• EMPAT PRINSIP MENJALIN HUBUNGAN DENGAN PENGUASA







     Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili –hafizhahullah-





    Termasuk pengetahuan yang penting, yakni seorang muslim memahami
    kewajiban, bagaimana cara bersikap kepada penguasa yang ada di
    negerinya. Apabila orang-orang tidak memahami cara bersikap kepada
    penguasa muslim, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan
    .”





    Dalam majelis ini, saya ingin berbicara tentang empat prinsip yang
    dibawa oleh Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
    membicarakan mu’amalah dengan penguasa, yaitu:





    Prinsip Pertama. Berkeyakinan wajibnya bai’at bagi penguasa.





    Apabila kondisi sosial menjadi stabil pada masanya, maka setiap orang
    yang berada di bawah kekuasaannya, wajib meyakini bahwa sang penguasa
    berhak dibai’at oleh mereka. Meskipun ia tidak pergi untuk memba’itnya. Karena, agar bai’at itu sempurna, tidak harus melakukannya secara langsung. Masalah ini menurut para fuqaha, apabila ahlu halli wal ‘aqdi (para tokoh yang terpandang) dan kemudian keadaan menjadi stabil pada seorang penguasa, maka bai’at menjadi sah baginya dan berlaku pada semua orang.






    Kewajiban setiap orang, ia harus meyakini ada tuntutan bai’at atasnya. Ini merupakan kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh keluar darinya. Orang yang tidak meyakini kewajiban bai’at kepada penguasa di negerinya yang menjadi kewajibannya, ia terancam dengan ancaman yang keras.


    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





    مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ
    الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ
    بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً





    Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa), niscaya akan
    menjumpai Allah tanpa memiliki hujjah (alasan). Dan barangsiapa
    meninggal tanpa ikatan bai’at, maka kematiannya (seperti) kematian
    jahiliyah
    . [HR Muslim, 3441].





    Seorang muslim yang berkeyakinan tidak wajib membai’at
    penguasa, ia terancam, kematiannya layaknya kematian orang jahiliyah
    -semoga Allah melindungi kita dari keadaan buruk ini. (Oleh karenanya),
    kewajiban seorang muslim meyakininya dengan mantap. Dan seyogyanya,
    seorang muslim mengetahui bahwa, bai’at kepada penguasa bukan
    bagai kalung yang bisa diletakkan dan dicabut kapan saja; jika suka ia
    letakkan, dan bila tidak suka mencabutnya. Tetapi kewajiban bai’at tetap berlaku selama kekuasaan penguasa masih ada di negeri tersebut. Seorang muslim tidak boleh menarik diri dari bai’at ini.





    Prinsip Kedua. Menasihati para penguasa dengan menjauhi sikap khuruj (berontak, membangkang, pent), mencaci-maki dan menghina, serta menanamkan antipati dalam hati rakyat terhadapnya. 





    Berkaitan dengan tindak-tanduk penguasa, ada dua kelompok yang
    menyikapinya dengan dua sikap yang keliru. Salah satunya menilai, al hakim (penguasa) adalah manusia yang ma’shum
    (terjaga) dari segala kesalahan. Segala tindakannya benar adanya,
    karena ia menghukumi berdasarkan perintah Allah. Kedudukannya, layaknya
    seorang nabi dalam segala tindakan dan ucapan. Demikian menurut
    pandangan Rafidhah.





    Sedangkan kelompok kedua memiliki pandangan, memiliki sikap yang
    berseberangan dengan yang pertama. Yaitu, apabila penguasa melakukan
    sebuah kesalahan, maka kesalahan itu dibesar-besarkan, bahkan
    kadang-kadang dikafirkan karenanya. Dan menurut mereka, wajib melakukan
    pemberontakan kepadanya. Dua golongan itu bertentangan dengan Sunnah
    Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .





    Seperti biasanya, ahlul haq, Ahli Sunnah berada di posisi
    tengah, dengan mengatakan, seorang hakim adalah manusia biasa. Dia
    memiliki potensi melakukan kesalahan dan kebenaran. Sebagian tindakannya
    ada yang benar, dan ada tindakannya yang salah. Namun, munculnya
    kesalahan tidak membolehkan untuk memberontak, dicaci, dihina
    kehormatannya, dan tidak boleh menumbuhkan hati masyarakat menjadi
    antipati kepadanya. Yang harus dikerjakan, menasihatinya dan menjelaskan
    kesalahannya melalui mekanisme yang dibenarkan syariat dan
    mempertimbangkan situasi serta kondisi, berdasarkan Sunnah Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam .





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :





    إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا : (مِنْهِا ): وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ 





    Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian (di antaranya),
    kalian menasihati orang-orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan
    kalian
    . [HR Ahmad, 23278; Malik, 1578].





    Allah meridhai dari kalangan hambaNya kaum Muslimin, agar mereka
    menasihati orang-orang yang dijadikan pemimpin atas mereka, agar jujur
    dalam mu’amalahnya, dan menjelaskan kesalahan dengan cara yang diperbolehkan syariat, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi.





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





    ثَلَاثٌ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ إِخْلَاصُ
    الْعَمَلِ وَالنَّصِيحَةُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ
    فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُونُ مِنْ وَرَائِهِ





    Ada tiga hal, hati seorang mukmin tidak dirasuki dengki saat
    melakukannya. Yaitu : ikhlas beramal untuk Allah, menasihati waliyul
    amr, dan konsisten bersama dengan jama’ah
    .





    Tiga hal ini, hati seorang muslim tidak dirasuki rasa dengki di dalamnya.





    Pertama. Hendaknya amalan seorang manusia
    ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam semua urusannya, terutama
    dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Hendaknya nasihat dan sikap
    yang ia berikan kepada penguasa karena Allah dan ditujukan kepada Allah.
    Apabila berbicara tentang waliyul amr, ia berbicara karena Allah. Ketika menasihati penguasa, maka ia lakukan karena Allah. Tidak menginginkan balasan duniawi.





    Kedua. Apabila
    seorang manusia benar-benar ikhlas, pasti ia akan menasihati penguasa.
    Termasuk dalam konsekwensi ikhlas kepada Allah, yaitu seseorang
    menasihati waliyul amr.





    Ketiga, dan termasuk dari makna menasihati waliyul amr, yaitu sikap untuk selalu bersama dengan jama’ah.
    (Maka sungguh) merupakan kedustaan, kedustaan dan kedustaan, (yaitu)
    orang yang mengklaim  menasihati penguasa, tetapi menyingkir dari jama’ah. Tidak ada nasihat yang jujur kecuali dengan bergabung dengan jama’ah muslimin.





    Demikianlah yang dijelaskan Nabi dengan bahasa Arab yang fasih.
    Beliau menjelaskan tiga perkara yang saling berkaitan dengan lainnya.
    Pertama, ikhlas kepada Allah. Disusul dengan munashahah (menasihat) kepada waliyul amr. Dan berikutnya, selalu bergabung dengan jama’ah kaum Muslimin.





    Tentang nasihat kepada penguasa ditempuh dengan cara yang dapat menghasilkan maslahat,
    bukan yang mendatangkan kerusakan. Sehingga tidak dilakukan di atas
    podium-podium. Disampaikan kepada penguasa dengan cara yang tidak
    menyulut emosi masyarakat kepadanya. Orang yang benar-benar ingin
    menasihati penguasa karena Allah, ia hanya menginginkan perbaikan
    semata, tidak bermaksud menunjukkan jasa, atau dikatakan sebagai orang
    kuat yang berani berbicara tentang penguasa. Keinginannya hanyalah,
    timbulnya kebaikan bagi negara dan masyarakat. Dan kebaikan hanya
    terwujud jika menjelaskan kesalahan dengan cara yang baik, disertai
    kesatuan hati masyarakat kepada penguasa agar tidak tersebar fitnah.





    Pada zaman Utsman Radhiyallahu anhu terjadi fitnah. Ada orang berkata
    kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma : “Tidakkah engkau
    mengingkari ‘Utsman?”


    Usamah Radhiyallahu anhuma menjawab,”Aku mengingkarinya di depan
    massa? Aku akan mengingkarinya saat berdua. Aku tidak ingin membuka
    pintu fitnah bagi orang-orang.” [HR Syaikhan, Ahmad, 5/206, dengan berbagai lafazh dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.]





    Dalam pandangan para sahabat, sudah menjadi sebuah ketetapan di
    kalangan para sahabat, bahwa menasihati penguasa di depan umum akan
    membuka pintu fitnah. Oleh karenanya, Usamah bin Zaid Radhiyallahu
    anhuma memegangi prinsip yang agung ini. Pendapat ini berdasarkan hadits
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





    مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ
    لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ
    قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ





    Barangsiapa ingin menasihati sulthan (penguasa) dengan suatu
    masalah, janganlah menampilkan kepadanya secara terang-terangan. Tetapi,
    hendaknya menggandeng tangannya dan untuk berduaan dengannnya. Apabila
    ia menerima darinya, maka itulah (yang diharapkan). Kalau tidak, berarti
    telah melaksanakan kewajibannya
    . [Hadits shahih, HR Ahmad, 3/403; Ibnu Abi ‘Ashim, 2/507; dishahihkan Syaikh al Albani dalam Zhilalul Jannah, hlm. 507.]





    Demikianlah yang dipaparkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
    Maksudnya, orang yang akan menasihati penguasa, tidak memperlihatkannya
    di depan massa supaya tidak memancing kemarahan masyarakat terhadap
    penguasa. Adapun komentar tentang kesalahan-kesalahan penguasa di atas
    mimbar-mimbar, atau dilakukan secara terang-terangan, ini bukan disebut
    nasihat, tetapi justru merupakan celaan, pendiskreditan, dan penghinaan.
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :





    مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ  



    Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya. [Hadits hasan, HR at Tirmidzi, 4/502, Musthafa al Babi, Cet. II; ash Shahihah, 5/376.]




    Saya ingin mengutarakan sebuah kisah yang mengandung dua sikap. Saya
    berharap setiap dari kita melihat, ia bersama dengan pihak mana.





    Ibnu ‘Amir adalah seorang gubernur. Suatu ketika ia keluar untuk
    melakukan Khutbah Jum’at dengan mengenakan pakaian yang transparan. Maka
    Abu Bilal al Khariji (dari Khawarij) berkomentar : “Lihatlah pemimpin
    kita. Dia mengenakan baju orang fasiq,” maka Abu Bakrah Radhiyallahu
    anhu, salah seorang sahabat Nabi, menyanggah: “Diamlah engkau. Aku
    pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,‘Barangsiapa menghina sulthan Allah di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya’.” [HR at Tirmidzi, 4/502, Musthafa al Babi, Cet. II; ash Shahihah, 5/376.]





    Lihatlah sikap orang Khawarij terhadap kesalahan pemimpin, dan
    bandingkan dengan sikap sahabat Nabi tersebut. Maka, seharusnya Anda
    wahai para hamba Allah, pilihlah cara orang yang engkau cintai.
    Sesungguhnya pada hari Kiamat, seseorang akan bersama orang yang
    dicintainya.





    Apabila ada orang yang bertanya “apakah hal ini berarti, jika ada
    kesalahan yang berasal dari pemerintah, kita mendiamkan dan tidak
    melarang orang-orang berbuat maksiat dan tidak menjelaskannya?”


    Tidak demikian! Kewajiban kita, yaitu harus melarang orang-orang
    berbuat maksiat, dan menjelaskan bahwa perkara itu merupakan maksiat.
    Tetapi, berkaitan dengan menasihati penguasa dalam masalah maksiat ini,
    haruslah dengan cara-cara yang tidak menyulut kemarahan masyarakat
    kepadanya.





    Sudah seharusnya kita ketahui, bahwa Ahli Sunnah wal Jama’ah, ketika
    menetapkan prinsip yang sudah kita sebutkan tadi, bukan berarti
    memerintahkan untuk mendiamkan kemaksiatan-kemaksiatan tanpa
    pengingkaran, dengan dalih maksiat itu muncul dari pemerintah. Tetapi,
    maksiat tersebut tetap wajib diingkari dan dijelaskan kepada masyarakat,
    bahwa itu (merupakan) kemaksiatan, dan masyarakat dilarang berbuat
    maksiat seperti itu. Namun pengingkaran terhadap penguasa secara khusus
    berkaitan dengan kemaksiatan ini atau perkara lainnya, harus dengan
    prinsip yang telah kita sebutkan.





    Prinsip Ketiga. Mendengar dan taat kepada penguasa pada perkara yang bukan maksiat kepada Allah.





    Tidak ada kebaikan bagi masyarakat kecuali dengan jama’ah. Dan urusan jama’ah tidak akan lurus, kecuali dengan kebaradaan imamah (kepemimpinan). Dan tidak lurus sebuah kepemimpinan, kecuali dengan ketaatan.





    Oleh karena itu, terdapat banyak nash yang menunjukkan ketaatan
    terhadap pemimpin negara dalam masalah yang bukan maksiat. Allah Azza wa
    Jalla berfirman kepada kaum Mukminin :





    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ





    Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. [an Nisaa`/4 : 59].





    Allah memulai ayat ini dengan “yaa ayyuhalladzi na aamanu”.
    Para ulama tafsir berkata : “Apabila Allah mengawali ayat dengan arah
    pembicaraan kepada kaum Mukminin, maka ketahuilah, terdapat perkara
    penting setelahnya”.





    Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ketaatan kepadaNya dan kepada
    RasulNya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa, yang
    termasuk dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, (yaitu) taat kepada
    penguasa dalam perkara yang bukan maksiat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku, ia telah taat
    kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan barangsiapa taat kepada penguasa,
    ia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa melanggar penguasa, berarti ia
    maksiat kepada Rasul
    .





    Dalam hadits yang shahih lagi muhkam ini,
    dijelaskan prinsip agung lagi mulia. Bahwa taat kepada Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan taat kepada Allah Subhanahu wa
    Ta’ala . Taat kepada amir merupakan ketaatan kepada Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan berbuat maksiat kepada Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya bermaksiat kepada Allah Subhanahu
    wa Ta’ala. Melakukan penentangan kepada amir (bermaksiat) merupakan maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.





    Dari sini, kita ambil sebuah pedoman penting. Yaitu, saat kita
    mentaati penguasa pada perkara yang bukan maksiat, sesungguhnya kita
    sedang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ketaatan Anda
    kepada penguasa dalam masalah yang bukan maksiat, merupakan qurbah
    (upaya mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Janganlah
    Anda melihat kepada penguasa, atau polisi, atau apakah ada orang yang
    melihat kita. Tetapi, kita lakukan itu dengan niat untuk mendekatkan
    diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Pasalnya, Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan masalah ini kepada kita. Karena itu,
    para ulama telah sepakat, wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang
    bukan maksiat kepada Allah Ta’ala.





    Lantaran agung dan besarnya pengaruh masalah ini bagi terciptanya
    keamanan bagi negara dan kebahagiaan masyarakat, maka Nabi menutup
    celah-celah setan ke dalam hati manusia dalam masalah ini. Setan
    kadang-kadang mendatangi seorang manusia dengan membisikkan,
    sesungguhnya taat kepada penguasa harus dilakukan ketika penguasa adalah
    seorang pemimpin adil yang memberikan hak-hak kalian. Adapun
    pimpinanmu, ia seorang yang zhalim, tidak memenuhi hak-hak kalian.
    Justru mengambil harta kalian. Ia lebih mengutamakan jabatan-jabatan
    tertentu bagi diri sendiri.  Memperkerjakan orang-orangnya, dan
    menyingkirkan orang-orang yang sebenarnya lebih berhak. Maka orang ini
    tidak pantas ditaati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung
    menangani penyumbatan celah ini sendiri, tidak beliau serahkan kepada
    orang lain.





    Ada seorang lelaki yang berdiri, lalu bertanya kepada Nabi
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah. Kalau ada pemimpin
    yang menguasai kami, ia meminta haknya dari kami dan menghalangi hak
    kami darinya. Apa yang engkau perintahkan kepada kami (untuk kami
    kerjakan)?”





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling. Maka orang tadi
    bertanya untuk kedua kalinya. Nabi pun berpaling lagi. Orang itu
    bertanya kembali untuk ketiga kalinya. Maka beliau bersabda : “Dengarlah,
    dan taati. Sesungguhnya kewajiban mereka adalah kewajiban yang mereka
    emban. Dan kewajiban kalian adalah yang harus kalian emban”
    .





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kewajibanmu adalah
    mendengar dan taat, dalam kondisi sulit, longgar, semangat ataupun benci
    serta ketika ia bertindak sewenang-wenang terhadapmu,” maksudnya,
    engkau wajib mendengar dan taat, baik engkau dalam keadaan mudah dan
    kecukupan harta, dan pikiran yang tenang atau dalam kondisi yang
    terjepit, atau dalam keadaan engkau melaksanakan perintahnya atau malas
    untuk melakukannya, atau engkau melihat penguasa mengambil hak darimu
    tanpa memperdulikan keadaanmu. Sedangkan cara lainnya merupakan
    cara-cara setan.





    Terkadang setan mendatangi orang-orang dengan membisikkan taat kepada
    hakim itu wajib, bila ia (hakim itu) semisal Abu Bakr dan Umar. Adapun
    penguasa ini, ia termasuk orang fasik lagi bermaksiat kepada Allah.
    Mereka tidak menegakkan din Allah, sehingga tidak ada kewajiban taat kepadanya. Nabi pun menutup celah setan ini dengan bersabda: “Nanti
    akan ada penguasa-penguasa sepeninggalku, yang tidak memegangi
    petunjukku dan tidak melaksanakan sunnahku. Di tengah mereka ada
    orang-orang yang hatinya berhati setan dalam bentuk manusia”
    .





    Perhatikanlah kondisi itu, akan ada penguasa setelah beliau. Apakah
    yang mereka kerjakan? Mereka tidak memegangi petunjukku dan tidak
    melaksanakan sunnahku. Alangkah buruk tindakan mereka. Akan ada sejumlah
    orang yang menunjukkan sebagai penasihat. Hati mereka adalah hati setan
    dalam wujud manusia.





    Hudzaifah Radhiyallahu anhu berdiri dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan apabila aku menjumpainya?”





    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dengar dan taatilah penguasa, meskipun punggungmu dipukul, dan hartamu dirampas.”





    Dalam kondisi demikian ini, yang telah disebutkan Nabi, beliau
    menetapkan wajibnya taat kepada penguasa meskipun terjadi tindak
    kesewanangan kepada rakyat.





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sebaik-baik penguasa
    adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan
    mereka dan mereka mendoakan kalian. Sejelek-jelek penguasa, adalah
    mereka membenci kalian, dan yang kalian laknati dan mereka melaknati
    kalian.”





    Lihatlah kondisi ini, sejelek-jelek penguasa, adalah yang kalian
    benci karena agamanya dangkal. Dan mereka membenci kalian karena
    tipisnya agamanya. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati kalian.





    Para sahabat bertanya : “Apakah kita harus memerangi mereka dengan pedang, wahai Rasulullah?”





    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak, selama ia
    menegakkan shalat dengan kalian. Ketahuilah, orang yang dikuasai oleh
    seorang penguasa, dan melihatnya mengerjakan maksiat kepada Allah,
    hendaknya ia membenci maksiat kepada Allah yang ia kerjakan dan tetap
    tidak melepaskan ketaatan kepadanya”.





    Lihatlah keseimbangan agung ini.





    Apabila kita mengetahui penguasa melakukan kemaksiatan kepada Allah,
    kita tidak sukai kemaksiatannya, kita tidak katakan pula bahwa itu baik
    karena penguasa yang mengerjakan. Kita juga tidak menilainya baik di
    hadapan orang-orang, lantaran sang penguasa melakukannya. Tetapi, kita
    menilai buruk maksiat itu secara khusus, tanpa dikaitkan dengan
    penguasa. Kita membenci maksiat, tetapi tanpa melepaskan ketaatan
    darinya. Justru tetap mentaati penguasa pada masalah yang bukan maksiat.





    ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu berkata,”Kami tidak bertanya tentang
    taat kepaada penguasa yang bertakwa. Tetapi kami menanyakan tentang
    penguasa yang melakukan ini itu”. Dia menyebutkan bentuk keburukan.
    Inilah pertanyaannya : “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang
    penguasa yang bertakwa karena sudah jelas masalahnya. Tetapi kami
    bertanya tentang penguasa yang melakukan tindak keburukan”.





    Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bertakwalah kepada
    Allah, dengarlah dan taati ia!,” yaitu taat pada perkara yang bukan
    maksiat. Ini akan kami jelaskan nantinya.





    Di sini muncul persoalan, apakah kita harus mentaati penguasa dalam
    segala masalah? Apakah jika penguasa memerintahkan kita, kita harus
    menurutinya terus?





    Jawabnya, tidak! Seorang penguasa ditaati, jika ia memerintahkan
    perintah yang tidak mengandung maksiat. Apabila ia memerintahkan kepada
    maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat, dengan tetap taat
    pada selain maksiat itu.





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :





    عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا
    لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ
    وَلاَ طَاعَةَ





    Kewajiban seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara
    yang ia sukai ataupun yang ia benci, selama tidak diperintah untuk
    bermaksiat. Bila memerintahkan maksiat, maka tidak ada (kewajiban)
    mendengar dan ketaatan
    .





    Seorang muslim, ia wajib mentaati penguasa selama tidak memerintakan
    kepada maksiat. Apabila memerintahkan untuk bermaksiat, maka ketaatan
    kepada Allah lebih dikedepankan. Dia tidak boleh taat kepada amir,
    tetapi (juga) tidak melepaskan ketaatan darinya. Taat kepadanya masih
    wajib pada perkara selain maksiat.





    Para sahabat telah memahami ini. Akan saya ceritakan sebuah kisah yang termuat dalam ash Shahih.


    Nabi memilih seseorang menjadi komandan pada sebuah sariyyah
    (ekspedisi perang) dan memerintahkan pasukannya untuk mendengar dan
    taat kepadanya. Mereka pun berangkat. Dalam perjalanan, mereka membuat
    sang komandan marah. Ia memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar.
    Mereka pun mengumpulkan. Setelah mereka mengumpulkannya, ia berkata:
    “Bakarlah”. Mereka pun membakarnya. Api menjadi menyala-nyala. Lalu ia
    berkata : Bukankah aku pimpinan kalian?.





    Mereka menjawab,”Benar.”





    Dia bertanya,”Bukankah Nabi memerintahkan kalian untuk mendengar dan taat kepadaku?”





    Mereka menjawab,”Iya.”





    “Kalau begitu, masuklah kalian ke dalamnya,” yaitu masukkah ke dalam api.





    Sebagian dari mereka menyingsingkan pakaian untuk terjun ke dalamnya,
    karena mengetahui tentang wajibnya mentaati seorang pemimpin. Tetapi
    orang-orang yang sigap dari mereka melarang dan mengatakan: “(Tidak kita
    lakukan), sampai kita mendatangi kepada Nabi”.





    Ketika mereka telah memberitahukannya kepada Nabi, maka beliau
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seandainya mereka memasukinya,
    maka tidak akan pernah keluar darinya selama-lanmanya. Ketaatan hanya
    pada perkara yang ma’ruf (yang bukan maksiat),” artinya, Nabi
    menjelaskan bahwa, taat yang ditekankan lagi pasti kepada penguasa atau
    pimpinan adalah dalam masalah yang ma’ruf, bukan maksiat kepada Allah.
    Adapun dalam masalah maksiat, ia tidak boleh ditaati, dengan tetap
    berhak ditaati pada masalah lain yang bukan maksiat.





    Prinsip Keempat. Tidak sembarangan untuk melontarkan takfir kepada penguasa muslim. Takfir merupakan hak Allah, tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang yang berhak dikafirkan dan termasuk layak mendapatkannya.





    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Kalau ada seseorang
    mengatakan ‘wahai kafir’ kepada saudaranya, maka akan kembali kepada
    salah satu dari keduanya.”





    Kaitannya dengan penguasa, maka (lontaran ini) akan lebih merisaukan
    lagi. Sebab, pengkafiran terhadap penguasa akan menimbulkan berbagai
    masalah. Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan, seorang
    penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila memenuhi tiga syarat.





    Pertama, kita melihat ada kekufuran yang nyata (buwah). Dalam bahasa Arab, kata buwah berarti, yang jelas tampak, tidak kabur, diketahui oleh setiap orang.





    Kedua, adanya burhan. Para imam mengartikannya dengan dalil yang tidak mengandung multi interpretasi (multi takwil). Seorang penguasa tidak boleh dikafirkan dengan dalil yang masih mengandung takwil makna lebih dari satu.





    ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu berkata,”Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam mendakwahi kami. Maka kami berbai’at kepada beliau. Di
    antara (tuntutan) yang beliau ambil dari kami, kami berbai’at kepada
    beliau untuk selalu mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam keadaan
    suka atau benci, serta kesewang-wenang kepada kami dan tidak merampas
    kekuasaan dari pemiliknya. Kecuali kalian menyaksikan adanya kekufuran buwah, dan kalian memiliki burhan dari Allah.”





    Ketiga, pihak yang berhak memutuskan takfir ialah para ulama, dari kalangan Ahli Sunnah, ahlul haq, ahlul ‘ilmi wal bashirah.
    Sebab pengkafiran terhadap penguasa akan mendatangkan kekhawatiran pada
    diri kaum Muslimin. Dalam masalah ini, Allah telah menjelaskan kondisi
    kaum munafiqin dan sikap orang-orang yang berada di atas jalan al haq. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:





    وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ
    أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي
    الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ
    وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ
    الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا





    Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
    ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
    menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
    orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
    mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
    karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan,
    kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)
    . [an Nisaa`/4 : 83].





    Kaum munafiqin, apabila mereka menjumpai permasalahan besar
    yang akan mendatangkan stabilitas keamanan, atau mendatangkan rasa
    ketakutan, mereka mencoba menanganinya, menyiarkannya, dan berkomentar
    tentangnya. Inilah sifat sebagai orang-orang yang lemah (ilmu dan
    imannya, pent), tidak segan mengkafirkan penguasa. Maka kita dapati
    seorang dokter ikut-ikutan mengkafirkan. Seorang insinyur ikut
    mengkafirkan. Ada sopir yang ikut mengkafirkan. Dan masih banyak lagi
    yang mengkafirkan. Darimana mereka bisa menyimpulkan demikian? Ini
    adalah sikap melampui batas terhadap ketetapan syariat.





    Adapun sifat orang-orang mu’min, orang-orang yang beriman,
    jika mereka menjumpai masalah yang punya relevansi dengan keamanan dan
    ketakutan, mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan Sunnah Rasul
    serta  kepada ulil amr. Dan yang dimaksud dengan ulil amri adalah para ulama. Bukan setiap orang ‘alim dapat memutuskan. Tetapi orang ‘alim yang ingin mengetahui kebenarannya (melakukan istimbath) dari kalangan ulama. Mereka adalah ulama-ulama khusus.





    Perhatikanlah wahai saudaraku, hikmah agung ini; “dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka,” agar kita mengetahui bahwa, yang dimaksud dengan ulil amri
    yang menjadi rujukan penyelesaian masalah, mereka adalah Ahli Sunnah.
    Karena, arti menyerahkan masalah kepada Rasul adalah mengembalikannya
    kepada Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan yang dimaksud
    dengan ulul amri, yaitu orang-orang yang menguasai Sunnah
    beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .  Kemudian pihak yang berwenang
    untuk menetapkan hukum adalah ahlil’ ilmu wal bashirah.





    Inilah yang wajib ditempuh, tidak boleh ada yang mengkafirkan seorang penguasa kecuali ahlil bashirah, ahli sunnah,
    yang menguasai dalil dari kalangan ulama.  Kalau tidak, hukum ini tidak
    boleh dipegang oleh siapa saja, tidak boleh melihat pendapat setiap
    orang yang mengkafirkan penguasa tertentu. ini adalah tiga syarat yang
    sangat jelas lagi terang. Di dalamnya terdapat kandung tawasuth (sikap
    tengah) dan i’tidal (keseimbangan), kebenaran, dan bebas dari kesesatan. Kewajiban seorang mu’min agar memegangi prinsip agung ini.





    Inilah sebagian dari agama kalian. Kami tidak mengambilnya dari diri
    kami sendiri, tetapi berasal dari Kitabullan dan Sunnah Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam . Maka, saya ingatkan dengan firman Allah Ta’ala :





    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ





    Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
    bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan
    suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
    mereka
    . [al Ahzab/33 : 36].





    فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
    شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا
    قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا





    Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
    mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
    kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
    putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya
    . [an Nisaa`/4 : 65].





    Teguhlah bersama dengan Sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan
    selamat. Jauhilah perasaan dan emosi, karena tidak mendatangkan
    kebaikan. Tidak ada keselamatan di dunia dan saat perjumpaan dengan
    Allah, kecuali dengan qaala Allah, qaala Rasulullah.





    Semoga Allah menjadikan kita sekalian bagian dari orang-orang yang
    mengikuti Nabi dengan sebenarnya, mendengarkan dan menaati sabda-sabda
    beliau.





    Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.





    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. ]


    artikel ; Almanhaj.Or.Id





  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent