Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc hafidzohulloh
BILA BANGSA TAK BERMORAL
Puncak keberhasilan seorang Muslim dalam beragama tercemin dalam budi
pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi
sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas
bangsanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berprestasi
sempurna memberi keteladanan kepada umatnya dengan akhlaknya Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam
beragama. Allâh Azza wa Jalla memberikan pujian kepada Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]
Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada
Allâh Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama
makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh
sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak
lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga
eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya
budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai
prilaku buruk lainnya melanda masyarakat di dunia ini. Tegur sapa,
sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan
kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas
bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa
yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:
إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya
Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah eksistensinya.
Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar
tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal
utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu
akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan
suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang
toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki peran penting dalam
mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai
mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari
komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ
Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan)[1] akhlak.[2]
Perhatikanlah wasiat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu :
يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَدْبِيْرِ وَلَا وَرَعَ كَالكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخُلُقِ
Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada sikap
wara` dibanding menjaga diri dan tiada kedudukan paling tinggi dibanding
akhlak mulia[3]
Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap
dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun
rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa
sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan
faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali
akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabi, dan bentuk
pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa
mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk
kepentingan dunia dan agama.[4]
NEGERI DARURAT MORAL
Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat
moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas
sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran
dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak
mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti
mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan
tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba
tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega
membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan
kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah
yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang
digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits:
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ
قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ
يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ
وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ
وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ
اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti
orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh
apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian
ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih
banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut
kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn.
Mereka bertanya: Wahai Rasûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.“[5]
Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan
oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong,
menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan
perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik
maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah
penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan
berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang
sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan Allâh dengan kufur nikmat
bahkan kufur syari’at. Padahal Allâh Azza wa Jalla sudah mengingatkan
dalam firman-Nya:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً
مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ
بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah
dari segenap tem-pat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat
Allâh; karena itu Allâh merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [An-Nahl/16:112]
Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada
lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat,
untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
Dan Allâh hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
(dari kebenarannya).[An-Nisâ’/4:27].
Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk
bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki.
Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter
laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath,
pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau
presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah.
Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki-laki
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.[6]
Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu
laki-laki. Mereka dipajang di cover-cover majalah dengan tampilan
sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang melimpah,
fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan,
sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap
terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ
مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا
الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِيْ
إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu)
dan sesungguhnya Allâh menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya,
maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap
dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali
yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.[7]
Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih
menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor
dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat tersanjung saat ada orang
yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat,
foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada
akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan
anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah
dan kejahatan di dalam rumah tangga.
Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syari’at Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allâh:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.”[Al-Ahzâb/33:33]
Setiap hamba Allâh terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat
untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak
ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allâh dan Rasul-Nya.
KERUSAKAN MORAL TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan
stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua terjadi
karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk, serta laju
sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri kembali kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak mulia, Allâh Azza wa
Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari langit dan bumi sebagaimana
firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi. [Al-A’râf/7:96]
Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan
puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan seorang
hamba dengan Allâh Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh keimanan dan
ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allâh. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa. [Yûnus/10: 62-63]
Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan akhlak,
menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan hawa nafsu, dan
mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat sehingga terjadi dekadensi
moral. Hukum Allâh tidak lagi dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, pola
hidupnya liar dan bebas tanpa mengenal batas, interaksi sosial dan
politik tidak mengenal etika dan berperilaku tidak mengenal rasa malu
bahkan lebih parah dari binatang sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allâh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Al-A’râf/7:179]
Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram
sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat dan
jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar memilukan. Kejahatan
merajalela, kenakalan remaja meruyak, pembunuhan mudah terjadi,
pemerkosaan dianggap sepele, pencurian gampang dilakukan, penganiayaan
pemandangan lumrah, korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba
dianggap bagian kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya
sering kita saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.
Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?!
Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung jawab.
Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan aturan syariat.
Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka
suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan bisa diredam,
hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas negara akan kokoh
sebagaimana janji Allâh Azza wa Jalla :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[An-Nûr/24:55].
Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut akan
hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar bersiap-siap
untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan jaminan taufiq dan
sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya dan pokoknya adalah
mentaati Allâh dan Rasul-Nya.[8]
MENANGGULANGI BENCANA MORAL
Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali
umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya
harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salaful
Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah secara benar dan
ikhlas hanya karena Allâh Azza wa Jalla . Kehidupan yang adil, damai,
aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang mulia. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
حُسْنُ الْخُلُقِ نَمَاءٌ وَسُوءُ الْخُلُقِ شُؤْمٌ وَالْبِرُّ زِيَادَةٌ فِى الْعُمُرِ وَالصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مِيتَةَ السَّوْءِ
Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah
kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah
menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan
menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang diperintahkan
Allâh Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab
(al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain), dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Ankabût/29:45]
Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat
adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar,
yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia. Jika kita
telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai dengan berbagai
persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian dan tempat, dengan
cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat diharapkan membentuk sikap
selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat
waktu.
Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan
kesempurnaan iman seseorang sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya[10]
Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia
pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin sebagian orang
menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain atau tetangga sebagai
hal biasa yang tidak berpengaruh pada eksistensi keimanan. Padahal,
faktanya akhlak buruk sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan
manusia paling jelek di sisi Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat
adalah manusia yang berakhlak jelek. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allâh pada hari kiamat
adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari
kejelekannya[11]
Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan
mulia di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat,
sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًاوَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ
Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku
pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara kalian,
dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku
kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para
sahabat bertanya,”Wahai Rasûlullâh! Kami telah mengetahui orang yang
banyak bicara dan orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa
yang dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.”[12]
Cerminan pribadi seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah
laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi
seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan
dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih
disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang berhias.
Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:
أَنَا زَعِيْمُ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ المِرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّاوَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍفِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang meninggalkan
debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga bagi
orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya senda gurau. Dan aku
men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi orang yang baik
akhlaknya.”[13]
Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang menimpa
bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-pilar akhlak Islam
yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini:
اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَيِّئّةِ الحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah anda kepada Allâh dimana saja anda berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.[14]
Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga
pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang yang
antara lain:
Pertama: Akhlak kepada Allâh Azza Wa Jalla
Akhlak seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mewujudkan
ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku positif di tengah
masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa adalah senantiasa
menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang dalam firman Allâh Azza wa
Jalla :
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allâh menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imrân/3: 133-134]
Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri.
Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan
terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat kepada
Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا
وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allâh? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[Ali Imrân/3: 135]
Ketiga: Akhlak terhadap sesama
Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung tinggi
etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Sehingga
dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh
orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan, santun dan ramah
serta bertata krama.
Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat dianjurkan:
- Akhlak terhadap Kedua orang tua
Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan
yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak dapat
dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak mampu
memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai manusia yang mempunyai
hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi budak atau hamba sahaya sesuatu
keadaan yang tidak diinginkan.
Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan
anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh nyawanya
kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan. Apakah perbuatan
demikian perbuatan yang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang
sangat sulit. Sebagai seorang anak sudah semestinya untuk berbakti dan
menghormati keduanya.
Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:
- Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir atau musyrik.
- Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.
- Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia
dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para sahabat
orang tuanya.
- Akhlak terhadap tetangga
Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang
sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak
mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut ini:
- Berbuat baik kepada tetangga kita.
- Saling menolong dengan mereka
- Tidak menjelek-jelekkan tetangga.
- Menjaga hubungan baik dengan mereka.
Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga,
sampai-sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar
tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang
memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga.
- Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan
Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan
aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, seorang
perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya tidak boleh berkhalwat
(berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat tangan atau berbicara
mesra atau bepergian bersama. Jika ini dilaksanakan perzinaan,
perselingkuhan dan pemerkosaan mampu diminimalisir.
- Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar
Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan
perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah
keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara untuk
bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain
sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya bermanfaat
untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang yang beriman
dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan dengan memperlakukan
lingkungan hidup secara baik dan wajar, diantaranya:
- Melestarikan lingkungan.
- Menjaga lingkungan dari pencemaran.
- Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.
MENAJAMKAN PENDIDIKAN MORAL
Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan moral
dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa kendali,
kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan menjamur,
pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-siakan dan hamil di
luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja keras, keuletan dan
kesabaran.
Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan
tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua takut
kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya sedang berbuat
dosa di depan mata, berani melawan orang tua, bertindak anarkis atau
bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua, sehingga muncullah
generasi yang disebut Allâh dalam firman-Nya,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam/19:59].
Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi anak
durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan memberikan
stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, yang dimulai
dengan perbaikan akidah dan moral orang tua. Mendidik anak di atas
akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak yang mulia dan menguasai
metode pendidikan akan membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil
pendidikkan akan mempengaruhi masa depan umat yang siap dipetik buahnya
di dunia dan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ
(Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak
cucunya. [Ar-Ra’d/13:23]
Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih
berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak boleh
menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan diri kepada
Allâh Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan
dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan anaknya menjadi anak saleh.
Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah
namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga lingkungan:
- Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi pertumbuhan
prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering menghabiskan
waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah seorang anak mendapatkan
pengasuhan dan pendidikan dan karena pengaruh kedua orang tua, anak
menjadi baik atau buruk. Abu Hurairah z berkata bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَّصِرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
كَمَا تَنْتُجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ. هَلْ تُحِسُّوْنَ
فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَاقْرَؤُا
إِنْ شِئْتُمْ: فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah
(bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu
menemuinya cacat.
Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, ‘Dan bacalah firman Allâh Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh’.“[Ar-Rûm/30:30][15]
- Lingkungan Sekolah
Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya dengan
belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk bersosialisasi
dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari bersosialisasi
dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa belajar
menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-temannya. Oleh
sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan sekolah yang terbaik untuk
anak-anaknya. Terbaik di sini bukan terbaik karena standar
internasionalnya, terbaik karena prestasi akademiknya, tetapi terbaik
dalam menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan manhaj para Salafush
shaleh. Karena dengan belajar di sekolah yang berkarakter Islam yang
benar maka anak akan mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang
bisa mengontrol prilaku dan sikapnya
- Lingkungan Masyarakat
Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan
menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat
lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga maupun lingkungan
sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk sehingga membutuhkan
kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan anak bersosialisasi dengan
masyarakat, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh buruknya.
Bila lingkungan masyarakat bagus, maka itu akan berpengaruh bagus
terhadap pendidikan anak, namun sebaliknya, bila lingkungan masyarakat
buruk maka akan berpengaruh buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa
anak.
Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap proses
pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
الأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban
atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki
adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab
atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan diminta per-tanggungjawaban atas kepemimpinannya. [16]
Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet hanya
menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen bangsa
saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam secara
kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT hingga
Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar politik, budaya,
ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam, aktifis dakwah, lembaga
pendidikan, LSM dan seluruh kantong kekuatan Islam.
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan dan
taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. 9]
_______
Footnote
[1] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192
[2] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192; Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 8932; Imam al-Hakim memandang hadits ini shahih dan disetujui adz-Dzahabi dan Lihat Shahîh al-Jâmi’, no. 2349.
[3] Shahih:Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no.11713 dari Abu Said al-Khudri z ; Imam ath-Thabrani, no. 1651; Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 362; Imam al-Haitsami dalam Majma’ Zawaidnya, no. 7113.
[4]. Lihat Muqadimah Ibnu Khaldun, hlm. 21
[5] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22296 dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4297.
[6] Shahih: Diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5096; Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 6880 dan Imam Tirmidzi dalam Sunannya, no.2780.
[7] Shahih: Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2742; Imam al-Baihaqi dalam Sunannya, 3/369; dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 1096
[8] Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, Ibnu Asyur, 8/282.
[9] Shahih:Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, no. 16024, dan perawinya tsiqah.
[10] Shahih dikeluarkan Imam al-Hâkim dalam Mustadraknya (221) dan Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (4176) dari Abu Hurairah z . Dan Syaikh al-Albani menilai hadits ini sebagai hadits shahih dalam Shahîh Jâmi ash-Shaghîr , no. 3316 dan Silsilah al-Ahâdîts Shahîhah, 285
[11] Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 6032 dan Imam Hibban dalam Shahîhnya, no. 4538
[12] Shahih: Diriwayatkan oleh oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2018; Kitab Bab Berkaitan Tentang Kebajikan, no. 70, kemudian berkata, “Hadits ini hadits hasan.”
[13] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1993; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4800 dan Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 4437 dan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 8017.
[14] Hasan: Diriwayatakan Imam Ahmad dalam Musnadnya 21251, 21297, 21428 dan 21958; Imam at-Tirmidzi dalam Shahihnya, no. 1987 dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya, no. 178 serta Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’-jam al-Kabir, no. 295, 296 dan 297.
[15] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no 7438, 8164 dan 10192; Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 1385 dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2658; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4714 dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2138.
[16] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 5869, Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 844, 2232, 2368, 4801, Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 1829, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 2928, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1705, Imam Baihaqi dalam Sunannya, 7/291, Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 4472 dan Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 5805.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar