JADIKANLAH AKHIRAT SEBAGAI NIATMU !
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ،
وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا
إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ
اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا
وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan
mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk
matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang
telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah
negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan
di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. ”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/
183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh
Zham'ân); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
anhu.
Lafazh hadits ini milik Ibnu Mâjah rahimahullah . Dishahihkan juga oleh
Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 950).
KOSA KATA HADITS
• هَمٌّ : mashdar dari هّمَّ - يَهُمُّ yaitu kemauan yang kuat,
keinginan, niat, dan tujuan. Al-hammu juga berarti kesedihan. Jamaknya
adalah هُمُوْمٌ (humuum).[1]
• فَرَّقَ اللهُ : yaitu Allâh mencerai-beraikannya.
• وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ : yaitu dia hanya mendapat apa yang telah ditetapkan baginya.[2]
• رَاغِمَةٌ : ذّلِيْلَةٌ تَابِعَةٌ لَهُ (hina dan mengikutinya), yaitu
dunia tersebut mengikutinya dengan sukarela dan terpaksa.[3]
SYARAH HADITS
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n mencela sikap tamak kepada
dunia. Bahkan, Allâh Azza wa Jalla sangat merendahkan kedudukan dunia
dalam banyak ayat-ayat al-Qur-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman bahwa
kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [Ali ‘Imrân/3:185]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” [Al-Hadîd/57:20]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara)
dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. [Ghâfir/40:39]
Apabila seorang hamba menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya dan
mengesampingkan urusan akhiratnya, maka Allâh Azza wa Jalla akan
menjadikan urusan dunianya tercerai-berai, berantakan, serba sulit,
serta menjadikan hidupnya selalu diliputi kegelisahan. Allâh Azza wa
Jalla juga menjadikan kefakiran di depan matanya, selalu takut miskin,
atau hatinya selalu tidak merasa cukup dengan rizki yang Allâh Azza wa
Jalla karuniakan kepadanya.
Dunia yang dapat hanya seukuran ketentuan yang telah ditetapkan baginya,
tidak lebih, meskipun ia bekerja keras dari pagi hingga malam, bahkan
hingga pagi lagi dengan mengorbankan kewajibannya beribadah kepada
Allâh, mengorbankan hak-hak isteri, anak-anak, keluarga, orang tua, dan
lainnya.
Cinta kepada dunia adalah pokok semua kejelekan, oleh karenanya tidak
boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا
صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami
berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna)
dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana
apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah
mereka kerjakan." [Hûd/11:15-16]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ
لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا
مَدْحُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang
Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka
Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir."
[Al-Isrâ'/17:18]
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ
كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي
الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan
keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia
Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia
tidak akan mendapat bagian di akhirat.” [Asy-Syûrâ/42:20]
Dunia ini dilaknat oleh Allâh dan dilaknat apa yang ada di dalamnya,
oleh karena itu jangan jadikan dunia sebagai tujuan. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِـيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُـتَـعَلِّـمٌ.
Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di
dalamnya, kecuali dzikir kepada Allâh dan ketaatan kepada-Nya, orang
berilmu, dan orang yang mempelajari ilmu[4].
Orang yang hatinya sehat, dia akan lebih mengutamakan akhirat daripada
kehidupan dunia yang fana, tujuan hidupnya adalah akhirat. Dia
menjadikan dunia ini sebagai tempat berlalu dan mencari bekal untuk
akhirat yang kekal. Orang yang hatinya sehat akan selalu mempersiapkan
diri dengan melakukan ketaatan dan mengerjakan amal-amal shalih dengan
ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-larangan-Nya,
karena dia yakin pasti mati dan pasti menjadi penghuni kubur dan pasti
kembali ke akhirat. Karena itu, dia selalu berusaha untuk menjadi
penghuni surga dengan berbekal iman, takwa, dan amal-amal yang shalih.
Orang Muslim tujuan hidupnya adalah akhirat, karena itu ia wajib
berbekal untuk akhirat dengan bekal terbaik yaitu takwa kepada Allâh
Azza wa Jalla . Takwa yaitu melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa
Jalla dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Apabila seorang Muslim
beriman dan bertakwa kepada Allâh, maka ia akan diberi rizki dari arah
yang tidak diduga dan diberikan jalan keluar dari problematikanya. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“...Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan
keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangkanya...” [Ath-Thalâq/65:2-3]
Orang yang beriman dan bertakwa kepada Allâh akan dimudahkan urusannya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, "…Dan barangsiapa
bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya.” [Ath-Thalâq/65:4]
Orang yang beriman dan bertakwa kepada Allâh juga akan dihapuskan
dosa-dosanya dan dilipatgandakan ganjarannya. Allâh Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, "...Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, niscaya
Allâh akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan
pahala baginya.” [Ath-Thalâq/65:5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita bahwa
kehidupan yang sebenarnya dan yang kekal adalah kehidupan akhirat, bukan
dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَللّٰهُمَّ ، لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَةِ ، فَأَصْلِحِ الْأَنْصَارَ وَالْـمُهَاجِرَةَ
Ya Allâh, tidak ada kehidupan (yang kekal) kecuali kehidupan akhirat,
maka bereskanlah (urusan) kaum Anshar dan kaum Muhajirin.”[5]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَللّٰهُمَّ ، لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الْآخِرَةِ ، فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْـمُهَاجِرَةِ
Ya Allâh, tidak ada kehidupan (yang kekal) kecuali kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin.[6]
‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengatakan,
اِرْتَـحَلَتِ الـدُّنْـيَـا مُـدْبِرَةً ، وَارْتَـحَلَتِ الْآخِرَةُ
مُقْبِلَةً ، وَلِـكُـلِّ وَاحِدَةٍ مِـنْـهُمَـا بَـنُـوْنٌ ،
فَـكُـوْنُـوْا مِنْ أَبْـنَـاءِ الْآخِرَةِ ، وَلَا تَـكُوْنُوْا مِنْ
أَبْنَـاءِ الدُّنْيَـا ، فَإِنَّ الْـيَـوْمَ عَـمَـلٌ وَلَا حِسَابَ ،
وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلَ.
Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti
akan datang. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak,
karenanya, hendaklah kalian menjadi anak-anak akhirat dan kalian jangan
menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal tanpa hisab
(di dalamnya), sedang kelak adalah hari hisab tanpa amal (di
dalamnya)[7].
Ada kabar mutawatir dari ulama Salaf mengatakan, “Cinta dunia merupakan
induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau
dari beberapa segi:[8]
Pertama: Mencintai dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat
hina di mata Allâh Azza wa Jalla . Termasuk dosa yang paling besar
adalah mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla.
Kedua: Allâh mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang
ditujukan kepada-Nya. Karena itu, siapa saja yang mencintai apa yang
dikutuk, dimurkai, dan dibenci Allâh maka ia akan berhadapan dengan
kutukan, murka, dan kebencian-Nya.
Ketiga: Orang yang mencintai dunia akan menjadikan dunia sebagai
tujuannya dan ia akan menjadikan amalan yang seharusnya menjadi sarana
menuju Allâh dan negeri Akhirat berubah menjadi sarana meraih
kepentingan dunia.
Di sini ada dua persoalan:
1. Menjadikan sesuatu yang seharusnya menjadi wasilah (sarana) sebagai tujuan.
2. Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia.
Ini adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga berarti
membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. Ini sesuai
sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا
صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa
yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11:15-16]
Keempat: Mencintai dunia membuat manusia tidak sempat (terhalang dari)
melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat sebagai akibat dari
kesibukannya dengan dunia dan segala yang dicintainya.
Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia.
Keenam: Pecinta dunia adalah orang yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa pada tiga keadaan :
1. Ia tersiksa di dunia dengan usaha, kerja keras untuk mendapatkannya
serta disiksa dengan usahanya untuk merebut dunia dari sesama pecinta
dunia
2. Ia tersiksa di alam barzakh (kubur) dengan terlepasnya segala yang ia cintai dari dirinya
3. Ia tersiksa pada hari Kiamat.
Ketujuh: Orang yang sangat mencintai dunia dan lebih mengutamakan dunia
daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan idiot. Sebab, ia
lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur
daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang akan segera
hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang
segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi dan nyaman dengan
kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang
segera hilang. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan
hal-hal semacam itu.[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْـقَضِـى
“Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan
(kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan (keletihan) yang
berkelanjutan, dan (3) Kerugian yang tidak pernah berhenti.”[10]
Seorang Muslim tujuan hidupnya adalah akhirat dan dunia sebagai ladang
menuju akhirat. Seorang Muslim wajib ingat bahwa dia diciptakan untuk
beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, dia wajib
meluangkan waktu untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , dan
hendaknya seorang Muslim setiap jam dan harinya penuh dengan ibadah
kepada Allâh Azza wa Jalla .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا ابْنَ آدَمَ ! تَـفَـرَّغْ لِـعِـبَـادَتِـيْ أَمْـلَأْ صَدْرَكَ
غِـنًـى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ ، وَإِنْ لَـمْ تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ
شُغْلًا وَلَـمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
‘Wahai anak Adam! Luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya
Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup
kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua
tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.’”[11]
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia dan
tidak boleh panjang angan-angan. Hadits-hadits tentang celaan terhadap
dunia dan kehinaannya di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat banyak.
Diriwayatkan dari Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berjalan melewati pasar saat banyak orang berada di pasar
tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati seekor
anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil dan telah mati pula.
Sambil memegang telinga anak kambing tersebut, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّكُم يُحِبُّ أنْ يَكُونَ هَذَا لَهُ بِدرْهَم ؟ فَقَالُوْا : مَا
نُحِبُّ أنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ ؟ ثُمَّ قَالَ :
أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ؟ قَالُوا : وَاللهِ لَوْ كَانَ حَيّاً كَانَ
عَيْباً ، إنَّهُ أسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ ميِّتٌ ! فَقَالَ : فوَاللهِ
للدُّنْيَا أهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
"Siapa diantara kalian yang suka membeli ini seharga satu dirham ?"
Orang-orang berkata, “Kami sama sekali tidak tertarik kepadanya. Apa
yang bisa kami perbuat dengannya ?” Beliau bersabda, “Apakah kalian suka
jika ini menjadi milik kalian ?” Orang-orang berkata, “Demi Allâh,
kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat, karena kedua
telinganya kecil, apalagi ia telah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allâh,
sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allâh daripada bangkai anak kambing
ini bagi kalian.”[12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
واللّٰـهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ - وَأَشَارَ يَـحْيَ بِالسَّبَّابَةِ - فِـي
الْيَمِّ ، فَـلْيَنْظُرْ بِمَ تَـرْجِعُ ؟
Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah
seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya -Yahya (perawi hadits)
berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, maka lihatlah apa yang
dibawa jarinya itu ?[13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, bahwa
dunia seperti air yang menempel di jari yang dicelupkan ke dalam lautan,
sedangkan akhirat adalah ibarat lautan yang sangat luas. Dunia ini
sedikit dan fana, sedangkan akhirat penuh dengan kenikmatan dan kekal
abadi.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لَـوْ كَـانَتِ الدُّنْـيَـا تَـعْـدِلُ عِـنْـدَ اللّٰـهِ جَـنَـاحَ بَـعُوْضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِـرًا مِنْـهَـا شَرْبَـةَ مَـاءٍ.
Seandainya dunia ini di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala senilai dengan
(berat) sayap nyamuk, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan memberi
minum sedikit pun darinya kepada orang kafir.[14]
Dunia ini tidak ada harganya meskipun hanya seberat sayap nyamuk. Tapi
anehnya manusia sibuk dan tamak kepada dunia, mereka lupa kepada
kehidupan akhirat yang penuh dengan kenikmatan. Bahkan manusia lebih
mengutamakan kehidupan dunia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Bahkan kalian mengutamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’lâ/87:16-17]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِيْ اثْنَتَيْنِ ؛ فِيْ حُبِّ الدُّنْيَا وَطُوْلِ الْأَمَلِ.
Senantiasa hati orang yang sudah tua, tetap muda (tetap tamak) kepada dua hal; cinta dunia dan panjang angan-angan.”[15]
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ ؛ الْحِرْصُ وَالْأَمَلُ.
‘Setiap anak Adam itu akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal; ambisi dan angan-angannya.”[16]
Begitu banyak manusia yang dilalaikan dengan dunia beserta
mimpi-mimpinya. Indahnya dunia telah menghalangi mereka dari jalan
petunjuk dan ketakwaan. Sementara itu, setan terus memperpanjang
khayalan-khayalan mereka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang akan muncul disebabkan
banyaknya angan-angan adalah malas untuk mengerjakan ketaatan,
menunda-nunda taubat, berambisi terhadap dunia, lupa akhirat, dan
mengerasnya hati. Sebab, kelembutan dan kejernihan hati terbentuk
hanyalah dengan mengingat kematian, alam kubur, dosa dan pahala, serta
dahsyatnya hari Kiamat.”[17]
FAWAA-Id HADITS
Ada beberapa faedah yang dapat kita petik dari hadits yang mulia ini, di antaranya:
1. Hendaknya seorang Muslim selalu waspada, jangan menjadikan dunia
sebagai tujuan dan jangan tertipu dengan dunia yang penuh dengan
keindahan yang menipu. Ingat, bahwa dunia adalah kehidupan yang hina,
sementara, sedikit, dan menipu.
2. Peringatan bagi seorang Muslim agar menjadikan akhirat sebagai
tujuannya, dia wajib ingat bahwa dia pasti mati dan kembali kepada
Allâh, karena itu dia wajib mempersiapkan bekal untuk akhirat dengan
melakukan amal-amal shalih dan menjauhkan larangan-larangan Allâh Azza
wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Peringatan tentang akibat yang buruk bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya.
4. Di antara akibat bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya
yaitu dijadikan kefakiran di depan pelupuk matanya dan urusannya
tercerai-berai.
5. Iman kepada qadha’ dan qadar dan kita wajib usaha sesuai dengan syari’at.
6. Di antara nikmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar dan
agung atas hamba-Nya, yaitu memberikan kekayaan pada hatinya, merasa
puas dan cukup dengan apa yang Allâh Azza wa Jallaaruniakan.
7. Luasnya karunia Allâh Azza wa Jalla dan kebaikannya kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa.
8. Seorang muslim tidak boleh panjang angan-angan, akan tetapi dia harus beramal shalih yang bermanfaat untuk akhiratnya.
9. Barangsiapa bertakwa kepada Allâh, maka Allâh akan memberikannya jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak di duga-duga.
10. Sesungguhnya rizki itu ada di Tangan Allâh, diperoleh dengan usaha yang halal.
11. Seorang Muslim wajib mencari nafkah, tapi jangan tamak kepada dunia.
12. Seorang Muslim hidupnya untuk ibadah kepada Allâh, karena itu ia
wajib menuntut ilmu, berlomba-lomba melakukan amal shalih, dan memenuhi
hak Allâh dan hak manusia.
Wallaahu k a’lam.
MARAAJI’:
1. Al-Qur'ânul Karîm.
2. Kutubus Sittah.
3. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
4. At-Ta’lîqâtul Hisaan ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
5. Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam.
7. ‘Iddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Ibnul Qayyim.
8. Ighâtsatul Lahafân.
9. Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân.
10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
11. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
12. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
13. Dan lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1436H/2014M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] sumber : almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. Lihat Lisânul ‘Arab (XV/137) dan al-Mu’jamul Wasîth (II/995).
[2]. Syarah Sunan Ibni Mâjah (I/302).
[3]. Syarah Sunan Ibni Mâjah (I/302).
[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Mâjah
(no. 4112), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih
(I/135, no. 135), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh
ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no.
2797).
[5]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6413), dan selainnya.
[6]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6414), dan selainnya.
[7]. Shahîh al-Bukhâri, kitab: ar-Riqâq, Lihat juga Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/378).
[8]. Dinukil dari ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, karya Imam
Ibnul Qayyim (hlm. 348, 350-356) dengan diringkas. Ta’liq dan takhrij:
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy.
[9]. Lihat ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn (hlm. 350-356), karya Imam Ibnul Qayyim, dengan diringkas.
[10]. Ighâtsatul Lahafân (I/87-88) dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân (hlm. 83-84).
[11]. Shahih: HR. Ahmad (II/358), at-Tirmidzi (no. 2466), Ibnu Mâjah
(no. 4107), dan al-Hâkim (II/443) dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (III/346, no.
1359) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3166).
[12]. Shahih: HR. Muslim (no. 2957).
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 2858) dan Ibnu Hibbân (no. 4315-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari al-Mustaurid al-Fihri Radhiyallahu anhu.
[14]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2320), Ibnu Mâjah (no. 4110) dan lainnya dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[15]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6420) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[16]. Shahih: HR. Ahmad (III/115, 275). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 8173).
[17]. Fat-hul Bâri (XI/213), cet. Darul Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar