• Antara Ruqyah Dan Akidah

    Risalah : Sakit - Obat " Antara Ruqyah Dan Akidah "









     Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc. MA hafidzahulloh





    SUMPAH IBLIS





    Alkisah, setelah menciptakan Adam Alaihissallam, Allâh Azza wa Jalla
    memerintahkan para penghuni surga saat itu; Malaikat dan setan untuk
    bersujud kepadanya. Sujud dalam arti penghormatan bukan penyembahan.
    Para penghuni surga terbelah menjadi dua. Sekelompok mematuhi perintah
    tersebut, mereka adalah para Malaikat. Sebagian lagi enggan, dengan
    dalih dia lebih hebat dibanding Adam Alaihissallam . Makhluk tersebut
    adalah iblis. Dia bermain logika bukan pada tempatnya, “Aku terbuat dari api, sedangkan Adam hanya terbuat dari tanah” [Al-A’râf/7:12]




    Allâh Azza wa Jalla murka dengan pembangkangan tersebut. Akibatnya
    iblis diusir dari surga. Dalam keadaan hina dina, iblis masih
    menyempatkan diri untuk bersumpah guna membalas ‘dendam kesumatnya’.


    Allâh Azza wa Jalla menceritakan hal itu dalam firman-Nya:






    قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٨٢﴾ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ






    (Iblis) berkata, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. [Shâd/38:82-83]





    Iblis juga memploklamirkan kegigihannya untuk menyesatkan bani Adam:








    قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿١٦﴾ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ






    (Iblis) berkata, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. [Al-A’râf/7:16-17]





    PERANGKAP SETAN





    Guna melancarkan proyek penyesatannya, iblis dan keturunan berikut kroninya menebarkan banyak ranjau untuk menjerat bani Adam.





    Menurut Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H), perangkap setan ada enam jenis:


    1. Kekufuran dan kesyirikan. Inilah target utama
      setan, jika berhasil maka manusia akan menjadi tentara iblis dan
      pasukannya. Namun bila gagal, maka insan akan dijerat dengan perangkap
      berikutnya:

    2. Bid’ah. Sebab, kata Imam ats-Tsauri, “Bid’ah lebih disukai iblis dibandingkan maksiat. Karena pelaku maksiat akan bertaubat sedangkan pelaku bid’ah tidak bertaubat”.[1] Jika tidak berhasil maka manusia akan dijerat dengan ranjau ketiga, yaitu:

    3. Dosa besar dengan berbagai macam jenisnya. Setan
      berusaha keras untuk menjerumuskan seorang hamba ke dalam perbuatan dosa
      besar. Apalagi jika ia adalah seorang panutan di masyarakat, seperti
      para Ulama misalnya. Setelah terjerumus, setan bekerjasama dengan
      kroni-kroninya untuk mem’publikasikan’ ‘kecelakaan’ tersebut di hadapan
      umat, agar mereka menjauhinya. Jika gagal, setan akan menebar ranjau
      keempat, yakni:

    4. Dosa kecil. Seorang hamba dijadikan meremehkan dosa
      kecil, sehingga dilakukannya berkali-kali sampai berbalik menjadi dosa
      besar. Kalau tidak berhasil, setan memasang perangkap kelima, yaitu
      dengan:

    5. Menyibukkan manusia dalam hal-hal yang mubah,
      sehingga terlalaikan dari amalan-amalan yang berpahala. Andaikan target
      yang diincar adalah orang yang senantiasa menjaga waktunya dan sadar
      akan keterbatasan masa hidupnya di dunia, maka setan akan
      menjerumuskannya ke ranjau yang keenam. Yakni:

    6. Menyibukkannya dengan amalan-amalan yang utama, namun dijadikan lupa akan amalan-amalan yang lebih utama,
      karena keterbatasan ilmu dia. Seperti sebagian kalangan yang
      tersibukkan dengan dakwah kepada akhlak, sehingga melalaikan dakwah
      kepada tauhid. Sedemikian halusnya perangkap ini, sehingga banyak orang
      yang terjerumus ke dalamnya, dan mengira bahwa ia berada di jalan
      kebenaran.



    Seorang hamba tidak akan selamat dari berbagai perangkap di atas
    melainkan dengan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla dan dengan terus
    mempelajari ilmu syar’i yang berisikan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam .[2]





    TERNYATA SETAN PUN PUNYA PRIORITAS





    Dari keterangan di atas kita bisa memahami bahwa setan itu punya
    skala prioritas dalam menjerumuskan bani Adam. Kubangan favorit utama
    setan adalah kekufuran dan kesyirikan. Atau dengan kata lain akidahlah
    yang target pertama yang disasar mereka. Sebab akidah merupakan pondasi
    fundamental seseorang. Bila rusak, maka dijamin akan rusak pula
    sisi-sisi lain dalam kehidupannya.





    Dari sini kita mengetahui mengapa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam dan para rasul lainnya memulai dakwah mereka terhadap akidah atau
    tauhid. Sebab itu merupakan pondasi dasar beragama. Bila kuat, maka
    bangunan di atasnya pun akan kuat. Sebaliknya bila rapuh, maka niscaya
    akan lebih rapuh lagi yang di atasnya.





    Karena itulah, setan menjadikan akidah seorang Muslim sebagai target
    utama perusakan. Bila gagal, maka ia akan membidik sisi-sisi lainnya.
    Seperti amaliah, akhlak atau yang lainnya.





    JURUS-JURUS SETAN





    Dalam merusak akidah seorang Muslim, setan akan melancarkan berbagai
    jurus dan trik licik. Terkadang menggunakan pendekatan kultus tokoh. Di
    lain kesempatan melalui pintu pelestarian budaya nenek moyang. Tidak
    jarang pula memakai alasan ‘pengobatan’ dan ikhtiar.





    Alasan terakhir di atas yang insya Allâh akan kita soroti lebih banyak pada kesempatan kali ini.





    Setan tentu merasa senang saat melihat bani Adam tersiksa, karena
    perasaan dendam yang disimpannya. Sehingga seringkali ia berusaha keras
    untuk menyakiti manusia dengan berbagai cara. Setelah itu ia datang, bak
    ‘dewa penyelamat’ yang akan membantu manusia untuk melepaskannya dari
    rasa sakit yang dialaminya. Padahal sebenarnya dia punya misi untuk
    menjerumuskan manusia ke dalam lobang hitam yang jauh lebih dalam.





    Bila kemarin yang sakit adalah fisiknya dan efeknya duniawi belaka.
    Maka setelah ‘ditolong’ setan, sekarang yang sakit adalah rohaninya dan
    efeknya akan terasa hingga alam akhirat kelak.





    Sering penulis didatangi orang-orang yang mengeluhkan gangguan yang
    mereka derita. Entah itu yang bersifat supranatural, seperti sihir dan
    kesurupan. Atau yang berupa penyakit fisik dan medis. Di antara advis
    pokok yang selalu kami sampaikan, “Jangan sekali-kali mengambil jalan
    pintas dengan mendatangi dukun! Sebab derita yang Anda alami saat ini
    adalah bersifat fisik. Seperti pusing berkepanjangan, sakit perut yang
    tak kunjung sembuh dan yang semisal. Tapi bila Anda sampai meminta
    pertolongan kepada dukun, maka derita yang akan Anda alami jauh lebih
    mengerikan. Sebab akan terbawa hingga akhirat kelak.





    Orang masuk neraka bukan karena ia penderita kanker atau tumor atau
    penyakit fisik lainnya. Namun penyebab utama masuk neraka adalah
    penyakit rohani. Terutamanya akidah yang rusak.”





    KRONI SETAN





    Demi melancarkan proyek penyesatan manusia, setan berkolaborasi
    dengan rekan-rekan seprofesi dari bangsa lain. Allâh Azza wa Jalla
    menjelaskan:






    وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ
    الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ
    غُرُورًا






    Begitulah ketetapan Kami. Setiap nabi, Kami hadapkan dengan musuh dari golongan manusia dan jin. Mereka saling membisikkan kepada yang lain perkataan manis yang penuh tipuan. [Al-An’âm/6: 112]





    Dalam Shahih al-Bukhâri disebutkan secara spesifik siapa rekan utama setan tersebut:








     قَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها : سَأَلَ أُنَاسٌ النَّبِيَّ   صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
    عَنِ الْكُهَّانِ فَقَالَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْءٍ!. فَقَالُوا: يَا
    رَسُولَ اللهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا؟!.
    قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ
    صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
    تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ
    فَيُقَرْقِرُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ،
    فَيَخْلِطُونَ فِيهِ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ






    Aisyah Radhiyallahunahuma bertutur, “Suatu hari ada orang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para dukun.
    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka tidak ada
    apa-apanya!”. Para Shahabat menyambung, “Wahai Rasûlullâh, sungguh
    mereka terkadang menyampaikan suatu berita dan ternyata benar.” Maka
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Berita benar itu dicuri
    oleh jin, lalu dibisikkannya ke telinga rekan dekatnya layaknya kotekan
    ayam. Lalu diramunya dengan lebih dari seratus kedustaan.”
    [HR. Al-Bukhâri, no. 7561]





    Jadi, antara setan dan dukun terjadi ‘simbiosis mutualisme’. Setan
    merasa memiliki prestise dan perasaan bangga; sebab dukun menyembahnya.
    Sedangkan dukun kegirangan; karena mendapatkan amunisi bantuan banyak
    dari setan.





    Seringkali para dukun dan tukang sihir bisa melakukan atraksi-atraksi
    yang mencengangkan. Orang yang beriman tidak mudah termakan; karena ia
    tahu bahwa sejatinya mereka telah berkolaborasi dengan setan untuk
    melakukan atraksi tersebut.[3]





    Setan tidak mungkin membantu para tukang sihir secara cuma-cuma.
    Mereka harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama, sebagai
    bentuk kompensasi bantuan tersebut.[4] Semakin kufur atau syirik perbuatan yang dipersembahkan, maka bantuan yang diberikan setan semakin besar.[5]





    Kenyataan ini bukanlah isapan jempol belaka atau fitnah murahan,
    namun fenomena tersebut diakui oleh para mantan dukun yang telah
    bertaubat. Mereka bersaksi bahwa untuk menggapai ‘kesaktian’ yang
    dimiliki, mereka diharuskan untuk melakukan kesyirikan dan kekufuran.
    Ada yang mengatakan bahwa mereka dulunya memohon bantuan kepada iblis,
    ada yang tidak menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, ada
    yang menempelkan lembaran-lembaran mushaf al-Qur’an di tembok WC dan
    berbagai tindak kekufuran lainnya.[6]





    Adanya kolaborasi para dukun dengan setan telah dijelaskan para Ulama
    Islam sejak dulu kala. Sebagaimana dipaparkan antara lain oleh Imam
    Syâfi’i t (w. 204 H)[7], al-Baidhawi rahimahullah (w. 685 H)[8] dan Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (w. 852 H )[9]





    Pembahasan di atas bukan hanya membidik para dukun yang notabene
    beraliran hitam. Yang  biasanya ditandai dengan blangkon atau iket di
    kepala dan pakaian serba hitam. Tidak lupa menyelipkan sebilah keris di
    pinggang serta menyalakan kemenyan dan dupa di depannya. Namun
    peringatan di atas juga terarah kepada mereka yang menamakan diri dukun
    putih. Yang kerap berbusana bak seorang wali, dengan sorban di kepala
    dan jubah putih, serta tidak lupa bersenjatakan seuntai tasbih yang
    biji-bijinya terkadang mengalahkan besarnya bola pingpong. Mereka semua
    sama!





    Seyogyanya kaum Muslimin bersikap cerdas dalam menilai sesuatu. Tidak
    mudah terkecoh dengan tipuan penampilan. Justru dia tetap menjadikan
    substansi sesuatu sebagai tolok ukur penilaian.





    RAMBU-RAMBU IKHTIAR





    Di antara potret keindahan ajaran Islam, selain mengajarkan tawakkal,
    agama kita juga memotivasi umatnya agar berikhtiar, berdaya upaya dan
    berusaha untuk menggapai keinginan serta cita-citanya.


    Guna mendulang rezeki misalnya, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:






    لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً مِنْ حَطَبٍ،
    فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
    يَسْأَلَ رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ






    Seseorang mencari seikat kayu bakar lalu dipanggul di atas
    pundaknya dan dijual, lebih mulia dibandingankan dia meminta-minta
    kepada orang lain, diberi atau tidak.
    [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan redaksi Muslim]





    Orang yang sakit dan menginginkan kesembuhan, diperintahkan oleh
    Islam untuk berobat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:






    تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ؛ الْهَرَمُ






    Berobatlah! Sesungguhnya Allâh l tidaklah menurunkan penyakit
    melainkan menciptakan obatnya. Kecuali satu penyakit, yaitu penyakit
    tua.
    [HR. Abu Dawud (IV/125 no. 3855) dari Usamah bin Syarik z dan dinilai hasan sahih oleh at-Tirmidzi, hlm. 461, no. 2039]





    Namun demikian, dalam hal ikhtiar, Islam tidak membebaskan umatnya
    berlaku sekehendaknya tanpa aturan. Justru agama kita membuat
    rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Yang pada hakikatnya bertujuan
    untuk kemaslahatan insan, dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.





    Di antara rambu-rambu ikhtiar, yang amat disayangkan masih sering
    dilanggar, termasuk di negeri kita, larangan Islam untuk memanfaatkan
    ‘jasa’ dukun, paranormal, tukang sihir dan yang semisal.





    Padahal sejak empat belas abad lalu, panutan kita Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan tegas,






    مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ؛ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً






    Barangsiapa mendatangi peramal, lalu ia bertanya tentang sesuatu
    padanya; maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.
    [HR. Muslim (IV/1751 no. 2230] dari sebagian istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .





    Hadits lain memberikan statemen yang lebih keras lagi,






    مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِراً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ؛ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ






    Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang sihir lalu mempercayai
    apa yang dikatakannya; maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan
    kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
    [HR. Al-Bazzar (V/315 no. 1931) dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai sahih oleh Ibn Katsir][10]





    Barangkali ada sebagian kalangan yang bertanya-tanya, mengapa Islam
    begitu ‘keras’ dalam hal ini? Bukankah para dukun itu hanya ingin
    berbuat baik kepada sesama, dengan memberdayakan ‘daya linuwih’ yang
    dimiliki. Lantas apa salahnya?





    Satu hal yang seharusnya selalu diingat setiap insan, manakala Islam
    melarang suatu perbuatan, pasti perbuatan tersebut memuat kerusakan
    fatal atau mengakibatkan bahaya besar bagi pelakunya, baik di dunia
    maupun akhirat. Sekalipun barangkali perbuatan itu mengandung beberapa
    manfaat. Jika dicermati ulang dengan teliti, ternyata manfaat tadi bila
    dibandingan dengan keburukan yang ditimbulkannya, jelas tidak ada
    apa-apanya.





    PENGOBATAN ISLAMI UNTUK KORBAN SIHIR





    Disamping mempelajari tata cara pencegahan dari sihir, perlu kiranya
    kita mempelajari pula cara pengobatan jika seseorang telah terkena
    sihir. Sebab banyak orang yang keliru dalam hal ini. Mereka memilih
    jalan pintas dengan mendatangi dukun atau ‘orang pintar’. Sehingga yang
    terjadi adalah fenomena ‘jeruk makan jeruk’!


    Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala ditanya tentang nusyrah (pengobatan orang yang terkena sihir), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:








    هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ






    Itu adalah perbuatan setan. [HR. Abu Dawud (IV/201 no. 3868) dari Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhu dan isnadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah][11]





    Yang dikategorikan termasuk perbuatan setan adalah jenis pengobatan sihir orang-orang jahiliyah.[12]
    Di antaranya adalah pengobatan sihir dengan sihir serupa. Sebab hal
    tersebut sama saja melariskan tukang sihir dan membenarkan perilaku
    mereka yang berkolaborasi dengan setan dalam menjalankan pekerjaannya.[13]


    Apalagi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa pengobatan sihir
    dengan sihir serupa hanya akan mengakibatkan terjadinya silsilah yang
    tidak ada putusnya. Sebab manakala tukang sihir tersebut kalah, maka
    pelaku akan mencari tukang sihir lain yang lebih ‘sakti’. Tatkala korban
    terdesak ia akan mencari tukang sihir lain yang lebih kuat, begitu
    seterusnya. Ia berpindah dari satu tukang sihir ke tukang sihir lainnya.
    Bahkan ada korban yang selama delapan tahun menyambangi lebih dari
    seratus dukun! Sampai akhirnya alhamdulillâh ia mendapat petunjuk untuk menempuh pengobatan islami.[14]





    Andaikan sejak awal ia berlindung kepada Dzat Yang Maha Kuat; yakni Allâh Azza wa Jalla , jangankan satu dukun, sejuta dukun yang paling kuatpun tidak akan berdaya!





    Berikut sebagian kiat pengobatan sihir yang Allâh Azza wa Jalla
    ajarkan dalam al-Qur’ân maupun lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
    wa sallam dalam sunnah:


    1. Ruqyah Syar’iyyah



    Atau pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’ân dan dzikir-dzikir yang diajarkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:






    وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ



     


    Kami turunkan al-Qur’an sebagai penyembuh. [Al-Isrâ’/17:82][15]





    Al-Qur’ân merupakan obat penyakit jasmani maupun rohani.[16]





    Adapun dalil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara
    lain: kisah ruqyah Jibril q atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat
    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam disihir oleh Labid bin al-A’sham.
    Di mana saat itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diruqyah dengan
    dibacakan surat al-Falaq dan an-Nâs. Hadits yang menceritakan kejadian
    tersebut akan kami sebutkan di akhir makalah ini.





    Seluruh ayat al-Qur’an bisa dipakai untuk ruqyah, tidak harus dipilih
    ayat-ayat tertentu. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap
    surat-surat yang pernah dipakai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam untuk meruqyah atau surat yang dijelaskan secara spesifik
    berkhasiat mengusir setan. Semisal surat al-Fâtihah, al-Baqarah,
    al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nâs.





    Kemudian ditambahkan dengan bacaan-bacaan yang disebutkan dalam hadits sahih. Semisal:








    اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا






    Allâhumma Rabbannâs mudzhibal ba’s, isyfi Antasy Syâfî lâ syâfiya illâ Anta syifâ’an lâ yughâdiru
    saqaman (Ya Allâh, Rabb para manusia, Yang menghilangkan penyakit.
    Sembuhkanlah sesungguhnya Engkau Maha penyembuh. Tidak ada penyembuh
    selain engkau. Berilah kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.
    [HR. Al-Bukhâri dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]


    Juga:






    بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ
    شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ، بِاسْمِ
    اللَّهِ أَرْقِيكَ






    Bismillâhi arqîk, min kulli syai’in yu’dzîk, min syarri kulli nafsin au ‘ainin hâsidin, Allâhu yasyfîk, bismillâhi arqîk


    Dengan nama Allâh aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang
    menyakitimu. Berupa kejahatan setiap jiwa atau mata yang dengki. Semoga
    Allâh menyembuhkanmu. Dengan nama Allâh aku meruqyahmu.
    [HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu]





    Metode ruqyah yang dibawa Islam tentu berbeda dengan metode ruqyah
    ‘gadungan’. Ia memiliki karakteristik yang jelas. Di antaranya yang
    paling menonjol: ia bersih dari praktek kesyirikan


    Hal itu ditunjukkan oleh keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits yang
    melarang syirik. Masih ditambah larangan spesifik memasukkan praktek
    syirik dalam ruqyah. Sebagaimana termaktub dalam hadits ‘Auf bin Malik
    al-Asyja’i Radhiyallahu anhu :






    اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ






    Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama di dalamnya tidak bermuatan syirik. [HR. Muslim]





    Tidak ada perselisihan pendapat di antara para Ulama mengenai haramnya berobat dengan cara syirik.


    Contoh ruqyah syirkiyyah adalah ruqyah yang bermuatan permintaan tolong kepada selain Allâh Azza wa Jalla .





    Semisal permintaan tolong kepada Nabiyullah Adam Alaihissallam atau Hawa’ agar menyembuhkan penyakit.[17] Begitu pula permohonan bantuan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Ahmad ar-Rifâ’i,[18] Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.[19] para Malaikat,[20] bahkan ada pula yang meminta tolong kepada iblis raja diraja setan. [21]





    SIAPA YANG BOLEH MERUQYAH?





    Ruqyah bukanlah monopoli ustadz ataupun kyai. Siapapun orang yang
    beriman dan bisa membaca al-Qur’an boleh meruqyah. Namun seyogyanya ia
    khusyu’ saat meruqyah, berusaha memahami bacaan ruqyah dan mengiringinya
    dengan keyakinan penuh akan khasiat dan kemujaraban ruqyah tersebut.
    Baik dalam diri peruqyah maupun yang diruqyah. Tidak cukup jika niatnya
    hanya coba-coba.[22]





    Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:






    ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ





    Mohonlah kepada Allâh dalam keadaan kalian yakin dikabulkan.
    Ketahuilah Allâh tidak mengabulkan permohonan yang muncul dari hati yang
    lalai.
    [HR. Tirmidzi (hlm. 790 no. 3479) dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani][23]





    Sebagian orang tatkala berobat kepada dokter terkenal dan diberi
    resep mahal begitu yakin akan sembuh dari penyakitnya. Padahal ilmu
    kedokteran bersumber dari eksperimen yang yang bisa jadi benar dan bisa
    jadi pula keliru. Mengapa ia tidak bisa menumbuhkan keyakinan akan
    khasiat obat al-Qur’ân, yang mana itu bukanlah hasil eksperimen, namun
    wahyu dari Rabbul ‘alamin, yang pasti benarnya?![24]





    Penulis bukan sedang menghalangi orang untuk berikhtiar melalui jalur
    medis, namun penulis hanya ingin mengajak kaum Muslimin bersikap
    proposional dalam keyakinan di atas.


    1. Memusnahkan Media Sihir



    Di awal ayat keempat surat al-Falaq dijelaskan bahwa dalam rangka mengerjakan sihirnya para tukang sihir memakai media buhul. Nah, salah satu cara tuntas pengobatan sihir adalah dengan memusnahkan media sihir, baik itu buhul ataupun yang lainnya.[25]





    Dalilnya, antara lain peristiwa disihirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi
    wa sallam dan penguraian media sihirnya oleh Ali bin Abi Thâlib
    Radhiyallahu anhu. Zaid bin Arqam z mengisahkan kejadian tersebut:








    سَحَرَ النَّبِيَّ n رَجُلٌ
    مِنَ الْيَهُوْدِ، قَالَ: فَاشْتَكَى فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَنَزَلَ
    عَلَيْهِ بِالْمُعَوِّذَتَيْنِ، وَقَالَ: إِنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ
    سَحَرَكَ، وَالسِّحْرُ فِي بِئْرِ فُلاَنٍ، قَالَ: فَأَرْسَلَ عَلِيًّا
    فَجَاءَ بِهِ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يُحَلَّ الْعُقَد، وَتُقْرَأَ آيَة،
    فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَيَحُلَّ حَتَّى قَامَ النَّبِيُّ
    صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَأَنَّمَا أَنْشَطَ مِنْ عِقَالٍ، قَالَ: فَمَا ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِذَلِكَ الْيَهُوْدِيِّ شَيْئاً مِمَّا صَنَعَ بِهِ، قَالَ: وَلاَ أَرَاهُ فِي وَجْهِهِ








    Seorang Yahudi menyihir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
    Beliau menderita. Jibrilpun mendatanginya dan menurunkan pada Beliau
    surat al-Falaq dan an-Nas. Malaikat Jibril berkata, “Seorang Yahudi
    telah menyihirmu. (Buhul) sihirnya ada di sumur si fulan”. Kemudian Ali diutus untuk mengambilnya dan menguraikan buhul tersebut sambil dibacakan ayat. Ali pun membaca sambil menguraikannya, hingga
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit kembali seperti orang yang
    baru lepas dari belenggu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
    sekali tidak mengomentari perbuatan Yahudi tersebut. Hanya saja Beliau
    berpesan, “Aku tidak mau melihat wajahnya”.
    (HR. ‘Abd bin Humaid (I/228 no. 271) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh Salîm al-Hilâli dan Syaikh Muhammad Alu Nashr.[26]





    Cara menemukan media sihir tersebut adalah dengan pengakuan tukang
    sihir, atau jin yang merasuk dalam diri korban sihir. Namun perlu
    waspada dan tidak gampang percaya dengan omongannya; sebab tabiat asli
    mereka adalah pendusta.[27]





    Jika langkah tersebut tidak memungkinkan, maka seyogyanya korban
    menghiba dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar ditunjukkan tempat
    disembunyikannya media sihir tersebut. Jika ia bersungguh-sungguh dalam
    permohonannya, seringkali petunjuk tersebut datang dalam mimpi,
    digambarkan di manakah ‘persembunyian’ media tersebut.[28]





    Setelah media tersebut ditemukan, jika berupa buhul, maka buhul
    tersebut diuraikan satu persatu dengan dibacakan surat al-Falaq dan
    an-Nas, sebagaimana dalam hadits di atas. Lalu dipendam dalam tanah,
    sebagaimana dalam hadits berikut:






    فَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ






    lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar buhul itu dipendam. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma])





    Wallahu a’lam bish shawab…





    Semoga bermanfaat!





    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1435H/2014. ]










    Artikel : almanhajOrId





    _______

    Footnote

    [1] Diriwayatkan oleh al-Lalikâ’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl as-Sunnah (I/149 no. 238) dan Ibn al-Jauzi dalam Talbîs Iblîs (I/110). Dan dinukil pula oleh al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah (I/216), al-Qurthubi dalam Tafsirnya (IX/121) serta as-Suyûthi dalam al-Amr bi al-Ittibâ’ (hlm. 67)\ 


    [2] Badâ’i’ al-Fawâ’id (II/799-802).


    [3] Lihat: Kitab an-Nubuwwât karya Ibn Taimiyyah (II/830-831)


    [4] Lihat: Al-Furqân baina Auliyâ’ ar-Rahmân wa Auliyâ’ asy-Syaithân karya Ibn Taimiyyah (hlm. 331-332)


    [5] Lihat: At-Tafsîr al-Qayyim (hlm. 581)


    [6] Lihat: Majalah Ghoib, edisi khusus “Dukun-dukun Bertaubat” (hlm. 12-14, 17, 19, 20, 22, 43), edisi 32 (hlm. 5), edisi 56 (hlm. 11), edisi 70 (hlm. 8).


    [7] Lihat: Tafsir al-Qurthubi (II/274).


    [8] Lihat: Tafsir al-Baidhawi (hlm. 21).


    [9] Lihat: Fath al-Bary (X/222).


    [10] Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (I/393).


    [11] Sebagaimana dalam catatan kaki beliau atas Misykât al-Mashâbîh karya at-Tibrizy (II/1284 no. 4553)


    [12] Cermati: Mirqâh al-Mafâtîh karya al-Mulla ‘Ali al-Qâry (VIII/373) dan ‘Aun al-Ma’bûd karya Syamsul Haq (X/249)


    [13] Lihat: Ma’ârij al-Qabûl karya Syaikh Hafizh Hakami (II/711)


    [14] Majalah Ghoib edisi 58 (hlm. 9-10)


    [15] Huruf min dalam ayat di atas bukan bermakna tab’îdh (sebagian)
    namun berfungsi untuk menjelaskan jenis. Sebab seluruh ayat al-Qur’an
    adalah obat bukan hanya sebagiannya saja. Lihat: Ma’ânî al-Qur’ân karya an-Nahhas (IV/187) dan Zâd al-Masîr karya Ibn al-Jauzi (V/79)


    [16] Lihat: Al-Mufhim karya Abu al-Abbas al-Qurthuby (V/581), Zâd al-Ma’âd karya Ibn al-Qayyim (IV/352) dan Fath al-Qadîr karya asy-Syaukani (I/1298)


    [17] Lihat: Bid’ah-bid’ah di Indonesia karya Badruddin Hasubky (hlm. 104)


    [18] Lihat: Saripati Mujarrobat karya Fairuz Masduqi (hlm. 47-50)


    [19] Lihat: Majalah Ghoib, edisi khusus “Dukun-dukun Bertaubat” (hlm. 37)


    [20] Lihat: Tabloid Posmo, edisi
    327, tanggal 27 Juli 2005 (hlm. 20). ‘Praktisi’ ruqyah yang menyandang
    gelar Kyai yang dijadikan narasumber dalam tabloid tersebut
    mengklasifikasikan para malaikat dengan sangat aneh. Katanya: malaikat
    Adam Ahmad penguasa daratan, malaikat Khidir Ahmad penguasa lautan,
    malaikat Ifrid penguasa api, malaikat Eva Ahmad penguasa angin, malaikat
    Jibril Ahmad pemimpin kelima malaikat tersebut di atas. Para malaikat
    tersebut lah yang membantu praktek pengobatannya, menurut klaim dia
    tentunya!


    [21] Lihat: Majalah Misteri, edisi 375, tanggal 5-19 Juni 2005 (hlm. 117)


    [22] Periksa: At-Tamhîd karya Ibn Abd al-Barr (XXIII/29), Azhâr ar-Riyâdh karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/350), Fath al-Bary karya Ibn Hajar (X/196), ath-Thibb an-Nabawy karya Ibn al-Qayyim (hal. 101) dan al-Fatâwâ adz-Dzahabiyyah fî ar-Ruqâ asy-Syar’iyyah (hal. 21)


    [23] Sebagaimana dalam as-Silsilah ash-Shahîhah (II/141 no. 596) dan Shahîh al-Jâmi’ (I/108 no. 245)


    [24] Cermati: Fath al-Bâry karya Ibn Hajar (X/170) cet al-Maktabah as-Salafiyyah.


    [25] Lihat: Zâd al-Ma’âd (IV/125) dan ath-Thibb an-Nabawy (hlm. 100).


    [26] Lihat: Al-Istî’âb fî Bayân al-Asbâb (III/589).


    [27] Ash-Shârim al-Battâr fî at-Tashaddî li as-Saharati al-Asyrâr karya Wahid Abdussalam Bali (hal. 117).


    [28] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah fî at-Tashaddî li al-Musya’widzîn wa as-Saharah karya Usamah al-Ma’any (hal. 588-589).






  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent