• Tiga Pesan Agung Dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam












    Tiga pesan
    Nabi: shalatlah seperti shalat terakhir, jangan mengatakan sesuatu yang
    membuatmu minta maaf di kemudian hari dan kumpulkan keputus-asaan
    terhadap apa yang ada pada manusia








    Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Abbad hafidzahulloh





    Allah Jalla wa ‘ala telah mengumpulkan pada diri Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam tutur
    kata yang sangat indah, singkat namun kaya makna dan sempurna. Siapa
    yang memiliki hubungan kuat dengan sunah dan petunjuk sebaik-baik hamba
    ini -semoga shalawat serta salam selalu tercurah untuknya- maka ia
    beruntung di dunia dan akhirat. Mari sejenak kita bersama menyelami
    nasehat Nabi kita –alaihissholaatuwassalam– yang singkat namun dalam maknanya, besar pengaruhnya dan terkumpul banyak kebaikan.





    Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Ibnu Majah dan yang lainnya, dari hadis Abu Ayub al Anshori- radhiyallahu’anhu– bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, “Beri aku nasehat singkat”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,





    إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا
    تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا
    فِي يَدَيْ النَّاسِ





    Jika kamu hendak melaksanakan shalat, shalatlah
    seperti shalat terakhir, jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta
    maaf di kemudian hari dan kumpulkan keputus-asaan terhadap apa yang ada
    pada manusia
    ”.






    Nasehat pertama : menjaga sholat dan memperbaiki penunaiannya


    Nasehat kedua : menjaga lisan


    Nasehat ketiga : qona’ah serta menggantungkan hati hanya kepada Allah.





    Pada wasiat pertama, Nabi menasehatkan kepada orang
    yang melakukan shalat untuk  merasa bahwa shalatnya adalah sholat
    terakhir baginya. Karena sudah lumrah bahwa perpisahan akan membuat
    seseorang maksimal dalam berucap dan bertindak, totalitas yang tidak
    didapati pada keadaan lainnya. Seperti yang lumrah terjadi di saat
    berpergian, seorang yang pergi dari suatu daerah dengan rencana kembali
    ke daerah tersebut, berbeda dengan orang yang pergi tanpa ada rencana
    ingin kembali. Seorang yang berpisah, akan melakukan totalitas
    (meninggalkan jejak baik) yang tidak dilakukan oleh yang lainnya.





    Bila seorang sholat dengan perasaan seakan sholat itu
    adalah sholat yang terakhir baginya; ia tidak akan bisa sholat lagi
    setelah ini, tentu ia akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan sholat
    itu. Dia perindah penunaiannya, proposional dalam ruku’, sujud,
    menunaikan kewajiban-kwajiban serta sunah – sunah sholat dengan sebaik
    mungkin.





    Maka selayaknya seorang mukmin mengingat pesan ini di
    setiap shalatnya. Lakukanlah sholat seakan sholat itu adalah sholat
    perpisahan, hadirkan perasaan bahwa itu adalah shalat yang terakhir.
    Apabila ia merasakan itu maka akan membawanya menunaikan sholat dengan
    sebaik mungkin.





    Dan siapa yang sholatnya baik, maka ibadah sholatnya akan
    menghantarkan pada kebaikan-kebaikan dan menghalangi dari segala
    keburukan dan kerendahan. Ia akan merasakan manisnya iman. Sholat
    menjadi penyejuk pandangan dan penyebab kebahagiaan untuknya.





    Kemudian wasiat kedua, tentang menjaga lisan. Karena
    lisan adalah hal yang paling berbahaya bagi manusia. Saat perkataan
    belum terucap ia masih dalam kendali pemilik ucapan. Adapun saat ucapan
    telah keluar dari lisan, ucapan itulah yang akan menguasainya dan ia
    menanggung resikonya. Oleh karena itu Nabi ‘alaihissholaatuwassalam
    berpesan, “Jangan mengatakan sesuatu yang membuatmu minta maaf di
    kemudian hari.” Atinya bersungguh-sungguhlah menahan lisanmu dari ucapan
    yang membuat dirimu harus meminta uzur di kemudian hari; setiap
    perkataan yang membuatmu meminta maaf. Karena sebelum perkataan itu
    terucap ia berada dalam kekuasaanmu, namun bila sudah terucap maka
    perkataan itulah yang akan menguasaimu.





    Nabi ‘alaihissholaatuwassalam pernah berpesan kepada Mu’adz radhiyallahu’anhu,

    “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”


    “Mau ya Nabi Allah.” Jawab Mu’adz.


    Kemudian Rasulullah memegang lisan beliau seraya bersabda, “Jagalah ini.”


    Aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan disiksa juga karena ucapan kita?”


    Nabi menjawab,





    ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي
    النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ـ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ ـ إِلَّا
    حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِم


    Ah kamu ini, bukankah yang menyebabkan seseorang
    terjungkal wajahnya di neraka –atau sabda beliau: di atas hidungnya- itu
    tidak lain karena buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!”
    (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih).





    Maka lisan ini sangat berbahaya.





    Dalam hadis shahih lainnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga berpesan,





    إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا
    تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ
    بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا


    Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan
    ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada
    Allah terkait dengan kami. Karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau
    baik maka kami pun baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun
    ikut melenceng
    ” (HR Tirmidzi no 2407 dan dinilai hasan oleh Al Albani).


    Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,





    “Janganlah mengatakan suatu ucapan yang membuatmu harus minta maaf di kemudian hari.”





    Pada kalimat  ini terdapat ajakan untuk memuhasabah ucapan
    yang hendak disampaikan, yakni memikirkannya terlebih dahulu. Jika
    ucapan itu baik maka silahkan sampaikan. Jika tidak, maka tahanlah lisan
    anda. Atau jika ragu baik atau buruknya ucapan, tahanlah lisan dalam
    rangka menghindari perkara syubhat, sampai tampak perkara tersebut di
    hadapan anda. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,





    مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله واليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت





    Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).





    Betapa banyak orang yang menjatuhkan diri mereka pada
    kesalahan yang fatal, disebabkan ucapan yang tidak mereka pertimbangkan.
    Kemudian berakibat musibah baginya di dunia dan di akhirat, suatu
    akibat yang tak terpuji. Orang yang berakal adalah yang menimbang
    ucapannya dan ia tidak berbicara kecuali seperti yang dinasehatkan Nabi
    kita alaihissholaatuwassalam; perkataan yang tidak membuatnya harus
    meminta maaf di kemudian hari.





    Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “…dengan perkataan yang membuatmu minta maaf di kemudian hari.”
    bisa bermakna saat anda berdiri di hadapan Allah atau membuatmu meminta
    di kemudian hari maksudnya di hadapan manusia, saat mereka menuntut
    ucapan anda. Bila kita mengambil makna pertama maka pesan ini ada
    kaitannya dengan sholat. Karena alasan apa yang akan diucapkan
    orang-orang yang menyia-nyiakan sholat di hari kiamat nanti?! Padahal
    sholat adalah amalan yang paling pertama ditanyakan.





    Wasiat ketiga berisi ajakan untuk qona’ah,
    serta menggantungkan hati hanya kepada Allah, dan memupuskan harapan
    terhadap harta-harta yang di tangan manusia. Beliau bersabda,





    وَأَجْمِعِ اليَأسَ مِمَّا فِي يَدَيِ النَّاس





    Kumpulkan keputusasaan terhadap apa yang ada pada manusia”.





    Maksudnya bertekatlah dalam hatimu untuk memutuskan asa
    terhadap apa saja yang di tangan manusia. Jangan gantungkan harapan pada
    mereka. Jadikanlah pengharapanmu sepenuhnya hanya kepada Allah Jalla wa
    ‘ala. Sebagaimana dengan lisan anda tidak pernah berdoa kecuali kepada
    Allah, maka demikian juga sepatutnya dengan sikap anda  jangan
    gantungkan harapanmu kecuali kepada Allah. Pupuskanlah segala
    pengharapan kepada siapapun kecuali kepada Allah, sehingga pengharapanmu
    hanya tertuju kepada Allah semata.





    Dan sholat adalah penghubung antara dirimu dan tuhanmu.
    Dalam sholat terdapat pertolongan terbesar untukmu dalam merealisakan
    sikap ini.





    Siapa yang memutus pengharapan terhadap apa yang di tangan
    manusia, maka hidupnya mulia. Siapa yang hatinya bergantung pada kepada
    kekayaan manusia, maka hidupnya hina. Dan barangsiapa yang
    menggantungkan hatinya hanya kepada Allah, tidak mengharap kecuali
    kepada Allah, tidak meminta hajatnya kecuali kepada Allah, tidak
    bertawakkal kecuali hanya kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan
    segala kebutuhan dunia dan akhiratnya. Allah ‘azzawajalla berfirman,





    أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ





    Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya” (QS. Az Zumar 36).


    Allah juga berfirman,





    وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ





    Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At Tholaq : 3).





    Hanya Allah semata yang memberikan taufik.


    ***


    Diterjemahkan dari : http://al-badr.net/muqolat/2594


    Penerjemah : Ahmad Anshori


    Artikel Muslim.or.id

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Contact form

Search This Blog

Design by - Blogger Templates | Distributed by Ydidaareldzikr

YAYASAN DAKWAH ISLAM DAAR EL DZIKR

MEMURNIKAN AQIDAH MENEBARKAN SUNNAH Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah 'alaihim jami'an, Ijma.

WhatsApp

Hot Posts

3/footer/recent