Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
MENGAPA DINAMAKAN ‘ID?
Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang.
Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.
Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan
dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan
dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan
menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti
ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan.
As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini.
Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya.
Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau
bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian
bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih
baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.” [Dr. Abdullah
Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9].
HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID
Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya:
1. Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum
muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari
Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya.
(Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi
janabat.
Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma mandi sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam
Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].
Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul
Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan
sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].
2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat ‘Id
.
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah”. [Ash Shahihah, 1.279].
Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka
menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al
Mughni, 3/258].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, ketika keluar pada shalat
dua hari raya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian
yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari
raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau,
dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah).” [Zaadul
Ma’ad, 1/426].
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan
mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya,
mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah,
sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah”. [Ash Shahihah, 1.279].
Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka
menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al
Mughni, 3/258].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, ketika keluar pada shalat
dua hari raya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian
yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari
raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau,
dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah).” [Zaadul
Ma’ad, 1/426].
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan
mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya,
mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah,
sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.
3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. رواه البخاري
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk
shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan beberapa kurma”. [HR Al
Bukhari].
Dan dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ
يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى
يَرْجِعَ
فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكَتِهِ. رواه الترمذي وابن ماجه
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar pada
hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada
hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari
daging kurbannya”.[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, sebelum keluar untuk
shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan beberapa
kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau
tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari
daging kurbannya.” [Zaadul Ma’ad, 1/426].
4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan
ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika
pulang dari tanah lapang.
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ. رواه البخاري
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau
mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang”. [HR Al
Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan;
(yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain”.
[Zaadul Ma’ad, 1/432].
Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari
‘Id. Tidak disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah,
sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil
1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi
menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi
ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang, mengiringi
jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya
memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak
bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau
mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai
satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada
sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau
tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu
Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan,
mengambil jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja,
sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam
Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi
hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini menunjukkan, bahwa dia
memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda,
kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].
5. Bertakbir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة- 185
“Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah
karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian
bersyukur”. [Al Baqarah:185].
Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal
ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya
berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan.
Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian
menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi,
kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti
takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah
menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain,
24].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Takbir pada hari
Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan
selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian)
menurut pendapat yang benar”. [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].
Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah
datang satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali)
mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan
sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga
kali.
اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَللهِ الْحَمْدُ
Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok
orang untuk melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi
komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena, amalan
seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang
bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau
ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul
‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Patut untuk diberi peringatan
pada saat sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak
disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang
dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang
dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk
berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini” [Silsilah Al
Ahadits Shahihah, 1/121].
HUKUM SHALAT ID
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
أَمَرَنَا -تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ
نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ
الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ. متفق عليه
“Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak
‘awatiq (wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau
memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum
muslimin”. [Muttafaqun ‘alaih].
Dahulu, Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menjaga
untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id.
Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika ‘Id
jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan
menggugurkan satu kewajiban yang lain. Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyah,
Syaikh Al Albani, 1/380.
Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain,
merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Begitu pula pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia
mengatakan di dalam Majmu’Fatawa (23/161), sebagai berikut: “Oleh karena
itu, kami merajihkan bahwa hukum shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. Adapun
pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah perkataan yang sangat jauh
dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar.
Kaum muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari
Jum’at. Demikian pula disyari’atkan pada hari itu untuk bertakbir.
Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak tepat”.
WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI
Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah
setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya
matahari. Yakni waktu Dhuha.
Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul
Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, seorang sahabat yang
sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit
matahari”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla. Yaitu tanah lapang di
luar pemukiman kaum muslimin, kecuali jika ada udzur. Misalnya, seperti:
hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan di masjid.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah
lapang adalah sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm
keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian pula
khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka
telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang
ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].
TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID
Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata:
لَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى.رواه البخاري ومسلم
“Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha”. [HR Al Bukhari dan Muslim]
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا
إِقَامَةٍ. رواه مسلم
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
dua hari raya, sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat”. [HR
Muslim].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa
adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah,
untuk tidak dikerjakan semua itu”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
SHIFAT SHALAT ‘ID
Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at
tersebut 12 kali takbir, 7 pada raka’at yang pertama setelah takbiratul
ihram dan sebelum qira’ah, dan 5 takbir pada raka’at yang kedua sebelum
qira’ah.
عن عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ
سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ. رواه ابن ماجه
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id
tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua”.
[HR Ibnu Majah].
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى
تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ. رواه أبو داود و ابن ماجه
“Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali
dan lima kali, selain dua takbir ruku”. [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat
Irwa’ul Ghalil, 639].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum
berkhutbah. Beliau shalat dua raka’at. Bertakbir pada raka’at yang
pertama, tujuh kali takbir yang beruntun setelah takbir iftitah. Beliau
diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui dzikir tertentu antara
takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada) disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan shalawat
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (diantara dua takbir
tersebut), sebagaimana disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma merupakan seorang sahabat yang sangat tamassuk
(berpegang teguh) dengan Sunnah. Beliau mengangkat kedua tangannya
setiap kali takbir. Dan setelah menyempurnakan takbirnya, Nabi memulai
qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf pada
salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al Qamar.
Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari
Beliau dua hal ini, dan tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya.
Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila
telah menyempurnakan raka’at yang pertama, Beliau bangkit dari sujud
dan bertakbir lima kali secara beruntun. Setelah itu Beliau membaca.
Maka takbir merupakan pembuka di dalam dua raka’at, kemudian membaca,
dan setelah itu ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?
Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id. Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ
الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. رواه
البخاري
“Sesungguhnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri
dua raka’at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya” [HR Al Bukhari].
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat
sunnah saat sebelum atau sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana
dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?” Dia menjawab: “Saya
khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”.
[Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283].
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kesimpulannya, pada
shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari
orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah
muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika
dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang lain”.
[Fath-hul Bari, 2/476].
Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka
diperintahkan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.
APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?
Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam
Asy Syarhul Mumti’ 5/208: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat
tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat ‘Id, tidak
disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena shalat ‘Id merupakan
shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus. Oleh sebab itu
tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu”.
Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: “Shalat Jum’at
juga tidak diqadha. Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti
shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur. Pada
shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena
pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat sunnah”.
KHUTBAH ‘IDUL FITHRI
Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ
يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ
يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ
وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ
وَيَأْمُرُهُمْ .رواه البخاري و مسلم
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang
pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan
ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan
mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan
mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka”. [HR Al Bukhari dan Muslim].
Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya.
Dibolehkan untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak
sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.
Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ
أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ
فَلْيَذْهَبْ
“Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika selesai, Beliau berkata: “Kami sekarang berkhutbah.
Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang
mau, silahkan pergi”. [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu
Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, apabila Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyempurnakan shalat, Beliau berpaling dan berdiri di
hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan mereka. Beliau
memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka.
Beliau membuka khuthbah-khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah
diriwayatkan -dalam satu haditspun- bahwasanya Beliau membuka dua
khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan
diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan
khutbah atau pergi”. [Zaadul Ma’ad, 1/429].
APABILA HARI ‘ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat
Jum’at bagi orang yang telah menghadiri ‘Id menjadi gugur. Tetapi bagi
penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat Jum’at, supaya
dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Id atau bagi yang ingin
menghadiri Jum’at dari kalangan orang-orang yang telah shalat ‘Id. Dan
sebagai pengganti Jum’at bagi orang yang tidak shalat Jum’at, adalah
shalat Dhuhur. Tetapi yang lebih baik, ialah menghadiri keduanya. [Lihat
Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 18; Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah,
Syaikh Abdullah Al Fauzan, hlm. 107].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata:
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ
مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود و ابن ماجه
“Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau,
maka shalat ‘Id telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi, kami
mengerjakan shalat Jum’at”. [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]
MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID
Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id. Beliau menjawab:
“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu
saudaranya, kemudian dia berkata تقبل الله منا ومنكم (semoga Allah
menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian), atau أعاده الله عليك
(semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam
hal seperti ini telah diriwayatkan dari sekelompok diantara para
sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan diperperbolehkan oleh
Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai
seseorang dengan ucapan selamat ‘Id. Namun, jika seseorang menyampaikan
ucapan selamat kepadaku, aku akan menjawanya, karena menjawab tahiyyah
hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan merupakan sunnah
yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang.
Barangsiapa yang mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang
tidak mengerjakannya, ada contohnya juga”. [Majmu’ Fatawa, 24/253,
lihat juga Al Mughni, 3/294].
Wallahu a’lamu bish shawab.
Diselesaikan pada 15 Rajab 1425, bertepatan 30 Agustus 2004.
[disalin dari almanhaj,or.id yang disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar