• Pengertian Ibadah Dalam Islam

    “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]










    Ketujuh

    PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM
    [1]





    Oleh

    Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
    Hafidzahullah







    A. Definisi Ibadah


     

    Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
    Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi,
    tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
     




    1.  Ibadah adalah taat
      kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
       

    2. Ibadah adalah
      merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
      tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
       

    3. Ibadah adalah sebutan
      yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik
      berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini
      adalah definisi yang paling lengkap.







    Ibadah terbagi menjadi
    ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap),
    mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah
    (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih,
    tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah
    qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah
    ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
    ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.





    Ibadah inilah yang
    menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:





    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا
    أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ
    ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ





    “Dan Aku tidak
    menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku
    tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
    supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi
    rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]





    Allah Azza wa Jalla
    memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
    melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak
    membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena
    ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah
    kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan
    selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan
    barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya,
    maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).





    B. Pilar-Pilar Ubudiyyah
    Yang Benar




    Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb
    (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).





    Rasa cinta harus
    disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’.
    Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang
    sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:





    يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ





    “Dia mencintai mereka
    dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]





    وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ


    “Adapun orang-orang yang
    beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]





    إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا
    رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ





    “Sesungguhnya mereka
    adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan
    mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah
    orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]





    Sebagian Salaf berkata
    [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah
    zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah
    murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia
    adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf,
    dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”





    C. Syarat Diterimanya
    Ibadah


     

    Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang
    disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak
    disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.





    “Barangsiapa yang
    beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]


    Agar dapat diterima,
    ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar
    kecuali dengan adanya dua syarat:




    • Ikhlas karena Allah
      semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
        

    • Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.





    Syarat yang pertama
    merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
    mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
    kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
    Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti
    syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.





    Allah Subhanahu wa
    Ta’ala berfirman:





    بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ
    أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ





    “(Tidak demikian) bahkan
    barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat
    kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada
    mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]





    Aslama wajhahu
    (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin
    (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.





    Syaikhul Islam
    mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya
    kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan,
    tidak dengan bid’ah.” 





    Sebagaimana Allah
    berfirman:





    فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
    وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا





    “Maka barangsiapa
    mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih
    dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.”

    [Al-Kahfi: 110]





    Hal yang demikian itu
    merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha
    illallaah, Muhammad Rasulullah.





    Pada yang pertama, kita
    tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya.
    Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati
    perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana
    cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]





    Bila ada orang yang
    bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”


    Jawabnya adalah sebagai
    berikut:






    1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya
    semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya
    adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:







    فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ





    “Maka sembahlah Allah
    dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.”
    [Az-Zumar: 2]





    2. Sesungguhnya Allah
    mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’
    adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan
    cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.





    3. Sesungguhnya Allah
    telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara
    ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh
    bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).





    4. Dan sekiranya boleh
    bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri,
    maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika
    demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan
    yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan
    mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam
    mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan
    Rasul-Nya.





    D. Keutamaan Ibadah




    Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan
    diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan
    menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang
    enggan melaksanakannya dicela. 





    Allah Subhanahu wa
    Ta’ala berfirman:





    وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ
    عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ





    “Dan Rabb-mu berfirman,
    ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya
    orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka
    Jahannam dalam keadaan hina dina.”
    [Al-Mu’min: 60]





    Ibadah di dalam Islam
    tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula
    untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu
    disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak
    dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.





    Di antara keutamaan
    ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya
    ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.





    Termasuk keutamaan
    ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi
    segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara
    tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad
    membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah
    dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu
    lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena
    sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya
    tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan
    beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman
    kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan
    kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan
    tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali
    tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.





    Adapun bahagia karena
    Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan
    terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta
    kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi
    hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya
    orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan
    paling lapang dadanya.





    Tidak ada yang dapat
    menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan
    hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim
    rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan
    kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha
    Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang
    paling dicintainya daripada yang lain.[9]





    Termasuk keutamaan
    ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai
    kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika
    dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa
    sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.





    Termasuk keutamaannya
    juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat
    membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan,
    harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan
    berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.





    Keutamaan ibadah yang
    paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan
    Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.





    [Disalin dari buku
    Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid
    bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001,
    Cetakan ke 3] 


    Almanhaj.Or.Id

    _______

    Footnote

    [1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul
    Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah
    oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid,
    dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin
    Hasan ‘Abdul Hamid.

    [2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh
    ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162),
    Maktabah Darul Ashaalah 1416 H

    [3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.

    [4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal
    bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.

    [5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di
    Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar
    adalah kafir.

    [6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits
    ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma

    [7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan
    ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).

    [8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.

    [9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh
    ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent