• Negara Darurat Moral

    Akhlak : " Negara Darurat Moral ”







    Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc hafidzohulloh





    BILA BANGSA TAK BERMORAL





    Puncak keberhasilan seorang Muslim dalam beragama tercemin dalam budi
    pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi
    sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas
    bangsanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berprestasi
    sempurna memberi keteladanan kepada umatnya dengan akhlaknya Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam
    beragama. Allâh Azza wa Jalla memberikan pujian kepada Beliau
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam:





    وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ





    Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]






    Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam , maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada
    Allâh Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama
    makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh
    sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak
    lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga
    eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya
    budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai
    prilaku buruk lainnya melanda  masyarakat di dunia ini. Tegur sapa,
    sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan
    kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas
    bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa
    yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:





    إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ         فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا





    Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya


    Apabila akhlak mereka pudar  maka punahlah eksistensinya. 





    Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar
    tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal
    utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu
    akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan
    suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang
    toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki peran penting dalam
    mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai
    mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari
    komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasûlullâh
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ





    Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan)[1] akhlak.[2]





    Perhatikanlah wasiat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu :





    ‏يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَدْبِيْرِ وَلَا وَرَعَ كَالكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخُلُقِ‏‏‏





    Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada sikap
    wara` dibanding menjaga diri dan tiada kedudukan paling tinggi dibanding
    akhlak mulia[3]





    Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap
    dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun
    rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa
    sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan
    faidahnya sangat banyak.  Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali
    akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabi, dan bentuk
    pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa
    mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk
    kepentingan dunia dan agama.[4]





    NEGERI DARURAT MORAL





    Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat
    moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas
    sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran
    dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak
    mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti
    mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan
    tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba
    tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega
    membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan
    kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah
    yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang
    digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
    hadits:





    يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ
    قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ
    يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ
    وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ
    وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ
    اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ





    Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti
    orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh
    apakah lantaran  jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian
    ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih
    banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut
    kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn.
    Mereka bertanya: Wahai Ras
    ûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Cinta dunia dan benci mati.[5]





    Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan
    oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong,
    menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan
    perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik
    maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah
    penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan
    berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang
    sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan Allâh dengan kufur nikmat
    bahkan kufur syari’at. Padahal Allâh Azza wa Jalla sudah mengingatkan
    dalam firman-Nya:





    وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً
    مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ
    بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
    بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ





    Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah negeri yang
    dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah
    dari segenap tem-pat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat
    Allâh; karena itu Allâh merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan
    ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [An-Nahl/16:112]





    Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada
    lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat,
    untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman.
    Allâh Azza wa Jalla berfirman:





    وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا





    Dan Allâh hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang
    mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
    (dari kebenarannya).
    [An-Nisâ’/4:27].





    Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk
    bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki.
     Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter
    laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath,
    pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau
    presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah.
    Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki-laki
    sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ





    Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.[6]





    Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu
    laki-laki. Mereka dipajang di cover-cover majalah dengan tampilan
    sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang melimpah,
    fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan,
    sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap
    terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda:





    إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ
    مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا
    الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِيْ
    إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ





    Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu)
    dan sesungguhnya Allâh menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya,
    maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap
    dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali
    yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.
    [7]





    Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih
    menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor
    dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat tersanjung saat ada orang
    yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat,
    foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada
    akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan
    anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah
    dan kejahatan di dalam rumah tangga.





    Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syari’at Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allâh:


    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ





    Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.”[Al-Ahzâb/33:33]





    Setiap hamba Allâh terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat
    untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak
    ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allâh dan Rasul-Nya.





    KERUSAKAN MORAL TANGGUNG JAWAB SIAPA?





    Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan
    stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua terjadi
    karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk, serta laju
    sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri kembali kepada
    Allâh Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak mulia, Allâh Azza wa
    Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari langit dan bumi sebagaimana
    firman Allâh Azza wa Jalla :





    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ





    Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
    pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
    bumi. [Al-A’râf/7:96]





    Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan
    puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan seorang
    hamba dengan Allâh Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh keimanan dan
    ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allâh. Allâh Azza wa Jalla
    berfirman:





    أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ





    Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada
    kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
    (Yaitu) orang-orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa.
    [Yûnus/10: 62-63]





    Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan akhlak,
    menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan hawa nafsu, dan
    mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat sehingga terjadi dekadensi
    moral. Hukum Allâh tidak lagi dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, pola
    hidupnya liar dan bebas tanpa mengenal batas, interaksi sosial dan
    politik tidak mengenal etika dan berperilaku tidak mengenal rasa malu
    bahkan lebih parah dari binatang sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :





    وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ





    Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan
    dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
    dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh) dan mereka mempunyai
    mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
    Allâh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
    untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu sebagai binatang ternak,
    bahkan mereka lebih sesat lagi.  Mereka itulah orang-orang yang lalai.
    [Al-A’râf/7:179]





    Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram
    sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat dan
    jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar memilukan. Kejahatan
    merajalela, kenakalan remaja meruyak, pembunuhan mudah terjadi,
    pemerkosaan dianggap sepele, pencurian gampang dilakukan, penganiayaan
    pemandangan lumrah, korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba
    dianggap bagian kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya
    sering kita saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.





    Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?! 





    Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung jawab.
    Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan aturan syariat.
    Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka
    suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan bisa diredam,
    hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas negara akan kokoh
    sebagaimana janji Allâh Azza wa Jalla :





    وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا
    الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
    الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
    ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
     ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ





    Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
    kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
    menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
    menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
    meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
    Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
    ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak
    mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap)
    kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
    [An-Nûr/24:55].





    Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut akan
    hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar bersiap-siap
    untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan jaminan taufiq dan
    sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya dan pokoknya adalah
    mentaati Allâh dan Rasul-Nya.[8]





    MENANGGULANGI BENCANA MORAL





    Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali
    umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya
    harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salaful
    Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah secara benar dan
    ikhlas hanya karena Allâh Azza wa Jalla . Kehidupan yang adil, damai,
    aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang mulia. Rasûlullâh
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,





    حُسْنُ الْخُلُقِ نَمَاءٌ وَسُوءُ الْخُلُقِ شُؤْمٌ وَالْبِرُّ زِيَادَةٌ فِى الْعُمُرِ وَالصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مِيتَةَ السَّوْءِ





    Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah
    kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah
    menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.[9]





    Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan
    menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang diperintahkan
    Allâh Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:





    اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ





    Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab
    (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
    (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
    Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
    lain), dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
    [Al-Ankabût/29:45]





    Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat
    adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar,
    yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia. Jika kita
    telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai dengan berbagai
    persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian dan tempat, dengan
    cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat diharapkan membentuk sikap
    selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat
    waktu.





    Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan
    kesempurnaan  iman seseorang sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam :





    أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا





    Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya[10]





    Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia
    pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin sebagian orang
    menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain atau tetangga sebagai
    hal biasa yang tidak berpengaruh pada eksistensi keimanan. Padahal,
    faktanya akhlak buruk sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan
    manusia paling jelek di sisi Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat
    adalah manusia yang berakhlak jelek.  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda:





    إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ





    Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allâh pada hari kiamat
    adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari
    kejelekannya
    [11]





    Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan
    mulia di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat,
    sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًاوَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ





    Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku
    pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara kalian,
    dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku
    kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para
    sahabat bertanya,”Wahai Rasûlullâh! Kami telah mengetahui orang yang
    banyak bicara dan orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa
    yang dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.”[12]





    Cerminan pribadi seseorang  juga sering digambarkan melalui tingkah
    laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi
    seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan
    dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih
    disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang berhias.





    Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:





    أَنَا زَعِيْمُ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ المِرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّاوَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍفِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ





    Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang meninggalkan
    debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga bagi
    orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya senda gurau. Dan aku
    men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi orang yang baik
    akhlaknya.”[13]





    Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang menimpa
    bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-pilar akhlak Islam
    yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam berikut ini:





    اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَيِّئّةِ الحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ





    “Bertakwalah anda kepada Allâh dimana saja anda berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.[14]





    Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga
    pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang yang
    antara lain:





    Pertama: Akhlak kepada Allâh Azza Wa Jalla





    Akhlak seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mewujudkan
    ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku positif di tengah
    masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa adalah senantiasa
    menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang dalam firman Allâh Azza wa
    Jalla :





    وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ





    Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
    surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
    orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
    (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
    menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allâh menyukai
    orang-orang yang berbuat kebajikan.
    ” [Ali Imrân/3: 133-134]





    Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri. 





    Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan
    terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat kepada
    Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:





    وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا
    أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
    يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا
    وَهُمْ يَعْلَمُونَ





    Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
    atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon
    ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
    dosa selain dari pada Allâh? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
    kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
    [Ali Imrân/3: 135]





    Ketiga: Akhlak terhadap sesama





    Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung tinggi
    etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Sehingga
    dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh
    orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan, santun dan ramah
    serta bertata krama.


    Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat dianjurkan:


    1. Akhlak terhadap Kedua orang tua



    Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan
    yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak dapat
    dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak mampu
    memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai manusia yang mempunyai
    hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi budak atau hamba sahaya sesuatu
    keadaan yang tidak diinginkan.





    Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan
    anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh nyawanya
    kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan. Apakah perbuatan
    demikian perbuatan yang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang
    sangat sulit. Sebagai seorang anak sudah semestinya untuk berbakti dan
    menghormati  keduanya.





    Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:


    • Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir atau musyrik.

    • Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.

    • Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia
      dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para sahabat
      orang tuanya.



    1. Akhlak terhadap tetangga



    Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang
    sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak
    mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut ini:


    • Berbuat baik kepada tetangga kita.

    • Saling menolong dengan mereka

    • Tidak menjelek-jelekkan tetangga.

    • Menjaga hubungan baik dengan mereka.



    Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga,
    sampai-sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar
    tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang
    memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga.


    1. Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan



    Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan
    aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, seorang
    perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya tidak boleh berkhalwat
    (berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat tangan atau berbicara
    mesra atau bepergian bersama. Jika ini dilaksanakan perzinaan,
    perselingkuhan dan pemerkosaan mampu diminimalisir.


    1. Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar



    Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan
    perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah
    keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara untuk
    bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain
    sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya bermanfaat
    untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang yang beriman
    dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan dengan memperlakukan
    lingkungan hidup secara baik dan wajar, diantaranya:


    • Melestarikan lingkungan.

    • Menjaga lingkungan dari pencemaran.

    • Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.



    MENAJAMKAN PENDIDIKAN MORAL





    Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan moral
    dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa kendali,
    kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan menjamur,
    pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-siakan dan hamil di
    luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja keras, keuletan dan
    kesabaran.





    Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan
    tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua takut
    kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya sedang berbuat
    dosa di depan mata, berani melawan orang tua, bertindak anarkis atau
    bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua, sehingga muncullah
    generasi yang disebut Allâh dalam firman-Nya,





    فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا





    Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
    menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka
    kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam/19:59].





    Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi anak
    durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan memberikan
    stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, yang dimulai
    dengan perbaikan akidah dan moral orang tua. Mendidik anak di atas
    akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak yang mulia dan menguasai
    metode pendidikan akan membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil
    pendidikkan akan mempengaruhi masa depan umat yang siap dipetik buahnya
    di dunia dan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:





    جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ





    (Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
    orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak
    cucunya. [Ar-Ra’d/13:23] 





    Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih
    berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak boleh
    menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan diri kepada
    Allâh Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan
    dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan anaknya menjadi anak saleh.





    Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah
    namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga lingkungan:


    1. Lingkungan Keluarga



    Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi pertumbuhan
    prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering menghabiskan
    waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah seorang anak mendapatkan
    pengasuhan dan pendidikan dan karena pengaruh kedua orang tua, anak
    menjadi baik atau buruk.  Abu Hurairah z berkata bahwa Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam bersabda:





    مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَّصِرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
    كَمَا تَنْتُجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ. هَلْ تُحِسُّوْنَ
    فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَاقْرَؤُا
    إِنْ شِئْتُمْ
    : فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ





    Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah
    (bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan Yahudi,
    Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu
    menemuinya cacat.





    Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, ‘Dan bacalah firman Allâh Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh’.“[Ar-Rûm/30:30][15]


    1. Lingkungan Sekolah



    Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya dengan
    belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk bersosialisasi
    dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari bersosialisasi
    dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa belajar
    menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-temannya. Oleh
    sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan sekolah yang terbaik untuk
    anak-anaknya. Terbaik di sini bukan terbaik karena standar
    internasionalnya, terbaik karena prestasi akademiknya, tetapi terbaik
    dalam menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan manhaj para Salafush
    shaleh. Karena dengan belajar di sekolah yang berkarakter Islam yang
    benar maka anak akan mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang
    bisa mengontrol prilaku dan sikapnya


    1. Lingkungan Masyarakat



    Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan
    menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat
    lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga maupun lingkungan
    sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk sehingga membutuhkan
    kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan anak bersosialisasi dengan
    masyarakat, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh buruknya.
    Bila lingkungan masyarakat bagus, maka itu akan berpengaruh bagus
    terhadap pendidikan anak, namun sebaliknya, bila lingkungan masyarakat
    buruk maka akan berpengaruh buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa
    anak.





    Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap proses
    pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana sabda Rasûlullâh
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
    الأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ
    رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
    وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ





    Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban
    atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki
    adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab
    atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan
    setiap kalian akan diminta per-tanggungjawaban atas kepemimpinannya
    . [16]





    Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet hanya
    menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen bangsa
    saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam secara
    kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT hingga
    Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar politik, budaya,
    ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam, aktifis dakwah, lembaga
    pendidikan, LSM dan seluruh kantong kekuatan Islam.





    Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan dan
    taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini.





    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. 9]

    _______

    Footnote

    [1]  Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192


    [2]  Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192; Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 8932; Imam al-Hakim memandang hadits ini shahih dan disetujui adz-Dzahabi dan Lihat Shahîh al-Jâmi’, no. 2349.


    [3]  Shahih:Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no.11713 dari Abu Said al-Khudri z ; Imam ath-Thabrani, no. 1651; Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 362; Imam al-Haitsami dalam Majma’ Zawaidnya, no. 7113.


    [4].  Lihat Muqadimah Ibnu Khaldun, hlm. 21


    [5]   Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22296 dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4297.


    [6]    Shahih: Diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5096; Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 6880 dan Imam Tirmidzi dalam Sunannya, no.2780.


    [7]     Shahih: Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2742; Imam al-Baihaqi dalam Sunannya, 3/369; dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 1096


    [8]   Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, Ibnu Asyur, 8/282.


    [9]     Shahih:Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, no. 16024, dan perawinya tsiqah.


    [10]  Shahih dikeluarkan Imam al-Hâkim dalam Mustadraknya (221) dan Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (4176) dari Abu Hurairah z . Dan Syaikh al-Albani menilai hadits ini sebagai hadits shahih dalam Shahîh Jâmi ash-Shaghîr , no. 3316 dan Silsilah al-Ahâdîts Shahîhah, 285


    [11]   Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 6032 dan Imam Hibban dalam Shahîhnya, no. 4538


    [12]    Shahih: Diriwayatkan oleh oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2018; Kitab Bab Berkaitan Tentang Kebajikan, no. 70, kemudian berkata, “Hadits ini hadits hasan.”


    [13]    Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1993; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4800 dan Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 4437 dan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 8017.


    [14]    Hasan: Diriwayatakan Imam Ahmad dalam Musnadnya 21251, 21297, 21428 dan 21958; Imam at-Tirmidzi dalam Shahihnya, no. 1987 dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya, no. 178 serta Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’-jam al-Kabir, no. 295, 296 dan 297.


    [15]    Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no 7438, 8164 dan 10192; Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 1385 dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2658; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4714 dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2138.


    [16]  Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 5869, Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 844, 2232, 2368, 4801, Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 1829, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 2928, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1705, Imam Baihaqi dalam Sunannya, 7/291, Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 4472 dan Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 5805.







    Sumber : almanhajorid

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent