At Ta’liq t ar R dhiyyah, 1/555.

    [26]. Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul ‘Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74.

    [27]. Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413.

    [28]. Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.

    [29]. Bahkan sebagian ulama berpendapat wajib dibagi untuk delapan golongan. Lihat Majmu Fatawa 25/71-78.

    [30]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106.




    Sumber [almanhaj.or.id yang disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M.]



    ydidd.com 

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent